Masuk Daftar
My Getplus

Budaya Ukir Kamoro

Setiap keturunan maramowe memiliki motif khas ukiran masing-masing. Tabu ditiru oleh keturunan maramowe lain.

Oleh: Annisa Mardiani | 05 Agt 2012
Sumber: Repro Buku Kamoro tinggalan budaya "Maramowe".

BAGI Mama Ida, penamaan sebagai orang Kamoro atau “orang Hidup” merasa ditiadakan, tanpa ciri dan karakter budaya. Orang Kamoro merupakan idiom yang digunakan bagi mereka yang telah mati untuk menunjuk manusia yang masih ada di bumi. Maka, nama yang benar untuk suku mereka adalah orang Mumuika (Mumuika we), yaitu orang yang berasal dari kali yang sedang banjir. Sesuai dengan folklore yang mereka meyakini bahwa mereka turun bersamaan dengan air berbuih yang diakibatkan oleh banjir dan menetap di Delta Kokonao dan meneruskan keturunan.

Seiring berjalan waktu, seorang pendatang menanyakan, “Siapa kalian?” “Kami Mumuika we (kami orang Mumuika,” jawab penduduk setempat. Lelaki itu masih tak percaya, “Kalian ini apa?” “Kami Kamoro we (kami orang Kamoro), kami orang-orang yang hidup,” jawab penduduk. Jadi, Mumuika digunakan untuk mengidentifikasi diri mereka, dan Kamoro sebagai identifikasi diri dalam konteks pertemuan dengan dunia luar.

Suku Kamoro hidup di tepian Laut Arafuru, bagian selatan Papua tengah. Letak perkampungan-perkampungan suku Kamoro berada di daerah pasang surut air. Mereka memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri dengan mengambil dari alam, tergolong sebagai semi-nomadic hunting, gathering, dan fishing. Sagu, ikan, serta berbagai bahan makanan lain seperti singkong melimpah di sana. Setiap pria dalam keluarga bertugas mencari bahan makanan, wanita kemudian akan memasaknya.

Advertising
Advertising

Suku Kamoro hidup di hutan dan selama beberapa bulan sekali akan pindah membangun rumah sementara di tepian sungai, mencari bahan makanan untuk kehidupannya ataupun untuk dijual ke pasar di Timika. Wilayah suku Kamoro ada di Kokonao, bagian dari Mimika Barat. Suku Kamoro terdiri dari 40 kampung dengan 180.000 orang penduduk.

Pada masa pendudukan Jepang, ketika Perang Pasifik, wilayah Kokonao menjadi pangkalan militer Jepang. Tapi jauh sebelum itu, Kokonao pada tahun 1920-an telah lahir sebagai kota. Maka, Kokonao diberi predikat sebagai “Kota Tua” karena 40 tahun lebih tua dibandingkan Timika. Pada 1927 misionaris Belanda datang ke Kokonao mendirikan gereja, sekolah, rumah sakit, dan asrama. Para pedagang, umumnya datang dari Sulawesi, beragama Islam kemudian mendirikan sebuah masjid.

Masyarakat Kamaro melakukan pembagian kerja di kampungnya. Selain mereka yang ahli dalam mencari bahan makanan, terdapat pula orang-orang Kamoro yang piawai mengukir, disebut maramowe. Mereka membuat ukiran, selain untuk perangkat upacara adat juga untuk dijual.

Seni ukir karya maramowe adalah ikon kebudayan suku Kamoro. Jenis-jenis ukirannya: yamate (perisai), wemawe (patung orang), po (dayung), paru (mangkuk sagu), eme (gendang), dan yang paling sakral adalah mbitoro (totem leluhur). Bahkan, mereka juga mengukir sampan-sampan yang memiliki makna tersendiri. Setiap garis keturunan maramowe memiliki motif khas ukiran masing-masing yang tidak boleh ditiru oleh garis keturunan lain, dan akan menuai bencana apabila dilanggar.

Dalam perjalanannya, seni ukir masyarakat Kamoro mengalami pasang surut. “Ukiran Kamoro ada sedikit sekali, tahun 1950-an sampai 1970-an, setelah Freeport datang ukiran Kamoro dibeli untuk koleksi Freeport Indonesia tapi dengan harga yang murah. Ketika itu ada satu orang yang menyemangati Pak Thimo dan teman-temannya untuk mengukir,” kata Kalman “Kal” Muller, pemerhati budaya Kamoro yang hidup belasan tahun bersama masyarakat Kamoro.

Setelah Kal Muller dapat berbaur dengan masyarakat Kamoro, maramowe kembali produktif dan mulai diperkenalkan pada khalayak umum di Indonesia dan dunia. Kal Muller mendorong orang Kamoro untuk kembali mengukir. Setelah ukiran selesai, dia membayar uang muka, kemudian menjulanya, dan memberikan uang keuntungan penjualan kepada para maramowe sambil kembali mengambil karya-karya ukiran baru.

Kini, kekhawatiran muncul. Budaya Kamoro memang masih bertahan. Tapi generasi muda penerus adat dikhawatirkan enggan mengikuti jejak orangtuanya akibat terlena berinterasksi dengan dunia luar. Ini menjadi tanggungjawab orang Kamoro dan seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut serta dalam mempertahankan budaya Nusantara.

“Saya mau juga, kita orang Indonesia sendiri. Orang Papua sendiri. Memiliki rasa cinta negeri ini. Cinta budayanya.” ujar Thimotius Samin, Bapak Kepala Suku Kamoro dalam acara diskusi “Masa Depan Orang Kamoro” di Bentara Budaya Jakarta, 2 Agustus 2012.

Mathea Mamoyau, seorang aktivis perempuan Kamoro, menambahkan, “Orang Kamoro hidup dari alam yang melimpah, dari hutannya, itu adalah bagian dari jiwa kami. Sekarang ini banyak penebangan liar di hutan, hutan dirusak. Artinya, jiwa kami sedang dirusak.”

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno