SELEPAS belajar beladiri di Kadilangu, Kustiah, nama kecil Nyi Ageng Serang, harus berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Kunjungannya merupakan bagian dari pengenalan budaya keraton sebelum kelak dia menjadi keluarga Kesultanan Yogyakarta. Ayah Kustiah, Panembahan Notoprojo, menjodohkannya dengan seorang putra mahkota bernama Raden Mas Sundoro.
Ketika Kustiah berkunjung, sedang ada penyusunan naskah Babad Gianti sehinga dibangunlah perpustakaan. Kustiah sering mampir ke perpusatakaan itu untuk membaca buku-buku sejarah, agama, dan kebudayaan Jawa. Di perpustakaan itu pula Kustiah dan RM Sundoro sering membaca dan mendiskusikan isi buku bersama.
Dari pertemuan rutin dan obrolan menyenangkan itu Raden Mas Sundoro, yang kelak bergelar Hamengku Buwono II, jatuh hati pada Kustiah yang masih belia. Namun, Kustiah justru punya pikiran berbeda. “Betapa terbatasnya hidup di keraton,” pikir Kustiah seperti ditulis Kayatun dalam skripsinya “Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro”.
Di keraton, Kustiah menyaksikan bagaimana para perempuan harus bersikap karena terikat adat istiadat. “Pada saat itu ia mulai berpikir, bagaimana seandainya kelak ia benar-benar telah menjadi istri Mas Sundoro, tentunya ia tidak mau harus mengikuti segala aturan itu,” tulis Kayatun. Padahal, Kustiah masih ingin belajar banyak hal, seperti meningkatkan kemampuan beladiri atau memperdalam pengetahuan.
Awal Perjodohan Dua Sahabat
Raden Ajeng Kustiah Retno Edi merupakan putri Adipati Serang, desa terpencil di utara Solo, bernama Panembahan Notoprojo. Notoprojo merupakan kawan seperjuangan Pangeran Mangkubumi ketika Mataram perang melawan Belanda.
Dalam pemberontakan Mangkubumi, Notoprojo memimpin pasukan di Serang yang ditugaskan merebut kembali wilayah Semarang dan Rembang. Setelah Mangkubumi dinobatkan jadi raja bergelar Sultan Hamengku Buwono I, dia meminta Notoprojo tinggal di keraton. Namun, Notoprojo menolak secara halus dengan bilang dirinya sudah terlalu sepuh untuk tinggal di keraton dan lebih memilih untuk kembali ke Serang.
Mendengar jawaban itu, sultan mengajukan usul lain: menjodohkan kedua anak mereka, Raden Ajeng Kustinah dijodohkan dengan Putera Mahkota Raden Mas Sundoro. Perjodohan itu bertujuan agar persahabatan mereka tidak terputus kelak ketika keduanya sudah wafat.
Setelah Sultan Hamengku Buwono I wafat, kerabat keraton mendesak agar pernikahan Kustiah dan Sundoro segera dilaksanakan. Kustiah mengiyakan ajakan Sundoro untuk menikah namun dia mengajukan syarat: mereka tidak harus tinggal bersama. Kustiah masih ingin memperdalam ilmu beladiri dan membutuhkan lebih banyak pengalaman hidup untuk memperkuat semangat juangnya.
Baca juga: Nyi Ageng Serang, panglima perempuan dalam Perang Jawa
Kustiah meyakinkan calon suaminya untuk memenuhi keinginan itu. Raden Mas Sudoro atau Sultan Hamengku Buwono II menyepakati syarat Kustiah meski baginya suami-istri tidak tinggal bersama adalah hal yang lucu dan janggal.
Menjelang hari pernikahan, Kustiah kembali mengajukan syarat: upacara pernikahan cukup secara simbolik saja. Sultan Hamengku Buwono II menerima syarat itu. Mereka pun menikah. Nama Kustiah berubah menjadi Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi dan masuk dalam daftar kerabat keraton.
Ketika kesehatan Panembahan Notoprojo memburuk, Kustiah meminta izin suaminya untuk merawat sang ayah. Sultan tidak bisa menolak keinginan Kustiah. Selama kepergian Kustiah, sultan menyadari bahwa mereka tidak cocok menjadi suami-istri. Sultan akhirnya memberi kebebasan pada Kustiah untuk memilih jodohnya sendiri.
Pada 1787, mereka bercerai. Setelah berpisah, Kustiah menikah lagi dengan Pangeran Mutia Kusumowijoyo yang bergelar Pangeran Serang I sehingga dikenal sebagai Nyi Ageng Serang. “Gelar Nyi Ageng,” tulis Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, “dia dapat dari dinasnya di Korps ‘para nyai’ di Keraton Yogya. Sedangkan Serang, didapatnya karena menikahi Pangeran Serang.”
Meski sudah bercerai, Sultan Hamengku Buwono II dan Nyi Ageng Serang masih menjalin hubungan baik. Sultan tak ingin melepaskan hubungan batin dengan perempuan yang dikenal kuat, tangguh, dan pintar itu. Mereka akhirnya menjadi besan ketika Kustinah, anak Nyi Ageng Serang, menikah dengan Pangeran Aria Adipati Mangkudiningrat, anak Sultan Hamengku Buwono II.