Masuk Daftar
My Getplus

Jaap Kunst Mengabdi pada Musik Tradisi

Jaap Kunst merintis penelitian, perekaman, dan pendokumentasian musik tradisi Nusantara. Sang pelopor etnomusikologi.

Oleh: Andri Setiawan | 03 Des 2019
Jaap Kunst (kanan) pelopor etnomusikologi. (Fernando Randy/Historia).

Pada musim semi 1919, seorang sarjana hukum sekaligus pemain biola dari Belanda, bersama dua temannya, penyanyi dan pianis, berlayar ke Hindia Belanda. Mereka melakukan tur musik selama delapan bulan ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Pada Mei 1920, harusnya mereka bertiga pulang ke Belanda. Namun sejak Natal 1919, sang pemain biola terpikat pada alunan gamelan yang didengarnya di Keraton Pakualaman Yogyakarta. Pengalaman itu membuatnya memutuskan untuk tetap tinggal. Orang itu adalah Jaap Kunst, yang kemudian jatuh cinta dengan musik tradisi Nusantara dan menjadi pelopor etnomusikologi.

Jakob Kunst (Jaap Kunst) lahir di Groningen, 12 Agustus 1891, dari keluarga musikus, ayahnya guru piano, praktisi dan kritikus musik, dan ibunya seorang pianis. Sedangkan Jaap Kunst memilih biola sebagai alat musik favoritnya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Alunan Gamelan Memikat Komponis Amerika

Saat remaja Jaap Kunst belajar biola pada W. Dehé, E.C. Schroder, dan Louis Zimmerman di Amsterdam. Pada 1911, ia justru menempuh sekolah hukum di Universitas Groningen dan lulus pada 1917. Namun, saat kuliah ia mulai tertarik melakukan riset seni musik lokal, seperti lagu-lagu rakyat pulau Terschelling, Belanda.

Jaap Kunst sempat bekerja di bank dan kantor walikota Amsterdam. Ketertarikannya pada musik membuatnya tak bertahan lama bekerja di sektor formal. Pada 1919, dia bersama dua rekannya, penyanyi Kitty Roelants-de Vogel dan pianis Jan Wagenaar, mengadakan tur musik ke Hindia Belanda.

Setelah tur musik ke berbagai daerah di Hindia Belnda, dua rekan Jaap Kunst kembali ke Belanda. Ia sendiri tetap tinggal dan memulai penelitiannya mengenai musik tradisi. Ia kemudian bekerja di departemen pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu pada 1921, ia menikah dengan Kathy van Wely, yang mendukungnya dalam penelitian etnomusikologi.

Nusi Lisabilla, Kepala Bagian Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional yang juga kurator pameran “Jaap Kunst, Suara dari Masa Lalu” mengatakan bahwa Jaap Kunst mulai merekam alat musik tradisi pada 1922. Saat itu, ia mereka tujuh lagu yang dimainkan dengan gamelan.

“Meskipun nanti kalau Mas dengar suaranya terlalu halus. Kurang terdengar dengan jelas, seperti dengungan saja,” kata Nusi kepada Historia.

Baca juga: Imigran Penentu Standar Musik Dunia

Pada 1926, Jaap Kunst menjadi wakil sekretaris Dewan Rekonsiliasi untuk Kereta Api dan Trem di Jawa dan Madura yang berkantor di Bandung. Di luar pekerjaannya, dia menyempatkan waktu untuk melakukan riset etnomusikologi. Ia lalu menjadi peneliti dalam penelitian musikologis sistematis pada 1930.

Hingga 1932, Jaap Kunst melakukan penelitian dan pendokumentasian kegiatan seni di Hindia Belanda, mulai dari Batak, Nias, Bengkulu, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Papua.

Kerja penelitian Jaap Kunst dilakukan atas keinginannya sendiri. Ia merasa khawatir jika suatu saat banyak alat musik, lagu atau produk seni musik tradisi punah.

“Orang yang begitu peduli pada masa itu. Peduli bahwa suatu saat musik tradisi di Indonesia itu akan hilang. Itu sebabnya kenapa akhirnya ia memutuskan untuk menginventarisasi, mendokumentasi, baik dalam audio maupun visual,” ujar Nusi.

Baca juga: Memahami Masa Lalu Melalui Musik

Bahkan ketika datang pertama kali ke Nias pada 1930, Jaap Kunst merasa sangat menyesal karena banyak tradisi yang sudah punah dan tak ada generasi yang bisa melestarikannya.

“1930 itu dari sekarang sudah berapa tahun ya? Itu berpuluh tahun yang lalu, dia merasa sudah telat datang ke Nias. Karena ia melihat sudah banyak hal-hal yang hilang. Tradisi yang hilang,” ungkap Nusi.

Jaap Kunst menetap di Bandung hingga 1932. Selama di Bandung, ia membuat arsip musik yang berisi koleksi alat musik, rekaman, foto hingga film.

“Dia mengumpulkan pribadi, dari uang pribadi. Sampai-sampai katanya ia mengurangi jatah makannya untuk bisa membeli macam-macam dan bisa pergi ke mana-mana,” sebut Nusi.

Foto-foto Jaap Kunst yang dipamerkan dalam "Jaap Kunst, Suara dari Masa Lalu" di Museum Nasional. (Fernando Randy/Historia).

Pada 1932, Jaap Kunst pindah ke Batavia. Ia menjadi kurator alat musik di Koninklijk Bataviaasch Genoatschap van Kunsten en Watenschappen (kini Museum Nasional). Rumahnya, di Jalan Kebon Sirih No. 14, menjadi tempatnya bekerja dan menyimpan ribuan koleksi yang ia pindahkan dari Bandung.

Palmer Keen, musikolog yang mengikuti jejak Jaap Kunst dalam penelitian musik tradisi Nusantara menyebut bahwa kerja-kerja penelitian Kunst sangat penting. Terlebih, ia adalah perintis etnomusikologi.

“Penelitian ia sangat penting buat etnomusikologi karena sebelum ia keliling Nusantara meneliti musik, mengoleksi alat musik, bikin rekaman dan foto, tidak pernah ada yang meneliti musik (tradisi) secara dalam,” kata Palmer Keen kepada Historia.

Bahkan, menurut Keen, hingga dekade 1980-an, belum ada lagi yang melakukan penelitian serupa.

“Setelah itu tahun 1920-an 1930-an tidak ada lagi yang seperti dia. Sampai tahun 1980-an 1990-an mulai ada etnomusikolog seperti Margareth Kartomi dari Australia dan Philip Yampolsky dari Amerika yang mulai meneliti musik secara lengkap di Indonesia,” terang Keen.

Baca juga: Denting Alunan Gamelan Raffles

Keen menyebut kini telah banyak peneliti musik klasik atau musik keraton yang berfokus pada Keraton Yogyakarta, Keraton Solo serta musik di Bali. Namun, masih sangat jarang dilakukan penelitian terhadap seni musik di daerah-daerah terpencil.

“Tapi yang meneliti musik rakyat, folk music, di luar daerah itu (Yogyakarta, Solo dan Bali) dan di pulau-pulau kecil di Sulawesi, Kalimantan, tidak ada orang sama sekali yang pernah meneliti itu. Jadi walau penelitian itu sudah 100 tahun lalu, itu tetap sangat berguna sampai sekarang,” ujar Keen.

Pada 7 Maret 1934, bersama keluarganya, Jaap Kunst mengambil cuti ke Eropa dan berencana kembali pada November. Sebelum ke Belanda, ia telah memindahkan koleksi arsip musikologi yang dikelolanya. Sekitar 1000 alat musik, 325 rekaman silinder lilin, 700 positif kaca dan 450 slide dipindahkan ke Koninklijk Bataviaasch Genoatschap van Kunsten en Watenschappen.

Rencana Jaap Kunst untuk kembali pada November ternyata gagal. Alasan kesehatan dan tidak tersedianya anggaran penelitian membuatnya tak bisa kembali lagi ke Hindia Belanda. Meski demikian, di Amsterdam, ia menjadi kurator di Departemen Antropologi Budaya pada Koloniaal Instituut (Tropenmuseum) yang diidam-idamkannya.

Baca juga: Gamelan Rantang dari Pengasingan

Jaap Kunst sempat akan ke Jawa selama enam bulan untuk sebuah pekerjaan dengan perusahaan radio Hindia Belanda, NIROM. Mereka berencana merekam musik kadipaten, musik Sunda, Bali, dan mungkin Madura. Namun, Perang Dunia II membuatnya gagal ke Hindia Belanda untuk kedua kalinya.

Pada 1942, Jaap Kunst menjadi dosen khusus (tanpa gaji) mengajar mata kuliah Sejarah dan Teori Musik Jawa di Jurusan Musikologi Komparatif di Universitas Amsterdam. Ia juga mengajar di Prancis, Amerika Selatan, dan Amerika Utara.

Ia pernah menulis surat untuk R. Goris pada 1926 yang mengatakan bahwa jika pensiun ia ingin menetap di Bali atau Terschelling. “Hati saya selalu berada di kedua tempat itu,” tulis Kunst. Namun, keinginannya itu tak pernah terwujud. Jaap Kunst meninggal dunia akibat kanker pada 7 Desember 1960. Ia meninggalkan ribuan koleksi dan bahan penelitian, serta lusinan buku tentang musik tradisi.

TAG

musik jaap kunst

ARTIKEL TERKAIT

Ayah Fariz RM Eric Carmen dan "All By Myself" Komponis dari Betawi God Bless di Mata Roy Jeconiah Ray "The Doors" Prajurit Rock n’Roll Aretha Franklin dan Hegemoni Maskulinitas Musik Rock Pendiri Pink Floyd Peduli Palestina Alkisah Bing Slamet Koes Plus dan Mantan Perwira AURI Orba Benci Musik Cengeng