Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah Asinnya Garam

Saking intimnya, sejak ribuan tahun silam banyak orang sering tak sadar akan arti penting batuan kristal ini.

Oleh: M.F. Mukthi | 16 Agt 2011
Pembuatan garam di Madura tahun 1948. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

Jangan sepelekan garam. Ia kelihatannya sepele tapi sejak dulu hampir tak pernah absen dari keseharian hidup manusia. Fungsi garam tidaklah sesederhana yang kita kenal.

“Angka yang sering dikutip industri garam modern adalah 14.000, termasuk untuk pembuatan obat-obatan, mencairnya es dari jalanan ketika musim dingin, menyuburkan lahan pertanian, pembuatan sabun, melarutkan air, dan pewarnaan tekstil,” tulis Mark Kurlansky dalam Salt: A World History.

Garam merupakan salah satu zat dasar terpenting bagi organisme. Bagi manusia, garam, “bukan hanya merangsang selera, tetapi juga kebutuhan biologis. Ketika manusia berkeringat, dia kehilangan beberapa garam alami di tubuhnya dan ini harus diganti dari makanan yang dia makan,” tulis Reay Tannahill dalam Food in History.

Advertising
Advertising

Garam memiliki bermacam-macam jenis. Yang paling umum dan sering kita konsumsi adalah natrium klorida, yang rasanya asin. Garam-garam lain ada yang pahit atau asam. Sumber garam yang paling umum: air laut, residu bebatuan dari laut kuno, dan sumber garam alam seperti danau air asin. “Hampir tak ada tempat di bumi ini yang tidak ada garamnya,” tulis Mark Kurlansky.

Baca juga: Balada Ikan Asin dari Zaman Jawa Kuno

Penggunaan garam sudah dilakukan sejumlah peradaban kuno, bukan hanya untuk kebutuhan kulinari. Bangsa Mesir kuno memakai garam untuk kebutuhan kulinari selain membuat mumi –teknik ini lalu dipakai untuk mengawetkan daging. Petani-petani Eropa Abad Pertengahan belajar menjauhkan hasil panennya dari jamur ergot –yang beracun– dengan cara merendamnya ke dalam air garam.

Bangsa Yunani, Romawi, dan bangsa-bangsa Eropa lain menempatkan garam di deretan barang-barang terpenting, salah satunya dalam daftar persembahan kepada dewa. Budaya Venesia juga dibangun dari budaya garam. Terminologi salary (gaji) berasal dari kata bahasa Latin yang bermakna “jatah garam”. Kata “cabul” (salacious) juga berasal dari bahasa Latin, di mana bangsa Romawi menganggap orang yang sedang jatuh cinta dalam keadaan asin.

Garam sering diasosiasikan dengan kesuburan; dipercaya bisa membangkitkan gairah seksual. Pasangan pengantin di Pyrene, Prancis, membawa garam di kantong kiri saat ke gereja untuk melindunginya dari impotensi sementara pasangan pengantin di Jerman menaburi garam ke sepatu mereka. Para pendeta bujangan Mesir kuno sengaja menjauhkan diri dari garam untuk menahan hasrat seksual. Begitu pula orang Dayak di Kalimantan sepulang dari mengayau (memotong kepala musuh dalam peperangan; karena dianggap bisa memberi kekuatan mistis dan spiritual) memantangkan diri terhadap seks maupun garam.

Baca juga: Ngeri-ngeri Sedap Terasi

Para petani Anglo-Saxon memasukkan garam ke dalam lubang bajak-bajak mereka lalu, sambil membajak, mereka berteriak memanggil nama dewi bumi dengan harapan hasil tanamannya baik dan banyak.

Seringkali garam dijadikan lambang kesetiaan, keabadian, dan persahabatan. Orang Ibrani kuno –diikuti orang-orang Yahudi hingga kini– menganggap garam sebagai simbol sifat kekal perjanjian Allah dengan bangsa Israel. Taurat, Kitab Bilangan, menulis, “Ini adalah perjanjian garam selamanya, di hadapan Tuhan.” Lalu dalam Chronicles, “Tuhan Allah Israel memberi kerajaan Israel kepada Daud selamanya, bahkan untuk dia, dan anak-anaknya, dengan sebuah perjanjian garam.” Plato mengibaratkannya sebagai “zat utama yang mewakili rasa sayang kepada dewa”, sementara Homerus menyebutnya “zat Ilahiah.” Pasukan India menyatakan janji setianya kepada Inggris juga dengan garam.

Selain keabadian, Kristen mengidentikkan garam dengan kebenaran dan kebijaksanaan. Gereja Katolik tak hanya membagi-bagikan air suci tapi juga garam suci, Sal Sapientia (Garam Kebijaksanaan).

Baca juga: Sersan Mayor Terasi

Di banyak peradaban kuno, garam dijadikan alat tukar/uang. Para serdadu ataupun pekerja diupah dengan garam. Saking berharganya, di Karibia garam ditimbun di bawah tanah rumah-rumah pedagang. Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776), juga menyinggung hal ini. “Selama ribuan tahun, garam mewakili kekayaan,” tulis Mark Kurlansky.

Arti penting garam bagi manusia menjadikannya komoditas penting sejak berabad-abad silam. “Garam menjadi salah satu komoditas internasional pertama perdagangan dunia,” tulis Mark Kurlansky.

Berbagai penguasa hampir tak pernah absen menerapkan pajak garam. Nilai garam seringkali jauh lebih tinggi dari semestinya. Garam disejajarkan dengan benda-benda berharga lainnya. Orang-orang di Lembah Niger, yang tak mempunyai sumber garam alami dan jauh dari laut, pada abad ke-16 membarter emasnya dengan garam dari orang-orang Mediterania.

Garam juga dijadikan alat untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Komunis China terpaksa melepaskan wilayah selatan Sungai Yangtze, yang telah mereka kuasai selama delapan tahun, lantaran pemerintah Nanking memblokade pasokan garam ke daerah itu pada 1936. Penduduk Kempala, Uganda, menjadikan ketidaktersediaan garam di pasar-pasar sebagai alasan untuk membuat kerusuhan guna untuk merongrong rezim Idi Amin pada 1970-an.

Baca juga: Ketika Daud Beureuh Disuguhi Nasi Garam

Bangsa China mungkin yang pertama dan terbanyak berhubungan dengan garam. Catatan paling awal produksi garam di China sudah ada dari sekitar 800 SM. Di dalamnya termuat informasi mengenai produksi dan perdagangan garam laut di sana satu milenium sebelumnya, masa Dinasti Xia. Digambarkan, orang-orang memproduksi garam dengan memasukkan air laut ke dalam bejana tanah liat. Air itu lalu didihkan sampai susut dan hanya menyisakan kristal-kristal garam –teknik ini lalu diikuti orang-orang di berbagai belahan dunia hingga dua milenium sesudahnya.

Pengolahan garam paling awal di masa prasejarah China terdapat di provinsi Shanxi. Danau air asin di sana, Danau Yuncheng, menjadi sumbernya. Penduduk selalu mengambil garam darinya. “Sejarawan China yakin sejak 6000 SM, tiap tahunnya, ketika air danau menguap oleh matahari musim panas, orang memanen kristal persegi di permukaan air,” tulis Kurlansky. Karena pentingnya danau itu, daerah tersebut dikenal selalu menghadapi peperangan; berebut kendali atas danau.

Hingga memasuki masa Republik, garam tetap jadi komoditas penting bagi China. Ketika belum lama berdiri, pemerintahnya mengandalkan garam sebagai komoditas untuk mengisi kas negara. Untuk menanganinya, China mengontrak “raja garam” Sir Richard Henry Dane –orang Irlandia yang berpengalaman menangani garam di India.

Baca juga: Gudang Garam di Antara Beruang Merah & Paman Sam

Orang-orang China pula yang mensuplai garam ke kepulauan Nusantara pada masa prakolonial. Garam masyarakat Nusantara kala itu disuplai dari Kocin, China, pantai utara Jawa, Pulau Luzon, Koromandel, dan Siam.

Orang Eropa punya peran besar bagi pergaraman di Nusantara. Sejak VOC, pajak tak langsung atas garam diberlakukan dan mereka memperluas tambak garam pada abad ke-19. Raffles pada 1813 memonopoli garam di seluruh wilayah kekuasaannya. Oleh pemerintah Hindia Belanda, “pada tahun 1870 akhirnya pengusahaan garam dibatasi dengan sewenang-wenang pada Pulau Madura saja,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia. Tujuannya, mempermudah pengawasan.

“Garam adalah salah satu komoditas paling dicari dalam sejarah manusia,” tulis Mark Kurlansky.

“Anda bisa tetap hidup tanpa emas, tapi tidak tanpa garam,” tulis Felipe Fernandez Armesto dalam 1492: The Year the World Began.

TAG

kuliner garam

ARTIKEL TERKAIT

Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat Kontes Memasak Tempo Dulu Sejarah Panjang Mi Kuah Khas Jepang Mula Restoran All You Can Eat Popcorn dari Jalanan ke Bioskop Meriung di Warung Makan Tempo Dulu Kuliner Eropa yang Diadopsi di Nusantara Rumah Merah Kapitan Lim Fatmawati Suka Memasak