Nurhayati Rahman, guru besar filologi di Universitas Hasanuddin Makassar, memperlihatkan salinan aksara dalam menulis teks La Galigo. Beberapa hurufnya terlihat tak biasa dan aneh. Tak seperti aksara Bugis dan Makassar yang dipelajari di sekolah. “Coba lihat huruf Sa-nya. Ada tiga buah aksara yang digunakannya,” katanya. “Terus bandingkan dengan huruf Sa dalam aksara sekarang, hanya ada satu dan seperti ketupat.”
Tiga penanda huruf Sa dalam teks La Galigo yakni berbentuk satu garis lurus tegak, atau kadang-kadang satu garis miring, dan bahkan menyerupai simbol listrik yang digunakan perusahaan listrik negara. Aksara huruf Ja pun memiliki tiga buah penanda. Sementara aksara Ngkaq, Nya, Nra, dan Mpa hanya menggunakan satu buah penanda yakni garis lurus –seperti kata penghubung dalam menuliskan dua kata yang terulang dalam ejaan bahasa Indonesia saat ini.
Namun, pandangan lain menyatakan, jika huruf Sa diyakini sebagai awal mula pembentukan huruf lainnya. Sa dalam komposisinya dijadikan sebagai filosofi dari sulappa eppa –empat unsur kehidupan: udara, air, api, dan tanah. “Huruf Sa –dengan konsep persegi– itu lahir ketika orang mengenal kertas. Saya kira itu pada abad ke 17. Jadi masih muda, sementara aksara yang di gunakan di teks La Galigo jauh lebih tua,” kata Nurhayati.
Teks La Galigo diperkirakan lahir abad ke-7 hingga 10. Sementara menurut Christian Pelras dalam Manusia Bugis, lahir pada abad ke-13. Beberapa pandangan lain menyatakan lahir pada abad 12.
Aksara yang Bugis, baik yang digunakan dalam teks La Galigo dan setelah masyarakat mengenal kertas berjumlah 23 buah, yakni Ka, Ga, Nga, Ngkaq, Ca, Ja, Nya, Nca, Ta, Da, Nra, Pa, Ba, Mpa, Ya, Ra, La, Wa, Sa, A, Ha. Dan dalam aksara ini terdapat 14 buah penanda huruf yang memiliki kemiripan. Selebihnya sangat jauh berbeda.
Nurhayati meyakini, induk penciptaan aksara Bugis yakni aksara Pallawa. Sama dengan aksara di Jawa. Untuk itu, aksara kemudian menjadi identitas dalam sebuah bangsa. Diciptakan melalui sebuah pengetahuan yang kompleks.
Dalam teks La Galigo, kisahnya menceritakan proses penciptaan dunia (dunia tengah) yang dihuni manusia, atas kesepakatan para dewa dari dunia atas (Botting Langiq) dan dunia bawah (Boriq Liuq). Dalam konsep kosmologi itu, diceritakan para dewa (pencipta dunia) memiliki keturunan, beranak cucu, dan tidak esa-tunggal. Sementara dalam kitab agama yang dikenal saat ini, konsep tuhannya tunggal. Teks La Galigo inilah kemudian diyakini sebagai kitab sakral yang bernilai spiritual di masyarakat Bugis.
Untuk itu, teks La Galigo tidaklah dibaca seperti buku yang saat ini pernah kita genggam pada umumnya, melainkan harus didendangkan. “Jadi teks La Galigo menyimpan dan merekam bahasa Bugis kuno. Bahasanya meliputi daya nalar dan saling terikat setiap barisnya,” kata Nurhyati.
“Kini, ada berapa orang mampu membaca salinan teks La Galigo di Sulawesi Selatan. Hitungannya sangat sedikit, bahkan bisa saja tak cukup dalam hitungan jari tangan. Jika sudah demikian, maka bahasa lokal atau bahasa Bugis kuno, telah berada diambang kepunahan,” lanjut Nurhayati.
Sebagai contoh, dalam teks La Galigo penyebutan untuk laki-laki dituliskannya Lalaki, dan saat ini berubah menjadi Urane. Dettia menjadi mata esso yang artinya matahari. Arateng dalam teks La Galigo yang diartikan sebagai balok yang melintang pada tiang rumah, sudah tak memiliki padanannya di bahasa Bugis saat ini.
Mengapa bahasa lokal menjadi imperior? Jawabannya sederhana, bahasa Indonesia dan saat ini bahasa Inggris sebagai “bahasa kelas atas” menginvasi dan merongrong bahasa lokal. Pada 1984, gerakan pemberantasan buta aksara yang digalakkan pemerintah membuat plang dan himbauan untuk menggunakan bahasa Indonesia di segala ruang publik. Di sekolah bahasa pengantar dari bahasa daerah digantikan menjadi bahasa Indonesia.
Padahal, menurut Nurhayati, dalam tata aturannya penggunaan bahasa daerah diwajibkan pada setiap penutur jika masih satu etnis. Namun, ketika berbeda etnis, baru menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar, bukan bahasa utama.
“Tapi ini semacam perang antara lokalitas dan globalisasi. Orang-orang yang melamar pekerjaan di Makassar misalnya akan dites kemampuan berbahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Dan tentulah bahasa daerah tidak penting,” katanya.
Di Kota Palopo, sekitar 360 kilometer dari Makassar, di mana penduduknya menggunakan bahasa Tae, saya menemukan beberapa anak muda yang tak mampu lagi berbahasa daerah. “Bagaimana tidak, sejak kecil diajak pakai bahasa Indonesia. Terus pakai bahasa daerah dianggap memalukan. Baru-baru ini saja, belajar lagi,” kata Dewi Sartika (30 tahun). “Yang ada kita hanya mengenal dialek khas dari masing-masing daerah.”
Ketika anda berkunjung ke Makassar, dialek atau ungkapan seseorang yang menyapa dengan akhiran mi, ki, kita, iye, le, ataupun bah, hanyalah merupakan dialek, bukan bahasa daerah.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Alwi Rahman mengatakan, kehilangan bahasa tidak dapat digantikan dengan bahasa lain. Bahasa daerah atau bahasa lokal, bukan hanya sebagai alat tutur tapi di dalamnya membawa nuansa alam pikir masyarakat atau komunitas.
Dia mencotohkan, kata silessureng, di mana ungkapan itu dalam bahasa Bugis diartikan sebagai saudara dari satu lubang kelahiran. “Sekarang tak banyak yang menggunakan itu dan hanya orang tertentu yang masih mengetahuinya. Padahal ungkapan ini jauh sangat dalam untuk melihat hubungan kedekatan dengan seseorang atau sahabat,” katanya. “Tentu, silessureng tak bisa disamakan dengan saudara angkat, atau saudara makan sepiring. Kata itu, terlampau lemah untuk disandingkan.”
Di Indonesia, sedikitnya terdapat 600 bahasa daerah. Sekitar 13 bahasa daerah yang memilki penutur di atas satu juta orang, termasuk Bugis dan Makassar. Dan 14 bahasa daerah yang telah dianggap punah.
[pages]