Kelapa sawit punya julukan yang mentereng: buah emas. Disebut demikian lantaran tanaman keras dengan nama latin Elaeis guineensis ini bernilai ekonomi tinggi. Minyak yang diperoleh dari pengolahan biji sawit merupakan bahan baku minyak nabati yang lazim digunakan untuk mengolah berbagai bahan makanan. Untuk soal kelapa sawit ini, Indonesia boleh berbangga karena sekarang tercatat sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.
“Boleh dikata keadaannya from zero to hero, dimulai dari bukan apa-apa menjadi pemain terbesar dalam percaturan bisnis minyak nabati dunia,” kata juragan sawit asal Sumatra Utara Derom Bangun dalam memoarnya Derom Bangun: Memoar “Duta Besar” Sawit Indonesia.
Menurut Derom, kata sawit sendiri sudah ada sejak lama. Beberapa tempat atau desa di Jawa sudah ada yang menggunakan nama sawit. Dalam bahasa Jawa Kawi, sawit artinya sidhakep (kalung). Nama lain dalam bahasa Jawa adalah kelapa sewu, dan dalam bahasa Sunda sering disebut sebagai salak minyak atau kelapa ciung. Terlepas dari asal-usul kata, sejarah mencatat budidaya kelapa sawit di Nusantara dimulai pada 1848.
Bermula dari empat bibit sawit yang didatangkan Pemerintah Hindia Belanda. Dua bibit berasal dari Bourbon (Mauritius, Afrika tengah) sedangkan dua bibit lainnya dari Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda. Bibit-bibit sawit tadi ditanam di Kebun Raya Bogor yang direkturnya kala itu dijabat oleh Johanes Elyas Teysman. Pada 1853, keempat tanaman sawit berbuah. Bijinya disebarkan secara gratis. Meski demikian, pohon-pohon sawit pada saat itu hanya diperuntukan sebagai penghias taman atau jalanan.
Baca juga:
Dua Abad Membangun Reputasi Kebun Raya Bogor
Rakyat Hindia Belanda tidak begitu menaruh minat terhadap kelapa sawit. Sebabnya, kelapa sawit masih terasa asing. Mereka lebih suka memakai kelapa yang dapat diolah dalam berbagai ragam makanan ataupun bahan untuk keperluan rumah tangga. Sementara itu, pemerintah kolonial giat melakukan percobaan penanaman kelapa sawit di berbagai wilayah Hindia.
Antara 1856—1870, uji coba pertama dilakukan di Karesidenan Banyumas. Meski tidak menghasilkan minyak, namun diketahui kelapa sawit di Banyumas berbuah lebih cepat (4 tahun) ketimbang di tanah asalnya, Afrika (6-7 tahun). Uji coba kedua dilakukan di Karesidenan Palembang, yakni Muara Enim (1869), Musi Ulu (1870), dan Belitung (1890). Hasilnya tidak begitu baik karena iklim Palembang kurang sesuai untuk pertumbuhan kelapa sawit. Pada 1895, produksi minyak kelapa sawit justru tercatat dari perkebunan di Banten.
Seiring dengan perkembangan revolusi industri, permintaan akan minyak nabati meningkat. Pada 1911, industri minyak sawit dirintis oleh Adrien Hallet, pengusaha kebangsaan Belgia. Hallet membuka lahan perkebunan sawitnya di Sungai Liat, Aceh Timur di bawah bendera perusahaan Sungai Liput Cultuur Maatschappij. Sejak itu, perkebunan sawit skala besar untuk kepentingan dagang mulai menjamur di pesisir timur Sumatra. Tanah Deli menjadi sentra produksi dengan varietas sawitnya yang terkenal Dura Deli.
Baca juga: Yang Terbuai di Perkebunan Deli
Pada 1919, minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dari kawasan Pesisir Timur Sumatra diekspor untuk kali pertama. Dalam pengolahan minyak sawit, tandan buah segar diambil terlebih dahulu dengan menjolokkan pisau bertiang panjang. Pemanenan sawit ini disebut dengan istilah mendodos.
“Minyak sawit disadap dari daging buah di pabrik-pabrik yang terletak di perkebunan; biji-bijinya setelah dipisah dari dagingnya, dikupas dan diekspor dengan minyaknya,” tulis Dr. J. Stroomberg, Kepala Divisi Perdagangan Hindia Belanda di Bogor dalam Hindia Belanda 1930.
Seturut penelitian Pieter Creutzberg dan J.T.M van Laanen, sampai Perang Dunia I, produksi sawit agak lamban. Kemajuan pesat terjadi pasca depresi ekonomi pada 1921. Pada 1924, lahan yang ditanami kelapa sawit di pesisir timur Sumatra sebesar 18.801 hektare dari yang semula hanya 414 hektare.
“Pada waktu yang hampir bersamaan, di Jawa muncul sejumlah kecil perusahaan minyak kelapa sawit. Mereka berproduksi untuk pabrik-pabrik sabun dalam negeri, dan kemudian untuk pabrik mentega,” tulis Creutsberg dan van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi di Indonesia.
Baca juga:
Menurut Stroomberg, pada 1930 pengolahan komoditas kelapa sawit di Hindia Belanda masih mengalami perkembangan terus-menerus. Semula pengemasan ekspor minyak sawit mengalami kendala pengemasan. Masalah itu terpecahkan dengan pengiriman minyak secara borongan, yaitu dengan kapal tanker.
Sampai tahun 1940, telah berdiri sekira 60-an perkebunan sawit di Hindia Belanda meliputi luas areal 100.000 hektare. Tidak diragukan lagi bahwa Hindia Belanda menjadi pemain penting eksportir minyak sawit mentah terbesar di dunia. Kapal-kapal dagang hilir mudik membawa minyak sawit dari Aceh, Asahan, dan Lampung menuju Rotterdam, Belanda. Di masa ini, permintaan cukup banyak berasal dari pabrik-pabrik margarin dan sabun di Eropa.
Sempat tumbuh pesat di masa kolonial, budidaya sawit mengalami masa suram pada pendudukan Jepang. Pasalnya, pemerintah Jepang lebih melirik tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan perang. Akibatnya, sejumlah lahan perkebunan sawit terlantar dan produksi minyak sawit pun turun drastis. Hal yang sama juga terjadi di era revolusi kemerdekaan. Baru di masa setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, industri sawit ditata ulang kembali.
Baca juga:
Pada 1957, Presiden Sukarno menasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia. Begitu pula dengan perkebunan sawit warisan era kolonial yang ikut dinasionalisasi jadi milik negara. Kendati demikian, kebijakan nasionalisasi itu belum dapat menggenjot pertumbuhan produksi sawit secara signifikan. Beberapa pemberontakan di daerah bergolak dan kemampuan petani lokal yang terbatas membuat pertumbuhuan produksi sawit jalan ditempat.
Industri sawit mulai bangkit lagi pada paruh kedua 1970. Hal ini tidak terlepas dari temuan baru dalam pengolahan minyak sawit. Para pegiat industri berhasil menetralkan minyak sawit dari kandungan asam lemak bebas yang membuat minyak teroksidasi dan jadi tengik. Setelah melewati proses netralisasi, sebagian minyak membeku dalam suhu ruang dan sebagian lagi tetap cair. Minyak yang cair digunakan sebagai minyak goreng sedangkan yang beku untuk bahan baku margarin, sabun, dan industri olekimia.
“Sejak diproduksi menjadi minyak goreng, kelapa sawit dengan cepat menjadi idola warga dunia, terutama penduduk negara berkembang. Minyak sawit lebih disukai penduduk negara berkembang karena harganya lebih terjangkau,” tulis tim peneliti Sawit Watch dalam Raja Limbung: Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia suntingan Mardiyah Chamim dan Dwi Setyo Irawanto.
Baca juga:
Untuk menggalakkan produktivitas, pemerintah menerbitkan sejumlah kebijakan. Pada 1980, pemerintah mencanangkan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Melalui PIR terjalin kemitraan antara Perkebunan Besar Negara dengan Perkebunan Rakyat. Menurut Derom Bangun itulah cikal bakal petani mengenal kelapa sawit. Program PIR dikembangkan secara simultan ke 12 provinsi meliputi daerah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Pemerintah kemudian melibatkan para transmigran untuk dikaryakan dalam program PIR-Trans. Selain itu, pemerintah juga memberi kesempatan terhadap pengusaha swasta merambah bisnis sawit lewat program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN).
Memasuki dekade 1990, industri sawit tanah air memasuki masa ekspansi. Perkebunan kelapa sawit membentang di berbagai pulau besar dari ujung Sumatra sampai Papua. Dari tahun ke tahun nilai ekspor minyak sawit mentah dari Indonesia terus meningkat. Sudah barang tentu geliat sawit ini berdampak besar dalam mendongkrak perekonomian. Ia menjadi salah satu komoditas penyumbang devisa terbesar bagi negara. Produksi sawit Indonesia bahkan telah menjadi yang tertinggi di dunia setelah menggeser Malaysia pada 2006.
Kebutuhan pasar terhadap sawit selalu tinggi karena keterjangkauan dan daya gunanya. Kehadirannya sebagai bahan utama penghasil minyak nabati pun hampir tidak tergantikan. Tanpa disadari, pemakaian produk turunan sawit nyatanya sangat dekat dengan khalayak. Hasil pengolahan si “buah emas” ini dapat kita temui dalam beragam wujud. Mulai dari minyak goreng, mentega, sabun, sampo, hingga kosmetik (losion, lipstik, dan kuteks).
Baca juga:
Pesawat Sukhoi Rasa Minyak Sawit
Pun demikian, penyelenggaraan usaha sawit dalam sejarahnya juga menyisakan persoalan. Konflik lahan dengan rakyat setempat dan masyarakat adat terjadi di beberapa perkebunan. Dari segi ekologi, deforestasi hutan akibat pembukaan lahan perkebunan sawit menyebabkan kerusakan lingkungan. Mengutip penelitian tim Sawit Watch, periode terburuk deforestasi terjadi pada rentang 1999-2004. Salah satu imbasnya, perluasan lahan perkebunan kelapa sawit mengancam habitat asli orang utan seperti yang banyak terjadi di Kalimantan.
Tidak dapat dimungkiri, seabad lebih sejak budidaya perdananya di Nusantara, kelapa sawit memberikan manfaat bagi hajat hidup orang banyak lintas generasi. Pekerja kebun sawit beroleh mata pencaharian. Pengusahanya mendapat keuntungan. Negara pun mendulang pundi-pundi devisa lewat perdagangan ekspor. Meski begitu, ada pula dampak sosial dan lingkungan yang mesti diperhatikan dan jadi kepedulian bersama.
“Dari sejarah kelapa sawit di Indonesia dan perjalanannya yang berliku-liku kita bisa melihat bahwa masa depan sawit Indonesia akan benderang dan jika pemanfaatan hasilnya dilakukan dengan benar, akan mendatangkan manfaat yang besar bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Derom Bangun.