Dalam suatu kunjungan di Jawa, seorang komponis Amerika Serikat, Henry Eichheim menghadiri perayaan ulang tahun Pakubuwana X pada 29 November 1927. Perayaan itu dimeriahkan oleh tari srimpi dan pertunjukan gamelan selama tujuh jam. Pertunjukan itu membuat Eichheim takjub dan menyebutnya sebagai, “pengalaman musikal paling memikat yang pernah saya miliki.”
Henry Eichheim adalah komponis, konduktor dan violinis Amerika Serikat yang lahir di Chicago pada 1870. Eichheim memulai karir musiknya sebagai violinis di Boston Symphony Orchestra dan sebagai pianis dalam The Eichheim Trio.
Ia melakukan lima kali perjalanan ke Asia antara tahun 1915 hingga 1937. Karya pertamanya berdasar musik Asia ialah Oriental Impressions (1918-1922). Yang dibuat untuk istri yang sekaligus merupakan pianisnya ketika tur. Karya tersebut merupakan komposisi melodi Korea, China, Jepang dan Thailand yang ia kumpulkan dalam perjalanan ke Asia pada 1915 sampai 1916 dan 1919.
Eichheim pertama kali mengunjungi Jawa ketika melakukan tur tujuh bulan di Asia pada 1922. Di Jawa, sebagian besar waktunya ia habiskan di Yogyakarta, di mana ia dan istrinya menonton wayang wong atau wayang orang, mendengarkan gamelan, dan menghadiri pernikahan kerajaan di keraton.
Dalam perjalanan itu, Eichheim membuat Malay Mosaic yang ditulis pada 1924 dan dipertunjukan perdana pada International Composer’s Guild di New York tahun 1925. Kata ‘Malay’ digunakannya sebagai semacam steno untuk Asia Tenggara. Karya ini menggabungkan tema Jawa dan Burma (Myanmar).
Baca juga: Denting Alunan Gamelan Raffles
“Eichheim merupakan komposer pertama Amerika yang mengkombinasikan instrumen musik Barat dengan gamelan,” kata Matthew Isaac Cohen dalam Gamelanesque effects: musical impressions of Java and Bali interwar America.
Eichheim kemudian menghabiskan waktu selama tiga bulan di Jawa dalam perjalanannya ke Asia tahun 1927 hingga 1928. Kala itu, dia berencana untuk membuat ‘trilogi orkestra’ berjudul Java, Angkor, dan Bali. Dia juga ingin membeli gong Jawa besar untuk ini. Akhirnya, ia membeli gamelan slendro di Solo, lengkap dengan tiga gong. Ia juga membeli sejumlah instrumen dari daerah lain di Nusantara.
Saat itu, Eichman ditemani Leopold Stokowski, konduktor Philadelphia Orchestra. Stokowski memang sedang berlibur di Asia Tenggara dan sama seperti Eichheim, ia ingin membawa pulang beberapa instrumen sebagai suvenir.
Eichheim juga menghabiskan waktu bersama etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst dan J. S. Brandst-Buys. Brandst-Buys membawa Stokowski dan Eichheim untuk menyaksikan pertunjukan lesung yang langka, di mana enam perempuan petani menumbuk padi di dalam lesung yang panjangnya enam atau tujuh meter dengan alu yang berat untuk memisahkan sekam dari beras. Hentakan mereka yang saling terkait menciptakan pola ritme yang berbeda (gejog). Dalam beberapa pertunjukan, para wanita akan bernyanyi dan menari ketika mereka memukul lesung.
“Peristiwa folkloristik sederhana ini diperkuat ke dalam pola ostinato (irama yang diulang-ulang) yang ditekankan dan saling bertautan, yang dimainkan fortissimo (suara yang dihasilkan sangat nyaring) oleh orkestra simfoni penuh, dalam pengenalan puisi nada Eichheim, Java,” kata Cohen.
Baca juga: Musik Gamelan di Luar Angkasa
Stokowski dan Eichheim juga menghabiskan beberapa minggu di Bali pada 1928. Kala itu, Bali belum penuh oleh wisatawan. Hanya sekitar 250 turis per bulan datang ke Bali hingga 1930. Tetapi ketenaran dari para pengunjung seperti Charlie Chaplin, Noël Coward, H. G. Wells, Barbara Huton serta ambisi kreatif dan intelektual yang tinggal lebih lama seperti Walter Spies, Margaret Mead, Gregory Bateson dan Beryl de Zoete Miguel Covarrubiad, berkontribusi pada daya tarik pulau itu.
“Eichheim tidak menyelesaikan Angkor, tetapi bagian-bagian dari 'trilogi orkestranya' yang ia tulis, Java (1929) dan Bali (1933), adalah dua dari meditasi internasional paling penting dari musik tradisional Indonesia yang digubah hingga saat itu,” sebut Cohen.
Kedua karya gamelan itu ditayangkan perdana oleh Philadelphia Orchestra di bawah arahan Stokowski. Cohen menambahkan, “keduanya mendapat skor karena perpaduan orkestra dan instrumen gamelan yang penuh keberanian (dipinjam oleh Stokowski dari koleksi Eichheim), menciptakan palet yang kaya akan suara dan warna.”
David Shavit, penulis Bali and the Tourist Industry: A History, 1906-1942, menyebut karya itu sering di mainkan dan direkam pada 1934 di RCA Victor label.
“Stokowski menikmati suara metalik indah yang dihasilkan gamelan, dan memperoleh gong Bali yang ia bawa kembali ke Philadelphia. Eichheim menghafal pengalaman mereka dengan mengarang serangkaian puisi nada pendek, menggunakan sejumlah instrumen gamelan di bagian perkusi orkestra,” kata David.
Sementara itu, kritikus musik Olin Downes dalam pertunjukan perdana karya Eichheim menyebut bahwa Eichheim berhasil menghadirkan ‘semangat dan cita rasa yang ada’ dari musik Bali.
“Penambahan gong besar dan instrumen perkusi lainnya menghasilkan senoritas dan nada warna yang luar biasa, serta aksen dan ritme. Juga tidak boleh dilupakan, orkestra penuh, bergetar -memamerkan- di depan seluruh komposisi. Penonton menerima musik yang indah dan atmosfer ini dengan persetujuan yang jelas,” ungkap Downes.