MAY (diperankan Raihaanun) amat gembira. Dia menaiki bianglala, berayun di kora-kora, dan menonton tong setan. Seragam putih-biru masih melekat di badannya, senyum sumringah menghiasi wajahnya.
Itulah senyum terakhir May. Sebelum pulang, di keruihan pasar malam itu dia diperkosa. May pulang dalam bisu.
May bangun, menyetrika bajunya, lalu berkaca di depan cermin. Ia mengikat semua rambutnya ke belakang dan merapikan sisi-sisinya dengan jepit lidi. Pintu kamarnya dibuka, bapak (Lukman Sardi) sudah siap mengangkat meja ke dalam kamar May. Setelah itu mereka bekerja dalam diam, menjahit baju boneka, memasang pernak-pernik, lalu memasukkannya ke dalam mika. Rutinitas itu yang May dan bapak lakukan tiap hari selama delapan tahun. Hidup dalam senyap, bekerja dalam diam.
Rutinitas jadi cara May bertahan hidup sejak peristiwa traumatik itu. Tatapan matanya kosong, seolah berusaha bertahan dengan menyaru jadi robot. Jika ingatan tentang pemerkosaan itu terlintas dalam benaknya, May akan mengiris kulit pergelangan tangannya, menghitung jumlah boneka di lemari, atau melampiaskan kekalutannya dengan lompat tali.
Baca juga: Usaha Alot Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan
Guncangan psikis tak hanya dialami May. Bapak yang di rumah selalu terlihat tenang dan sabar rupanya menjadikan tinju sebagai ajang katarsis. Ia meluapkan segala kemarahan dan rasa bersalahnya di atas ring sampai lawannya benar-benar KO. Tempramennya yang tinggi seringkali membawa bapak pada masalah.
Rutinitas May mulai berubah setelah kehadiran seorang pesulap (Ario Bayu) yang tinggal di sebelah rumahnya. Lewat lubang sisa kebakaran, May berinteraksi dengan pesulap itu dan diajari beragam trik sambil berbagi rahasia. Gairah hidup May kembali tumbuh. Ia mulai menggerai rambutnya, mengganti model bonekanya menjadi pesulap perempuan. Ketika May main ke rumah pesulap dan melihat-lihat peralatan sulap yang aneh-aneh, tawa kecil May kembali hadir.
Bergulat dengan Trauma
Sejak awal film, 27 Steps of May (selanjutnya hanya ditulis May) menyodori premis betapa tak enaknya hidup sebagai perempuan di Indonesia. May yang korban pemerkosaan menjadi representasi banyaknya pelecehan seksual di ruang publik. Dus, perlindungan hukum untuk korban boleh dikata hampir tak ada.
Trauma pemerkosaan jadi tema utama yang diusung Ravi Bharwani lewat film terbarunya ini. Ravi tidak menghadirkan gambaran trauma yang penuh histeria, sebaliknya May dihadirkan dengan sangat senyap, bahkan dengan latar musik yang amat minim.
Kesenyapan dalam semesta May menjadi simbol diamnya mayoritas korban kekerasan seksual hingga kini. May tidak pernah mengungkapkan pemerkosaan yang dialaminya sambil terus berusaha tegar dan melupakan. Lewat tokoh bapak, May juga menggambarkan bahwa tekanan batin tak hanya dialami korban tapi juga orang-orang di sekitarnya. Sementara, tokoh pesulap dan kurir boneka (Verdi Solaiman) ibarat support system yang dibutuhkan korban dan keluarganya.
Baca juga: Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Pasca Peristiwa 1965
Ravi menyajikan warna berbeda dalam semesta May, bapak, dan pesulap. Dunia yang dihidupi May dalam traumanya serba polos: pakaian hanya baju terusan bermodel sama, stoking, dan sepatu putih; warna cat kamarnya berbeda dari seluruh rumah, tertata rapi namun banyak ruang kosong. Kamar May, yang dibangunnya sendiri, serupa ruang isolasi.
Rumah Pesulap sebaliknya. Ia penuh warna dan keajaiban. Lubang di tembok kamar May ibarat pintu masuk ke dunia lain, yang lebih berwarna dan hidup dibanding kamarnya. Sementara, kamar bapak mirip ruangan tidak terurus: tembok retak, cat terkelupas, dan barang-barang digantung atau ditaruh sembarangan. Kamar itu mirip dengan psikologis bapak yang tak mengurus dirinya dengan baik di tengah kekalutan akan kondisi May.
Meski alurnya lambat, May menawarkan ide cerita bagus tentang trauma korban pemerkosaan. Menggambarkan rutinitas memang sulit, ditambah alur lambat, sangat riskan bikin penonton bosan. Di sepertiga akhir film, emosi penonton diacak-acak menyaksikan keberanian May menyampaikan traumanya pada si pesulap.
Raihaanun berakting cukup baik, berhasil menghadirkan keterasingan dan trauma May. Sayangnya, tampilan Raihaanun berseragam SMP dengan rambut kepang dua dan pita diujungnya agak mengganggu. Gambaran anak SMP polos tak harus dengan pita dan rambut kepang dua. Ada banyak cara yang lebih halus.
Mewakili Korban Pemerkosaan
Dalam kredit filmnya, May mendapat bantuan dari aktivis perempuan seperti Mariana Amiruddin dan Tunggal Pawestri untuk mendalami tema pemerkosaan. Rayya Makarim yang duduk sebagai penulis skenario, meramunya dengan apik. Dia berhasil menggambarkan kondisi psikis korban dan orang terdekatnya.
Korban-korban kekerasan seksual seringkali diam dan mengisolasi diri lantaran takut mendapat cibiran dari masyarakat. Trauma pemerkosaan ditambah perasaan terhina dan dilecehkan yang terus dipendam membebani para penyintas. Trauma ini berlangsung bertahun-tahun dan mengganggu kehidupan si korban.
Usaha-usaha untuk mendapat keadilan bagi para korban pun masih alot diperjuangkan lewat RUU Kekerasan Seksual yang belum kunjung disahkan. Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan negara dalam sejarah Indonesia, seperti peristiwa 1965 dan Mei 1998.
Baca juga: Kesaksian Kerusuhan Mei 1998
Dalam konflik politik besar yang melibatkan negara, tubuh perempuan seringkali dijadikan arena pertarungan kuasa. Perempuan korban 1965 mengalami beragam kekerasan seksual, mulai dari ditelanjangi dengan dalih untuk mencari tato palu arit, sampai diperkosa. Pun demikian dengan pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa menjelang reformasi 1998. Mereka dan korban-korban kekerasan seksual lain belum mendapat perlindungan dan keadilan baik dari negara maupun masyarakat.
Kisah-kisah kekerasan seksual itulah yang mengilhami pembuatan 27 Steps of May. Ravi tidak berusaha untuk menggurui, tapi menunjukkan kepedihan yang dipendam. May menjadi jalan bagi para penontonnya untuk lebih berempati dan memahami luka korban kekerasan seksual.