Masuk Daftar
My Getplus

Yang Disiksa Sejak Zaman Belanda

Penyiksaan terhadap pembantu rumah tangga telah terjadi sejak masa kolonial Belanda.

Oleh: Nur Janti | 21 Feb 2018
Demonstrasi menentang kekerasan terhadap pembantu rumah tangga.

Penyiksaan terhadap pembantu rumah tangga selalu terjadi ketika si majikan tidak memperlakukan pekerjanya laiknya manusia. Hal semacam ini sudah terjadi sejak era kolonial. Para majikan Eropa, dalam catatan perjalanan Jean Baptiste Tavernier yang dihimpun Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis, kerap menyiksa pembantu rumah tangga yang mereka sebut babu atau jongos.

Babu dan jongos bekerja sebagai pengurus rumah dan keperluan si tuan, dan banyak dari mereka juga mengasuh anak majikan. Mereka bekerja seperti pembantu rumah tangga di masa sekarang namun status mereka adalah budak.

“Pada masa itu tidak ada tenaga kerja bebas. Hal ini terlihat dari kebiasaan sejumlah pemilik budak untuk menyewakan budaknya,” kata Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.

Advertising
Advertising

Catatan Tavernier yang ditulis abad ke-17 itu menyebut penyiksaan terhadap babu banyak dilakukan orang Eropa. Istri seorang mayor di Batavia, misalnya, pernah menyeret babunya yang gadis pribumi. Setelah mengikat si babu di meja, dia menyiksanya hingga si babu meninggal.

Baca juga: Pengasuh Anak di Masa Kolonial

Penyebab kemarahan si majikan sebenarnya sepele, cemburu karena melihat si babu tersenyum pada tuannya ketika memberikan mantel. Berkaca pada kehidupan lelaki Belanda di Batavia yang kawin dengan pembantunya, nyonya itu curiga ada hubungan khusus antara si babu dan mayor.

Setelah si babu tewas dengan tubuh terikat, nyonya itu berencana mencincang tubuhnya dan memasaknya. Dia ingin menjadikan tubuh si gadis sebagai santapan malam suaminya. Namun, rencana itu urung dilaksanakan karena babu-babu lain di rumahnya mengancam akan melaporkan itu pada tuannya. Meski begitu, si nyonya tak kena hukuman apapun.

Kasus lain yang diceritakan Tavernier tak kalah kejam. Seorang nyonya terganggu oleh senda gurau babu perempuannya dengan seorang jongos pria. Nyonya itu merasa tawa si babu genit. Si nyonya yang marah langsung menyeret babunya ke dapur, memaksanya masuk ke dalam martavane, gentong air yang terbuat dari tanah liat.

Baca juga: Usaha Alot Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan

Martavane memiliki bentuk kecil di bagian mulut, membesar di bagian tengah dan mengecil lagi di bagian dasar sehingga sulit sebetulnya memasukkan manusia ke dalamnya. Tapi begitu si nyonya berhasil memaksa babunya masuk, dia menyiramkan air mendidih sedikit demi sedikit sampai martavane itu penuh. Si babu pun meninggal terendam dalam air panas. Meski nyonya itu kemudian mendapat hukuman, hukumannya hanya denda sebanyak f.200 yang dibayarkan kepada petugas pajak.

Bila majikan perempuan menyiksa babunya hingga tewas, majikan pria menyiksa budaknya dengan memperkerjakan mereka tanpa istirahat. Budak-budak itu akhirnya bunuh diri karena kelelahan dan putus asa. Ada yang bunuh diri dengan menenggelamkan diri karena mengira itu cara yang paling tidak menyakitkan, ada juga yang menggorok leher atau memilih gantung diri.

Baca juga: Kala Budak Memberontak

Banyak bukti perlakuan buruk orang Eropa terhadap pembantunya, terutama pada abad ke-17. Namun, Francis Gouda dalam Dutch Culture Overseas tak sependapat dengan banyaknya kekejaman terhadap babu seperti yang dicatat Tavernier. Menurutnya, hanya sedikit nyonya-nyonya Hindia yang menyiksa secara fisik atau menyakiti dan memukuli pelayan-pelayan pribumi mereka.

“Kadang-kadang nyonya-nyonya itu menampar pembantunya atau mempermalukan mereka secara psikologis dan melecehkan harga diri mereka,” tulis Gouda.

Kondisi perbudakan baru sedikit membaik ketika ide pencerahan mulai menyebar pada abad ke-18. Meski penyiksaan terhadap budak tetap berlangsung, itu terjadi melalui jalur hukum. Setelah ada laporan dari majikan tentang perilaku pembantu atau budak mereka, hukum kemudian mengeksekusi babu atau budak itu dengan dicambuk atau dipenjara.

Baca juga: Kisah Pinah, Babu Bumiputra yang Bikin Belanda Gempar

Pun majikan mulai menerima hukuman meski tidak berat. Seperti dalam kasus Belanda kaya yang menembak mati budaknya dan menyiksa tiga budak lain pada 1742. Majikan itu dihukum keluar dari seluruh wilayah VOC. Bentuk hukuman bisa pula berupa pencabutan hak kepemilikan budak karena memperlakukan budak dengan sangat kejam. “Pada akhirnya penguasa Belanda mulai serius memikirkan nasib budak,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia.

Toh, adanya hukuman terhadap penyiksa pembantu atau budak tak signifikan mengurangi kekejaman terhadap babu dan budak. Babu yang diperlakukan tidak manusiawi terus bermunculan. Pada abad ke-20, Pinah salah satu korbannya. Babu berusia 10 tahun yang dibawa majikannya ke Belanda itu harus siap melayani majikan 24 jam tiap hari. Majikannya memperlakukan Pinah secara kasar dan pelit.

“Perempuan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda menampilkan sikap yang penuh kebencian, asusila, dan rasis,” tulis Rudy Kousbroek dikutip Gouda.

TAG

perempuan rumah tangga

ARTIKEL TERKAIT

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Jejak Para Pelukis Perempuan Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Kisah Pengorbanan Seorang Babu Perempuan di Medan Perang