BEGITU menerima gaji pertamanya, Kopral KNIL Piet Scholte amat senang. Dia buru-buru pulang untuk menyerahkan gajinya kepada Djemini istrinya. Setibanya di rumah, Piet mendapati Djemini sedang duduk-duduk. Sambil malu-malu, Piet lalu menaruh uang gajinya di pangkuan Djemini.
“Uang ini harus saya apakan?” tanya Djemini.
“Untukmu dan untuk belanja keperluan sehari-hari. Saya hanya butuh sebelas sen untuk beli tembakau dan kertasnya,” jawab Piet sambil menahan tawa.
Kehidupan harmonis keluarga Piet-Djemini merupakan anomali di masa kolonial yang sarat diskriminasi rasial. Di tengah jamaknya perlakuan buruk dan sewenang-wenang pria kulit putih pada gundik mereka, Piet justru menganggap dan memperlakukan Djemini murni sebagai istri. Sejak awal menjalin hubungan, Piet tak pernah menganggap Djemini gundik, yang tugasnya semata sebagai teman tidur.
Rasa cinta dan hormat itu membuat Piet rela melindungi Djemini. Ketika Djemini tertipu oleh lintah darat sehingga berutang 1000 gulden, Piet bahkan ingin menyelesaikan masalah utang-piutang itu bersama sambil mengingatkan agar Djemini tak melakukan kesalahan serupa di kemudian hari.
Keberanian untuk memperjuangkan cinta di tengah stigma miring kolonial terhadap perempuan pribumi juga dilakukan oleh penulis Willem Walraven. Walraven memutuskan menikahi gundiknya, Itih. Kepada rekan-rekannya, Itih dia perkenalkan sebagai istri. Dia tak peduli mayoritas pria Belanda di Hindia kala itu pilih menyembunyikan gundik mereka karena merasa malu. Sama seperti Scholte, pernikahan Walraven dan Itih dijalani dengan rasa hormat, penghargaan, dan kesetaraan.
Para lelaki Belanda yang berani menikahi pasangan pribumi ini termasuk orang-orang berani di masa itu. “Mereka menantang puncak hipokrisi kolonial bahwa seorang laki-laki Eropa boleh memanfaatkan perempuan pribumi untuk sementara namun tak boleh menjalin hubungan kekal dengannya,” tulis Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Bealnda.
Ekses dari hubungan harmonis itu menjadi jalan baru bagi perempuan pribumi untuk berkembang dan belajar. Lewat pasangan kulit putihnya, perempuan pribumi mempelajari bahasa Belanda, sedikit pengetahuan Barat, dan memperoleh status tinggi, mirip tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Beberapa gundik cukup beruntung karena selain menjalin hubungan harmonis dengan tuannya, juga menjadi makmur berkat koneksi yang dimiliki.
Hal itu dialami antara lain oleh Davida Elizabeth Augustijns, perempuan-budak yang bernasib baik. Beberapa tahun menjadi budak Agustijns Michiels, Davida kemudian dibatis menjadi orang Kristen dan dibebaskan dari status budak oleh Michiels dan istrinya. Ketika istri Michiels meninggal, Davida menjadi gundik Michiels. Perlahan, keduanya jatuh hati dan Davida akhirnya diperistri Michiels.
Keberuntungan Davida juga dialami Anjelina Catharina Velntijn. Anjelina dilahirkan sebagai seorang budak bernama Anjelina van Batavia. Nasib mujur berpihak padanya ketika seorang Belanda bernama Margaretha Catharina Wargarden mengadopsinya. Dia pun dibaptis sebagai orang Kristen dan menjalani hidup sebagai orang Eropa.
Anjelina kemudian menjalin hubungan dengan pemilik perkebunan Citrap bernama Johan Samuel Heinrich Wustenberg. Ketika Wustenberg meninggal, Anjelina mengambil-alih perkebunan itu. Dia lalu menikah lagi dengan lelaki Eropa kaya hingga akhirnya memiliki posisi tinggi di masyarakat kolonial.
“Pembaptisan, emansipasi, dan pernikahan dengan orang-orang kaya Eropa membuat Anjelina menjadi perempuan berpengaruh di pemukiman kolonial Batava,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia.