Masuk Daftar
My Getplus

Ikon Kuliner Kota Medan Tempo Dulu

Restoran yang menyimpan banyak kisah dan cerita. Mulai dari Westerling hingga Presiden Sukarno pernah merasakan penganan nikmatnya.

Oleh: Martin Sitompul | 24 Des 2017
Barisan tentara Sekutu ketika melintas di depan Retoran tip Top pada tahun 1947Foto: Galeri Restoran Tip Top/Martin Sitompul.

MEMASUKI dapur Tip Top, terdapat mesin pembuat whipped cream keluaran tahun 1934. Namanya slagroom. Susu untuk membuat es krim dituang dan diolah dengan alat itu.

“Dengan alat ini, tekstur es krim menjadi lebih lembut,” ujar Didrikus Kelana, pengelola Tip Top.

Menurut Didrikus, es krim Tip Top memiliki rasa khusus karna pembuatannya menggunakan teknologi sezaman. Rasa manisnya pas dan lebih segar karna tak pakai pengawet tapi jadi lebih cepat mencair. Sepotong es krim pun disajikan dengan menggunakan gelas berbahan besi.

Advertising
Advertising

“Es krim dengan cita rasa perang dunia kedua,” imbuh pria yang akrab di sapa Kus ini seraya tertawa kecil.

Dari Westerling hingga Sukarno

Di masa kolonial, es krim Tip Top merupakan minuman favorit orang-orang Eropa yang selalu merasa gerah di kota Medan. Umumnya pelanggan restoran Tip Top adalah orang Belanda yang bekerja di bagian administrasi dan badan pegawai perkebunan tembakau Deli.

Tembakau Deli, saat itu dikenal sebagai pembungkus cerutu terbaik dunia. Banyak kantor-kantor perkebunan Belanda yang berdiri berebut dolar dari tembakau Deli. Itu sebabnya, medan menjadi kota yang ramai dan sibuk.

Kus menuturkan, dulu saban Sabtu dan Minggu, Tip Top hanya bisa dimasuki oleh orang-orang Belanda. Pada hari-hari itu, mereka sering melakukan pertemuan dan ajang kumpul-kumpul sesama londo.

“Orang kita (Indonesia) juga bisa masuk tapi hanya hari biasa. Cuma setelah zaman Jepang kan mereka (Belanda) di usir pulang. Setelah itu sudah mulai tak ada lagi pembedaan,” ujar Kus.

Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, nama Tip Top dilarang karna berbau Eropa. Nama Jang Kie dibubuhkan lagi hingga Jepang angkat kaki. Di masa pendudukan Jepang, orang Belanda hidup dalam kesusahan. Beberapa di antaranya bahkan dijebloskan ke kamp-kamp interniran. Karena niat baik dan juga kedekatan dengan orang-orang Belanda, Jang Kie mengorganisasi bantuan untuk orang-orang Belanda.

Dalam De gele terreur (Teror Kuning), terbit 1946, penyair-cum-wartawan Belanda W.S.B. Klooster atau lebih dikenal dengan nama samaran Willem Brandt, menyebut Jang Kie membuka pintu belakang restorannya, yang bisa dicapai melalui gang-gang sempit, untuk akses masuk orang-orang Belanda dan memberi layanan gratis. Restorannya menjadi tempat pertemuan dan berbagi informasi rahasia. Jang Kie juga mengirimkan paket makanan, kue, dan surat ke kamp interniran yang diisi perempuan-perempuan Belanda.

Aksi Jang Kie akhirnya ketahuan. Sebelum Jepang angkat kaki, dia ditangkap Kempetai. Dia diinterogasi dan disiksa. Beberapa hari kemudian jasadnya dibawa pulang. Namun anggota keluarga hanya menyatakan Jang Kie meninggal dunia di rumahnya karena sakit.

Kepergian Jang Kie tak menghentikan restoran ini. Setelah Indonesia merdeka, nama restoran Jang Kie kembali menjadi Tip Top.

Dari waktu ke waktu, Tip Top tetap ramai dikunjungi masyarakat lokal, terutama kalangan menengah atas. Mereka biasanya membawa keluarga dan anak-anak untuk berakhir pekan. Banyak cerita menarik yang justru dikisahkan oleh pengunjung yang datang bernostalgia. Dari mereka dikabarkan bahwa Presiden Sukarno pernah mengunjungi restoran Tip Top.

“Waktu Sukarno datang itu tahun 1960-an, kan ada penari-penari yang menyambutnya. Saya tahu itu karena mendapat info dari anak penarinya yang berkunjung kesini,” ungkap Kus.

“Kalau ke belakang lagi juga ada cerita dari Pak Jang Kie, Westerling pernah datang dan makan di restoran ini.” Pada akhir 1945, Kapten Raymond Westerling memang pernah bertugas di Medan dalam misi mengembalikan kekuasaan Belanda di Sumatra Utara. Westerling kelak dikenal sebagai pelaku kejahatan perang dalam revolusi Indonesia karena aksi brutalnya di Makassar, Sulawesi Selatan.

Kus juga mengaku, pernah mendapat potret restoran Tip Top tahun 1947 dari seorang veteran perang kebangsaan Australia. Saat itu, si tentara tergabung dalam pasukan Sekutu yang membantu Belanda dalam perang revolusi. Berpuluh-puluh tahun kemudian, dia kembali ke Medan sebagai turis yang mengunjungi Tip Top. Selembar foto kenangan diserahkannya: barisan kolone tentara Sekutu yang tengah melintas persis di depan restoran.

Sejak berdiri, restoran Tip Top dijalankan secara turun-temurun. “Dari Pak Jang Kie, dikelola oleh anaknya, kemudian pada tahun 1980 ke bapak saya, Fredie Kelana yang masih keponakan Pak Jang Kie. Tak langsung sebagai pemilik, tapi jadi manajer,” ujar Kus. Didrikus sendiri mulai mengelola Tip top sejak tahun 2007.

Tak banyak yang berubah dari restoran ini. Penambahan hanya sebatas pada interior: ornamen tembok, kursi generasi kedua, dan satu ruangan berpendingin udara yang baru ada tahun 1980.

Selama delapan dekade berdiri, restoran Tip Top konsisten dengan konsepnya: tradisi, cara memasak serta resep-resep lama yang tetap dipertahankan. Tak hanya menyajikan rasa dalam penganan, restoran Tip Top juga menghadirkan sejarah sebagai salah satu restoran tertua di Indonesia.

TAG

Kuliner

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Dari Manggulai hingga Marandang Ranah Rantau Rumah Makan Padang Peristiwa PRRI Membuat Rumah Makan Padang Ada di Mana-mana Diaspora Resep Naga Wisata Kuliner di Tengah Perang Pilih Cabai atau Lada? Aroma Pemberontakan di Balik Hidangan Pasta Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat