LANGIT Palmerah sudah digelayuti mendung saat Andreas Harsono, wartawan cum aktivis kemanusiaan, mengantar Historia sampai muka lobi apartemen. Sebelum berpisah, ia sempat mengisahkan sebuah kejadian tak mengenakkan di tempat yang sama.
Kejadiannya tahun 2009, katanya, tanpa bisa mengingat tanggal atau bulannya. Kala itu datang orang tak dikenal mencarinya dengan tujuan yang buruk walau orang itu menyapa sopan ke resepsionis dan security di lobi.
“Dia datang ke lobi, minta cari saya. Orangnya sopan seperti Anda. Ditanya, maksudnya ada keperluan apa. Katanya, ‘saya mau bunuh dia.’ Lalu dia nyamperin ke (Yayasan) Pantau juga. Security sini lalu lapor ke polsek,” kata Andreas mengenang.
Baca juga: Potret Pahit Penyintas 1965 dalam You and I
Saat kejadian, Andreas kebetulan sedang di luar kota. Dia hanya tahu soal itu dari pihak security.
Rupanya, kejadian itu merupakan salah satu imbas dari aktivitasnya sebagai aktivis HAM cum jurnalis sepanjang menginvestigasi tentang pembantaian massal etnis Madura di Kalimantan pada 1997 dan 2001. Kala itu, Andreas mewawancarai banyak narsumber, mulai dari penjagal hingga pihak keluarga korban.
Kisah-kisah getir konflik etnis Madura-Melayu dan Madura-Dayak itu merupakan satu dari sekian catatan perjalanan Andreas sampai ke empat titik terluar perbatasan Indonesia. Sejurus mata angin, perbatasan-perbatasan itu yakni Pulau Rondo di ujung barat, Desa Wutung di perbatasan paling timur, Pulau Miangas di tapal batas utara, dan Rote di ujung selatan. Butuh 15 tahun buat Andreas untuk merangkum dan membukukan petualangannya yang dilakoni sejak 2003 itu dengan tajuk Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia.
“(Alasannya) waktu. Waktu kan uang,” kata Andreas menjelaskan soal waktu penyelesaian bukunya.
Baca juga: Tembang Gerilya Seorang Menteri Negara
Sedikitnya waktu yang dimiliki Andreas disebabkan karena dia juga aktif di Human Rights Watch selain sebagai jurnalis di media-media asing berbahasa Inggris. Perjalanannya sendiri memakan waktu lima tahun (2003-2008), ditambah banyak riset dan proses penyelesaian dengan pihak penerbit.
Sekilas, Race, Islam and Power ibarat travelogue atau catatan pelesiran. Lima pulau besar dan dua kepulauan, yakni Maluku dan Nusa Tenggara, yang dikunjungi Andreas. Kisah-kisah dari masing-masing tempat itu lalu dibagi ke dalam tujuh bab. Semua punya “surga” tersendiri.
Bab pertama, tentang Aceh, misalnya. Di bagian pembuka, pembaca disuguhkan keindahan alam Sabang dengan lautan biru serta kicauan burung-burung camar. Imajinasi pembaca bahkan bisa lebih luas karena penulisnya menyuguhkan gambaran tempat yang sama dari kacamata penjelajah Inggris Sir Thomas Stamford Raffles pada 1819 dan wartawan Djamaluddin Adinegoro. Saat itu, abad ke-19, Sabang jadi salah satu kota-pelabuhan terbuka dengan fasilitas mumpuni.
Baca juga: Suara Penyintas 1965 yang Layak Didengar
Hanya saja, Sabang gagal menyaingi Singapura karena letaknya kalah strategis di samping perhatian terhadapnya terus menurun usai pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya, kini yang tersisa dari Sabang hanya keindahannya. Sabang sebagai kota pelabuhan sudah jauh tertinggal, bahkan sempat mati suri setelah ditutup pemerintah pada 1985.
Kuliner yang menggugah selera sebagai bagian kekayaan budaya juga dikisahkan Andreas dalam buku ini. Tak ketinggalan, Andreas juga mendeskripsikan beraneka jenis transportasi yang digunakannya sampai ke destinasi di pedalaman pulau-pulau itu.
“Transportasinya memang macam-macam. Ada perahu dongdong di Sambas (Kalimantan Barat). Itu ngeri sekali. Ada barang dan motor di atas kabin. Itu kalau jatuh gimana? Di Gunung Kelimutu (Nusa Tenggara Timur) saya kecelakaan sekali. Naik motor jatuh. Lukanya hanya lecet tapi anak yang nyetir patah tulang,” tambahnya.
Tetapi Race, Islam and Power bukanlah travelogue biasa. Buku setebal 280 halaman ini mengungkap banyak cerita yang tertinggal setelah konflik-konflik atas nama etnis, agama, dan kekuasaan. Konflik-konflik itu meledak setelah Presiden Soeharto lengser kendati punya akar historis jauh ke belakang. Andreas memulainya dari Aceh, bertolak dari hasil liputannya pada 2003 untuk suratkabar Malaysia, The Star, yang terbit sampai 16 halaman.
“Sampai sekarang The Star belum pernah bikin laporan lebih panjang daripada tulisan saya. Judulnya ‘Starting From Kilometer Zero’. Sambutannya bagus. Bahkan editor saya memberi tahu, waktu itu PM Mahathir Mohamad memuji laporan itu. Karena sambutannya bagus, beberapa orang bilang, kenapa enggak di-expand dengan gaya perjalanan begini? Walaupun dia travelogue, dia sebetulnya kan sebuah esai,” sambung salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Institut Studi Arus Informasi tersebut.
Andreas melanjutkannya dengan disponsori Ford Foundation sebesar 100 ribu dolar Amerika. Dari pertemuannya dengan orang-orang Gerakan Acheh Merdeka (GAM), pihak TNI, intelektual Aceh, Andreas menguak banyak cerita tentang ketidakadilan dan ketidakpuasan orang-orang Aceh terhadap pemerintah pusat, diskriminasi terhadap kaum minoritas dan perempuan, hingga kajian akar konflik sejak masa kolonial.
Baca juga: Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad
Konflik Aceh, yang banyak tidak dipahami publik, amat berbeda dari yang ditulis dalam buku-buku sejarah umum, terutama keluaran resmi pemerintah era Orde Baru. Dalam buku ini Andreas hendak menjelaskan konflik itu dari sudut non-versi pemerintah. Menurutnya, konflik Aceh punya keterkaitan historis erat dengan Perang Aceh. Itu tercermin antara lain dari pemahaman pentolan GAM Hasan di Tiro, yang masih keturunan Teuku Chik di Tiro, panglima semasa Perang Aceh.
Bagi Hasan, Kesultanan Aceh tak pernah benar-benar tunduk pada Belanda. Oleh karenanya ketika penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949, Aceh tak semestinya jadi wilayah yang turut diserahkan kepada republik baru yang didominasi etnis Jawa itu.
Aceh, menurut Hasan, bersedia masuk menjadi bagian dari Indonesia karena dijanjikan otonomi khusus oleh Presiden Sukarno yang baru ditepati pada 1961. Itupun baru terjadi setelah terjadi pergolakan lebih dulu oleh Daud Beureueh.
Baca juga: Rasisme Sejak dalam Pikiran
Faktor ketidakadilan ekonomi yang timbul kemudian makin memperparah hubungan Aceh-Jakarta. Kala Hasan menanyakan Gubernur Muzakkir Walad tentang konsesi hutan dan kontrak penambangan gas alam dengan Exxon Mobil, dia tak mendapatkan jawaban apa-apa. Aceh, apalagi rakyatnya, tak punya hak menikmati kekayaan alam mereka tanpa persetujuan Jakarta.
Akibatnya, sentimen anti-pemerintah pusat dan etnis Jawa makin terasa pada 1970-an dan itu masih terasa hingga kini. Berangkat dari kondisi sosial-politik yang ada itulah Andreas seakan memberikan tips kepada pembaca, terutama yang kurang memahami situasi Aceh, agar menghindari panggunaan lema “Mas” dan memilih lema “Bang” jika bertemu orang-orang setempat di wilayah-wilayah yang dulu dikuasai GAM semisal Tiro di Kabupaten Pidie.
Hal serupa tapi tidak sama pun ia temukan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Timor Timur, Papua, dan bahkan di Pulau Jawa. Gejolak kekerasan itu mencapai klimaksnya setelah rezim Orde Baru runtuh.
Baca juga: Bandul Stigma yang Berbahaya
Alhasil, di pedalaman pulau-pulau itu sentimen antaretnis dan agama masih terasa hingga kini. Di Sambas, misalnya, sampai saat ini orang Madura belum diperbolehkan masuk wilayah kabupaten itu. Atau di Ambon, yang bahkan persnya terpecah antara yang bersimpati dengan Muslim dan Kristiani.
Andreas merekam semuanya menggunakan dua pendekatan: jurnalistik dan riset. Risetnya mencakup historis, sosiologis, hingga antropologis. Ketiga studi itu dibutuhkannya untuk memahi identitas, bangsa, dan nasionalisme yang berkelindan dengan banyak konflik akibat diskriminasi dan kekerasan yang klimaksnya sampai pembunuhan massal atas nama etnis atau agama. Dari beberapa yang dikisahkan di buku ini, aparat sebagai kepanjangan tangan negara “tidak bisa” atau “tidak berkenan” meredam kekerasan.
“Ketika pusat itu goyang, sebagian daerah yang diperlakukan tidak adil oleh pusat ingin mendapatkan kekuasaan lebih besar, mengatur diri mereka lebih besar, entah sosial, politik, ekonomi. Nah bila cara-cara biasa, (seperti) kampanye, advokasi tidak berhasil, mereka lakukan kekerasan. Saya ingin merekam bagaimana kekerasan ini terjadi ketika kekuasaan pusat sedang goyang dan mereka melakukan kekerasan,” lanjutnya.
Baca juga: Peliknya Rekonsiliasi Peristiwa 1965
Pendekatan jurnalistik dan multidisipliner yang digunakan Andreas membuat semua yang dikisahkan bisa lebih mudah dibayangkan dan dipahami oleh pembaca. Buku ini menyajikan premis bahwa apa yang tampak apik dari suatu daerah ternyata menyimpan banyak pengalaman kelam di baliknya. Namun, pengalaman kelam itu hanya diketahui dari segelintir orang yang mengalami, entah para pelaku ataupun korban pembunuhan massal. Betapapun pahitnya pengalaman-pengalaman itu, tetapi itulah realitasnya.
Publik, terutama yang di luar pulau-pulau itu, perlu diberitahu. Dengan begitu, mereka bisa lebih memahami realitas yang ada. Dengan memahami, mereka bisa lebih bijak dalam merawat ke-bhineka-an yang menjadi ciri “endemik” Indonesia.
Oleh karenanya, menurut Andreas, buku ini penting untuk mengubah perspektif para pengambil kebijakan dan pemimpin politik agar kekerasan, terlebih konflik yang berujung pembunuhan massal, tak terjadi lagi ketika krisis global kembali menghantam.
“Kemarin saya diajak rapat sama Kantor Staf Presiden. Buku ini menurut mereka penting untuk punya perspektif. This is to sit back and think. Jadi saya juga mau ngajak orang Indonesia, terutama elitelah, untuk berpikir bahwa bila terjadi krisis lagi, kita bisa bunuh-bunuhan lagi. Bila Anda baca sejarah Myanmar, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, kawasan ini bergolak setiap kali ada krisis global,” jelasnya.
Baca juga: Konflik Muslim-Hindu India dari Masa ke Masa
Secara keseluruhan, Andreas mengakui buku ini tidaklah sempurna. Karena keterbatasan ruang, beberapa isu yang juga menimbulkan gejolak nyaris tak termuat. Antara lain isu perempuan dan lingkungan.
“Anak saya juga bilang ini kurang isu perempuan dan buat saya (kurang isu) HAM. Ada soal isu lingkungan tentang perkebunan sawit di Riau dan Jambi, dianggap (penerbit) membuat fokusnya bergeser, maka dihilangin. Banyak hal yang enggak masuk dan dipotong. Kira-kira dari 130 ribu kata dipotong jadi 90 ribu, tapi kemudian ditambah lagi 10 ribu, khusus tentang saya mendirikan AJI dan kasus Ahok (Basuki Tjahaja Purnama, red.) di Bab Jawa,” katanya.
Hal lain yang juga membedakan buku ini dari travelogue umum adalah dokumentasi foto. Setiap bab buku ini sekadar menampilkan beberapa peta pulau yang dilukis. Padahal adanya dokumentasi foto, terutama tentang keindahan bentang alam yang didatangi penulis, bisa menyuguhkan kontras dengan aneka kisah getir di baliknya pada para pembaca.
“Saya enggak mikir sih. Baru mikir sekarang yang Anda tanya (soal foto). Dokumentasi foto-foto ada. Di blog saya (andreasharsono.net) juga ada. Benar, banyak di Indonesia, banyak sekali pantai indah. Penerbit dan desainernya enggak mau ada foto. Saya enggak tahu pertimbangan mereka apa,” jelas Andreas.
Terakhir, soal edisi, sampai saat ini Race, Islam and Power baru tersedia dalam bahasa Inggris.
“Itu pertanyaan bagus tapi saya enggak tahu menjawabnya. Saya memang menulis dalam dua bahasa. Alasan yang paling masuk akal karena memang ditulis untuk The Star. Lalu merembet yang lain-lain. Ada bagian tentang Sulawesi terbit di Newsbreak Filipina, bagian yang Timor-Timur terbit di Amerika juga bahasa Inggris. Tapi pasti akan saya kerjakan (edisi) bahasa Indonesianya. Cuma lagi-lagi soal waktu dan uang ya,” tandasnya.
Data Buku:
Judul: Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto | Penulis: Andreas Harsono | Penerbit: Monash University Publishing, Clayton, Victoria (Australia) | Tahun: 2019, Cetakan Pertama | Tebal: 281 hlm.