DALAM budaya Jawa, perempuan ditempatkan dalam posisi tiyang wingking (subordinat), sebagai garwo (istri). Serat Wulang Putri, yang ditulis oleh Pakubuwono IV dalam aksara dan bahasa Jawa pada 1902, sebagai sebuah pedoman untuk mendidik para perempuan di kalangan keraton, menunjukkan betapa rendah posisi perempuan:
“Wahai putriku, walaupun sudah ditakdirkan oleh Tuhan Penguasa Alam (bahwa) akal para wanita (hanya) seperdelapan para pria dalam hal berpikir.”
“Karena itu janganlah merasa gembira dalam hati padahal kamu tak sesuai dengan apa yang menjadi kehendak Tuhan yang sempurna dan bijaksana menggerakkan semua mahluk.”
“Juga terhadap sesama manusia terlebih lagi dalam bekerja, menirulah semua tingkat laku (sifat) raja yang senantiasa tidak berhenti berusaha dalam mengamalkan agama untuk mencapai kesucian (hidup) yang sejati.”
Serat Wulang Putri mengajarkan sifat-sifat dasar yang harus diinternalisasikan dalam pendidikan perempuan: eling, isin, sabar, dan legawa. Eling berarti menyadari posisinya sebagai perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, sekaligus menyadari kondisi itu telah ditakdirkan Tuhan. Isin berarti memiliki rasa malu dan bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dianggap tak perlu. Sabar berarti perempuan harus tangguh dan sanggup menghadapi berbagai cobaan, dan legawa berarti rela menerima kondisi seberat apapun dan pantang memperturutkan hawa nafsu.
Posisi perempuan Jawa juga ditegaskan oleh pujangga besar Ranggawarsita dalam Serat Cemporet yang digubah di masa pemerintahan Pakubuwono IX:
“Bagi bangsawan luhur, perempuan merupakan lelange (hiasan), tanpa memilih atau melihat-lihat dari mana asal-usul silsilah keturunannya, asalkan perempuan itu memiliki kecantikan yang hebat, ia akan dapat menambah kawibawan (kewibawaan) lelaki. Oleh karena itulah sudah menjadi adat kebiasaan, jika para raja mempunyai banyak istri.”
Dalam sebuah tulisan berjudul “Menggugat Stereotipe perempuan Jawa”, yang merupakan resensi dari buku Kamasutra Jawa, Masun Lamongan menulis bahwa dalam Serat Cemporet, Ranggawarsita menulis perempuan hanyalah wadah (cawan) dari permata mulia (laki-laki); perempuan ibaratnya ke surga hanya menumpang. Perempuan sebagai emban (pembantu), sebagai lelangen: penghias kehidupan lelaki. Cemporet menjadi sebuah pembenaran bagi praktik poligami terutama di kalangan bangsawan, sekaligus semacam pengukuhan rendahnya posisi perempuan.
Pola pikir ini dijabarkan lebih jauh oleh Ranggawarsita dalam Serat Candrarini yang ditulis pada 1863 atas perintah Sri Susuhunan Pakubuwono IX dari Surakarta. Serat itu adalah sebuah tuntutan perilaku bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga poligami. Di masa itu feodalisme sedang berjaya, dan praktik poligami menjadi lumrah. Dari penguasa tertinggi hingga rakyat jelata melakukan poligami. Serat ini memang dimaksudkan untuk menjadi penuntun perilaku perempuan dari berbagai kalangan.
Di dalam Candrarini, Ranggawarsita menuliskan tuntunan perilaku bagi perempuan mengacu pada tauladan lima istri Arjuna: Sumbadra, Manohara, Ulupi, Gandawati, dan Srikandi. Mereka mampu mengabdi secara total kepada suami dan hidup rukun dalam sebuah rumah tangga poligami. Kelimanya dianggap sosok perempuan ideal, sebab selain cantik rupawan, semuanya memiliki kerendahan hati, sopan santun, welas asih, kemampuan untuk mengabdi serta perilaku yang halus –kualitas yang wajib dimiliki perempuan agar langgeng dalam sebuah kehidupan perkawinan (berpoligami). Sebaliknya, serat ini menistakan perempuan yang bercerai:
“Yang disebut perempuan bila ia bercerai adalah sangat hina, hilang segala keutamaannya, urung (lah ia) memenuhi kodratnya sebagai perempuan, seumpama orang yang bertapa, gagallah samadinya.”
Agar perceraian tak sampai terjadi, serat Candrarini memberikan berbagai saran untuk perempuan. Pokok-pokok “nasihat” yang dikandungnya ada sembilan: setia pada lelaki, rela dimadu, mencintai sesama, trampil pada pekerjaan perempuan, pandai berdandan dan merawat diri, sederhana, pandai melayani kehendak laki-laki, menaruh perhatian pada mertua, serta gemar membaca buku-buku berisi nasihat. Nasihat itu kian menunjukkan betapa perempuan hanya pihak yang menerima, bukan memutuskan, sebuah perceraian.
Menurut Parwati Wahjono dalam “Sastra Wulang dari Abad XIX: Serat Candrarini Suatu Kajian Budaya, yang dimuat majalah Makara, Vol 8 No 2, Agustus 2004, hingga 1930-an karya sastra Jawa masih bertemakan permaduan seperti serat-serat wulang: Wulang Estri (1816), Wulang Putri, Wulang Wanita (dalam Serat Wira Iswara, 1878), Serat Menak Cina (1934), Bab Kodrating tiyang gesang tuwin bab mardikaning wanita (1929), serta Jalu dan Wanita (1930).
Dalam perkembangannya, serat-serat itu tak hanya menjadi milik kalangan istana atau bangsawan. Posisi perempuan yang menjadi subordinat laki-laki juga melekat pada perempuan secara umum, bahkan hingga kini. Yang menarik, ada serat yang memasukkan ide-ide Barat yang memandang seks sebagai sesuatu yang mekanis dengan fungsi utama menghasilkan keturunan.
Salah satunya Serat Candraning Wanita yang dituliskan pada 1930-an atas permintaan seorang Insinyur Belanda penggemar budaya Jawa, J.L Moens. Penulisnya anonim. Serat ini berisi tuntunan bagi lelaki (suami) memilih perempuan yang tepat untuk pasangan hidup dan memperoleh keturunan –sementara orang Jawa pramodern menjunjung tinggi dimensi spiritual dari seks.
Orang Jawa percaya bahwa bibit (keturunan), bobot (nilai) dan bebet (jenis) amatlah penting dalam memilih pasangan. Buku ini beranggapan bahwa bobot (kualitas) serta karakter seorang perempuan dapat dilihat dari ciri-ciri fisiknya. Untuk mempermudah pembacanya, serat ini dilengkapi ilustrasi berupa gambar-gambar perempuan tanpa busana, dengan menyebutkan bagian-bagiannya secara eksplisit. Serat ini juga menjelaskan posisi-posisi bercinta. Posisi misionaris (saresmi baya) lebih disukai karena serat ini memang lebih mengedepankan fungsi hubungan seksual untuk prokreasi atau mendapatkan keturunan.
“Kepuasan seksual dianggap penting, juga orgasme perempuan, tapi mengejar kesenangan bukan menjadi perhatian utama. Tak tepat bila hanya salah satu pihak yang mencapai orgasme, karena diyakini tak akan menyebabkan kehamilan; pasangan yang tak benar-benar ′memperjuangkan’ kesejahteraan benih, tak akan menghasilkan keturunan (anak) yang baik,” tulis Edwin P. Wieringa dalam “A Javanese Handbook for Would-Be Husbands: The Serat Candraning Wanita” yang dimuat Journal of Southeast Asian Studies, vol 33, 2002.
Mungkinkah kesejahteraan seksual diperoleh dalam perkawinan poligami, ketika posisi laki-laki dan perempuan tak setara?