Ketika None Jakarta Bercerita

Mereka datang dari berbagai latar belakang. Tampil sebagai ikon primadona ibu kota.

Oleh: Martin Sitompul | 31 Okt 2019
Ketika None Jakarta Bercerita
Acara peluncuran buku "Cerita, Cinta, dan Cita-cita: Kumpulan Kisah None Jakarta (1981--2016)" di auditorium Perpustakaan Nasional, 30 Oktober 2019. Foto: @Valerina Daniel/instagram.

SEJUMLAH mantan None (Nona) Jakarta lintas zaman berkumpul. Mereka menuturkan kisahnya masing-masing ihwal mula mengikuti ajang “Abang None” Jakarta. Berbagai memori digali kembali dalam suasana saling cengkrama.  Ada haru, lucu, bangga, dan jenaka yang tersua pada tiap tuturan mereka.     

“Menjadi None Jakarta pasti akan mengubah hidup semua orang, tidak terkecuali saya. Pengalaman yang begitu luas membuka banyak pintu dalam kehidupan saya,” kenang Lula Kamal, None Jakarta 1990 dalam acara peluncuran buku Cerita, Cinta, dan Cita-cita: Kumpulan Kisah None Jakarta (1981--2016) di auditorium Perpustakaan Nasional, 30 Oktober 2019.

None adalah bagian dari kontes “Abang None Jakarta” yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 1968 era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin. Para Abang dan None dibina dan ditempa sebagai duta ibu kota. Setelah terpilih, mereka akan bertugas mendampingi gubernur dalam acara resmi, termasuk membantu sosialisasi program pemerintah daerah. Selain itu, Abang dan None juga menjadi ikon dalam mempromosikan Jakarta di dalam maupun luar negeri.  

Advertising
Advertising

Baca juga: Lenggang Kontes di Tengah Protes

“Saya banyak belajar, belajar berpakaian, pakai rok, cepol, dan pasang konde,” ujar Lula berkelakar.

Lula Kamal yang kini berprofesi sebagai dokter tidak sendirian. Dalam buku setebal 192 halaman itu ada 20 None yang membagikan kisah dan pengalamannya. Mulai dari Sylviana Murni (None Jakarta 1981) hingga Yasmine Kurnia (None Jakarta 2016); mulai dari kepemimpinan Gubernur Tjokropranolo (Bang Nolly) sampai Basuki Tjahaja Purnama (Koh Ahok).

Para None Jakarta lintas angkatan bersama mantan Gubernur DKI Jakarta (2007-2012) Fauzi Bowo. Foto: Martin Sitompul/Historia.

Tidak cuma cantik, cerdas juga menjadi kualitas mutlak bagi para None. Selama digembleng, para None memperoleh banyak pengalaman dan cerita unik. Fifi Aleyda Yahya misalnya. None Jakarta 1995 ini awalnya merasa kurang yakin karena berpostur mungil, jauh dari semampai. Namun pada akhirnya, dia terpilih sebagai None dan mempromosikan pariwisata Jakarta hingga ke berbagai negara. Fifi kemudian dikenal sebagai pembawa acara berita di sebuah stasiun televisi swasta.

Ada lagi kisah dari Santi Darmaputra, None Jakarta 1997. Ketika bertugas di Berlin selama tiga hari, dia lupa membawa kerudung. Beruntung tidak ada yang tahu. Para None memang diharuskan mengenakan pakaian adat Betawi lengkap dengan kerudung. Karena tetap percaya diri, Santi menjalankan tugasnya dengan baik.

Baca juga: Kebaya Encim, Busana Tradisional Betawi yang Melintasi Zaman

Tidak semua None Jakarta asli dari Betawi. Ada yang turunan campuran, seperti Lula Kamal yang bedarah Arab dan Devi Zuliyanti Nasution, None Jakarta 1994 yang berdarah Mandailing.  Begitu pula dengan Sussy Kusumawardhani, None Jakarta 2006. Sussy berasal dari Lampung, berkuliah di UI Depok, namun tinggal di Jakarta sehingga memiliki KTP Jakarta. Sebagai “None Pendatang”, Sussy mengatakan bahwa siapa saja punya kesempatan yang sama berkontribusi buat Jakarta.

“Saya ingin membuktikan bahwa Jakarta bukan hanya kota seribu mimpi tapi juga seribu kesempatan,” ujar Sussy.

Dari semua Gubernur Jakarta, barangkali Fauzi Bowo-lah yang paling intens berhubungan dengan para None. Bang Foke – panggilan Fauzi Bowo – sejak pertengahan 1970-an, menjabat biro kepala daerah yang berurusan dengan protokoler. Tugasnya pula memberdayakan Abang dan None untuk berbagai program pemerintah DKI Jakarta.   

“Saya pendamping Abang None yang paling lama,” kata Bang Foke. “Cerita, cinta, dan cita-cita mereka itu saya banyak tahu, termasuk yang asli dan yang palsu,” ujar Bang Foke bergurau. Barulah ketika menjabat gubernur periode 2007—2012, Bang Foke didampingi Abang dan None.

Baca juga: Prostitusi di Jakarta, Sejak Zaman Ali Sadikin Sampai Ahok

Setelah tuntas mengabdi, banyak dari None Jakarta yang berkecimpung di berbagai bidang. Ada yang meniti karier sebagai jurnalis, seniman, pengusaha, hingga dokter. Ada pula yang memilih sebagai ibu rumah tangga. Menurut Valerina Daniel, penyunting buku ini, menjadi None Jakarta tidak akan berhenti atau hanya pada saat bertugas saja.    

“Setelah bertugas pun kita masih ada kedekatan, masih merasa bertanggung jawab untuk menjaga Jakarta. Walaupun kita saat ini profesinya berbeda-beda tapi tetap punya kontribusi untuk membantu Kota Jakarta,” ujar Val yang juga None Jakarta 1999.   

Hingga saat ini, tradisi Abang None Jakarta masih berlangsung. Para jebolannya mengaku mendapat banyak pengalaman berharga. Ajang ini juga merupakan kesempatan berkarya sekaligus membaktikan diri bagi warga Jakarta.  

Enggak nyesal ikutan Abang None, kalah menang menyenangkan,” ujar Lula Kamal.

TAG

budaya-jakarta perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Ogah Dipaksa Kawin, Maisuri Kawin Lari Berujung Dibui Bikini dari Paris Kisah Babu Datem dan Upaya Melindungi Pekerja Hindia di Belanda Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama