Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Para Perempuan Sumba

Posisi perempuan dalam budaya Sumba dihadirkan lewat Perempuan Tana Humba.

Oleh: Nur Janti | 13 Mei 2019
Rambu Ana dan suaminya dalam Perempuan Tana Humba. Sumber: Tanakhir Films.

DI depan rumah, orang-orang berkumpul untuk menghadiri pemakaman dalam kepercayaan Marapu. Mereka melakukan itu setelah ada kesepakatan para tokoh adat tentang tata cara pemakaman empat raja sekaligus. Kesepakatan itu dicapai setelah negosiasi bertahun-tahun. Pasalnya, umumnya pemakaman dilakukan satu per satu. Namun karena penyelenggaraan adat yang besar, beberapa orang berpikir untuk melakukannya sekaligus.

Mereka lalu menyembelih kerbau dan kuda. Sejurus kemudian, ramai-ramai mereka menarik batu penutup makam. Empat raja dimakamkan sekaligus dalam upacara adat yang super megah ini. Scene itu jadi salah satu sajian Lasya F Susatyo dalam film dokumenter garapannya kali ini, Perempuan Tana Humba.

Lasya mengisahkan tentang dampak tradisi Sumba pada perempuan. Ia membagi cerita dalam tiga babak: Marapu, Belis, dan Perkawinan. Babak Marapu menyajikan gambar ciamik tentang rangkaian upacara adat Sumba dari perkawinan hingga kematian. Sementara babak Belis (mas kawin) bercerita tentang posisi perempuan dalam keluarga yang dipengaruhi oleh belis yang diberikan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Cerita Menarik Pemilihan Bupati Sumba Barat

Wujud belis biasanya ternak yang dianggap maskulin, semisal kuda atau kerbau. Seiring waktu, belis tak melulu ternak tapi kombinasi dengan barang berharga atau uang. Jumlah belis tergantung posisi keluarga perempuan di masyarakat. Ada maramba (bangsawan), rakyat biasa, dan hamba atau budak. Perempuan kasta maramba umumnya meminta belis yang tinggi sebagai tanda penghormatan bagi keluarganya. Rakyat biasa pun  bisa saja meminta belis yang tinggi bila calon pengantin perempuan berpendidikan tinggi. Sementara, belis untuk hamba akan dibayarkan oleh tuannya. Makin tinggi status sosialnya, baik kasta maupun tingkat pendidikan, makin besar jumlah belis.

Belis masih kerap memberatkan, tak jarang jadi ada persinggungan. Saya ingin mengangkat ini. Perubahan tidak bisa dihindari dan berpengaruh ke tatanan kehidupan lainnya. Film ini membagi pengalaman para ibu di Sumba,” kata Lasya pada Historia.

Tawar-menawar belis juga dilakukan antar-dua wakil pihak keluarga. Tak jarang tawar-menawar berjalan alot dan berujung ketidaksepakatan sehingga hubungan cinta batal dijalin. Ketika proses ini berlangsung, calon pengantin perempuan tidak boleh menampilkan diri. Dalam filmnya, Lasya menggambarkan ketika para bapak berkumpul di balai, para perempuan sibuk di dapur menyiapkan makanan.

Baca juga: Kado Istimewa Pernikahan

Namun, tradisi itu perlahan berubah. Seperti yang dialami Rambu Ana, salah satu narasumber yang diwawancara Lasya. Ana menikah dengan cara adat. Pilihan suaminya pun sesuai tradisi, dari desa Lewa, tempat ibu Ana berasal. Ketika hendak menikah, Ana ikut bicara tentang jumlah belis dan tanggal pernikahannya. Seorang pamannya sempat kaget lantaran Ana sudah menyiapkan undangan dan urusan perkawinan sendiri sejak jauh hari. “Biasanya tidak bisa ikut omong, tapi makin lama berubah. Kadang ada bapak-bapak bilang, ‘tega sekali kau punya suami kau suruh masak’. Tapi mereka tidak bisa hanya jadi tuan besar terus,” kata Ana pada Historia.

Ana datang dari keluarga bangsawan. Ia anak raja Prailiu dan kini jadi Polisi Kehutanan di Taman Nasional Matalawa. Kakak lelaki Ana menjadi penerus tahta Kerajaan Prailiu, yang jadi setting film ini, menggantikan ayahnya yang sudah almarhum. Sepanjang film, keluarga Ana menjadi gambaran utama tentang serba-serbi kebudayaan Sumba dan bagaimana posisi perempuan dimaknai di sana.

Olin Monteiro, periset dalam film ini, menyebutkan di Sumba masih ada dua kerajaan yang menganut kepercayaan Marapu, yakni Rende dan Prailiu. Kerajaan Rende masih menjalankan tradisi secara penuh, sementara Prailiu lebih longgar.

Baca juga: Cerita di Balik Gambar Pattimura

Olin menyebut beberapa tradisi dan artefak sejarah hilang setelah perang tahun 1950-an. Nusa Tenggara Timur yang dulu terbagi dua antara jajahan Portugis dan Belanda, mengalami beberapa kerusakan. “Banyak artefak budaya yang rusak, termasuk rumah adat karena perampokan dan pembakaran, sehingga beberapa tradisi hilang. Sudah tidak banyak yang menjalankan tradisi di Sumba Timur, kecuali di Rende, karena tokoh adatnya masih banyak,” kata Olin.

Dibanding wilayah Nusa Tenggara Timur lain seperti Flores dan Timor, tambah Olin, peran perempuan di Sumba amat kurang. Tidak ada keikutsertaan perempuan di tikar adat meski sebenarnya posisi mereka dalam masyarakat cukup penting. Gambaran inilah yang disajikan dalam film, di mana Lasya mengikuti para bapak dalam beberapa pertemuan adat.

Para ibu tak pernah ikut pertemuan itu. Menenun, memasak, dan menyiapkan perhiasan untuk belis jadi kegiatan utama mereka. Beberapa ibu bahkan mengepalai bisnis tenun yang jadi sumber perekonomian dan daya tarik wisata Sumba. Meski demikian, mereka tak bisa ambil bagian dalam urusan keputusan adat.

Film dokumenter sepanjang 30 menit ini mendapat dukungan dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mandy Marahimin yang bersama Nicholas Saputra mendirikan Tanakhir Films pada 2013, duduk sebagai produser. Begitu mendengar Lasya hendak membuat film dokumenter tentang budaya, Mandy langsung menyetujuinya. Lewat film ini dia ingin membuka diskusi tentang posisi perempuan di Sumba.

Baca juga: Memahami Trauma May

Selain dibantu Olin sebagai periset, Lasya dan Mandy juga menarik beberapa sineas lain, seperti Nur Hidayat sebagai sinematografer, Wawan I. Wibowo sebagai editor, Thoersi Argeswara sebagai penata musik, dan Satrio Budiono sebagai penata suara. Penataan musik dalam film ini amat apik. Menggunakan alat musik tradisional dan lagu daerah, alunan music scoring sukses mengiringi tiap pergeseran cerita. Pengambilan gambarnya pun cukup memanjakan mata dengan keindahan alam dan lingkungan tradisional.

Perempuan Tana Humba rencananya diputar keliling di Yogyakarta, Surabaya, dan terkhusus Sumba. Lantaran tak masuk bioskop, film ini akan diputar di institusi pendidikan tingkat SMA dan perguruan tinggi mulai Juli 2019.

TAG

resensi

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Polisi Kombatan di Balik Panggung Sejarah Pesan Toleransi dari Muarajambi Bukan Raja Jawa Biasa Race, Islam and Power Bukan Catatan Perjalanan Biasa Memahami Trauma May Mencintai Tubuh dan Sejarah Kelamnya Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti