Masuk Daftar
My Getplus

Menjaga Muatan Kapal Tenggelam Tetap di Situsnya

Situs kapal tenggelam di Rembang, Bali, dan Yunani bisa jadi contoh pengelolaan tinggalan arkeologi bawah air.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 20 Mar 2021
Ilustrasi muatan kapal tenggelam. (DiveIvanov/Shutterstock).

Peninggalan arkeologi bawah air menjadi perbincangan setelah pemerintah membuka investasi asing dalam bidang pengangkatan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT). Namun, sejauh ini pemerintah belum mendapatkan satu sudut pandang dalam strategi pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air.

Sementara itu, UNESCO sudah mempromosikan konvensi tahun 2001 tentang perlindungan cagar budaya bawah air. Salah satu prinsipnya adalah penerapan pelestarian in situ (in-situ preservation).

Beberapa situs di Indonesia dan dunia sudah ada yang mengelola tinggalan bawah lautnya dengan metode itu.

Advertising
Advertising

Pelestarian In Situ

Agni Sesaria Mochtar, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam “In-Situ Preservation sebagai Strategi Pengelolaan Peninggalan Arkeologi Bawah Air Indonesia”, Kalpataru: Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1 (2016) berpendapat pelestarian in situ bisa menjaga kondisi artefak, terutama artefak berbahan organik. Artefak itu bisa tetap terawetkan karena masih berada dalam lingkungan aslinya.

Metode in situ sudah diterapkan pada Situs Punjulharjo, Rembang, yang ditemukan pada 2008. Bangkai kapal kayu itu diekskavasi oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. Setelah selesai digali pada 2009, bangkai kapal itu tetap berada di konteks aslinya. Situsnya dijaga agar tetap terendam air laut.

“Dilakukan dengan pertimbangan keaslian lingkungan akan berperan penting dalam konservasi bahan kayu yang mudah lapuk jika mengalami perubahan kondisi yang ekstrem,” tulis Agni.

Baca juga: Investasi Asing dalam Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam

Konvensi UNESCO tahun 2001 juga menyebutkan, selain menjamin kelestarian situs, yang menjadi prioritas juga agar masyarakat bisa mengakses peninggalan arkeologi bawah air itu. Tentunya dengan tidak merusak kondisi aslinya.

Contohnya situs bangkai kapal USAT Liberty di Tulamben, Bali. Situs ini menjadi tujuan wisata sejak 1997 hingga sekarang. Para pengusaha asing, nasional, lokal berdatangan menanamkan investasinya di wilayah Desa Tulamben. Penginapan, restoran, dan berbagai fasilitas lainnya terkait wisata selam dibangun di sepanjang perkampungan.

“Adanya penegakan hukum dari hukum adat awig-awig menjadikan situs ini terjamin kelestariannya dan tetap bisa diakses masyarakat,” tulis Agni.

Bangkai Kapal Yunani Kuno

Contoh lain adalah kapal kargo Paristera di Yunani. Kapal ini memuat sekira 4.000 amphorae tanah liat, yakni wadah berbentuk vas dengan dua pegangan yang bagian lehernya lebih panjang dan sempit dari bagian badannya. Amphorae itu kemungkinan berisi anggur ketika kapal yang mengangkutnya tenggelam pada akhir abad ke-5 SM di Laut Aegea, di lepas pantai pulau Alonissos. Menariknya, sebagian besar muatan kapal itu masih utuh meski rangka kayu kapal telah membusuk selama ribuan tahun.

Tahun lalu, bangkai kapal berusia ribuan tahun itu dibuka untuk umum sebagai museum bawah air. Atraksi maritim yang berpusat di sekitar kapal karam Paristera menyambut pengunjung sejak 3 Agustus hingga 2 Oktober 2020.  

Sebagaimana dikutip dari AP News, selama beberapa dekade sebelumnya, warisan bawah air Yunani yang kaya telah lama menjadi kawasan yang dilarang didekati semua orang kecuali orang-orang tertentu terutama arkeolog. Penyusun kebijakan setempat khawatir penyelam akan menjarah artefak-artefak yang ada di dalamnya.

Baca juga: Syarat Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam

Aktivitas penyelaman terus dilarang di seluruh negeri itu, kecuali di beberapa lokasi, sampai aturannya direvisi pada 2005. Yunani mulai membuka beberapa situs tertentu untuk penyelam umum.

Sekarang, penemuan kapal karam Paristera yang spektakuler itu menjadi bangkai kapal kuno pertama yang dapat diakses oleh publik di Yunani, termasuk penyelam rekreasi. Situs ini sekaligus menjadi museum arkeologi bawah air pertama di negara itu.

Pengunjung yang ingin melihat sisa-sisa Paristera dapat melakukan tur di sekitar kapal dengan ditemani pemandu berlisensi. Untuk melihat Paristera, mereka mesti menyelam sejauh 92 kaki atau 28,0416 m di bawah permukaan air.

Sementara bagi mereka yang tidak dapat menyelam tetap bisa menikmati tur dunia dasar laut menggunakan teknologi realitas virtual di pusat informasi Kementerian Kebudayaan di Alonissos.

Baca juga: Dilema Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam

Dimitris Kourkoumelis, arkeolog yang memimpin persiapan situs untuk kunjungan wisatawan mengatakan, butuh waktu lama untuk mengizinkan pengunjung mengakses bangkai kapal kuno itu. Sangat penting untuk mengatur proyek dan kondisi penyelaman dengan benar. Termasuk memastikan situs-situs itu sudah terlindungi sebelum bisa dibuka bagi publik.  

“Butuh waktu bertahun-tahun dan itu logis. Situs kuno bawah air dan khususnya bangkai kapal kuno terekspos dan rapuh,” katanya dikutip oleh New York Post. “Semua syarat harus dipastikan agar situs ini tetap aman di masa depan dan generasi mendatang.”

Ke depannya, pihak berwenang Yunani berencana membuka empat bangkai kapal kuno lain untuk penyelam amatir. Tujuannya untuk membentuk taman selam yang akan menarik lebih banyak wisatawan.

Komersialisasi Masih Dilindungi Regulasi

Indonesia belum menerapkan metode in situ sebagai pilihan pertama. Alasanya, kata Agni, karena belum meratifikasi konvensi UNESCO tahun 2001. Usulan pelestarian in situ masih menjadi lompatan yang terlalu jauh untuk dilakukan. Pasalnya, pemerintah masih belum secara resmi membubarkan Panitia Nasional (PANNAS) BMKT. Artinya, kegiatan eksploitasi ekonomi terhadap peninggalan arkeologi bawah air masih dilindungi regulasi.

Padahal, sebagaimana dikatakan Surya Helmi, anggota senior Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), dari puluhan pengangkatan muatan kapal tenggelam yang sudah dilakukan, hanya beberapa yang dinilai berhasil. Yang tidak berhasil hanya menghasilkan puluhan ribu benda, sebagian besar berupa keramik, yang tak memiliki nilai komersial dan tak laku dijual.

Baca juga: Bukti Keberagaman dari Muatan Kapal Tenggelam

Benda-benda itu kemudian bertumpuk di gudang BMKT Cileungsi. Sebagian lainnya tersimpan di gudang penyimpanan para investor yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Hingga kini belum ada kesepakatan pemanfaatannya oleh instansi terkait yang berwenang.

“Puluhan ribu keramik bertumpuk di Cileungsi. Mau diapakan? Saya nggak tahu, kita pikirkan bersama,” kata Surya dalam diskusi “Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres No. 10 Tahun 2021” yang diadakan IAAI Pusat lewat daring, Rabu (10/03).

Harry Satrio, direktur utama PT. Cosmix Asia sekaligus Sekjen Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT, memandang peninggalan arkeologi bawah air perlu diangkat. Kalaupun dibiarkan di situs aslinya, sulit menjamin keamanan situs akan tetap terjaga.

“Kenapa pemerintah tak memanfaatkan kami pengusaha lokal, modalnya 100 persen dari kami untuk menjaga barang-barang itu. Paling bagus diselamatkan diangkat. Sampai atas monggo mau untuk penelitian. Dari situ baru punya nilai intelektual,” kata Harry dalam forum konsultasi terkait pengelolaan BMKT pasca terbitnya UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 yang diadakan Kementerian Kelautan dan Perikanan lewat daring, Kamis (18/03).

Baca juga: Melindungi Kenangan Kapal Perang

Harry prihatin melihat maraknya pencurian muatan kapal tenggelam yang masih ada di bawah laut. Dia pernah melihat pengangkatan muatan kapal karam ilegal di Kepulauan Riau. “Karena kami prihatin sampai detik ini pencurian di Kepulauan Riau, cukong-cukong membeli dari nelayan, terutama akhir pekan,” katanya.

Harry berkeinginan pengangkatan muatan kapal tenggelam tetap dengan kaidah arkeologi. Lalu prosesnya didokumentasikan dan lebih jauh dimuseumkan.

“Ini jadi nilai jual. Museum yang kami maksud juga bukan cuma bangunan ada keramik dalam kaca. Kalau begini di Jalan Surabaya banyak. Tapi ada diorama, ada film, perusahaan apa yang mengangkat. Ada ceritanya,” ujar Harry.

Baca juga: Kapal Perang Jerman Karam di Sukabumi?

Harry juga menjelaskan sejak perusahaannya didirikan pada 2010 tak pernah menerima keuntungan. Begitu pula anggota lainnya yang tergabung dalam APPP BMKT.  

“Barang kami masih di gudang kami sendiri. Dengan biaya kami sendiri. Tiap tahun kami minimal keluarkan Rp300 juta untuk merawat barang-barang itu, sewa gudang, bayar listrik,” kata Harry. “Ini usaha hobi sebenarnya. Fakta di lapangan, kami prihatin dengan pencurian.” 

Sementara itu, menurut Agni, in-situ preservation bisa menjawab kesulitan dalam penanganan peninggalan arkeologi bawah air, seperti biaya pengangkatan yang besar, kebutuhan gudang penyimpanan, serta ancaman kerusakan artefak karena perbedaan kondisi air laut dan daratan.

TAG

investasi kapal tenggelam

ARTIKEL TERKAIT

Bukti Keberagaman dari Muatan Kapal Tenggelam Syarat Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam Investasi Asing dalam Pengangkatan Muatan Kapal Tenggelam Jalan Pintas Menuju Harta, Tahta, dan Wanita Mahaguru Investasi Tipu-tipu Beasiswa dari Masa ke Masa Ayah Fariz RM Tepung Seharga Nyawa Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Cikal Bakal Bursa Saham