Masuk Daftar
My Getplus

Melindungi Kenangan Kapal Perang

Hilangnya bangkai sejumlah kapal Belanda di perairan Indonesia jadi alarm buat Amerika. Seberapa penting buat Indonesia?

Oleh: Randy Wirayudha | 27 Feb 2019
Kapal penjelajah Amerika Serikat USS Houston CA-30 (Foto: Naval History and Heritage Command)

SETELAH melarung karangan bunga di Selat Sunda pada Juni 2014 lalu, Armada Pasifik AL AS akan melakukannya lagi pada 1 Maret 2019 untuk untuk mengenang kapal penjelajah USS Houston (CA-30) beserta para awaknya yang tenggelam dalam Pertempuran Laut Jawa tahun 1942. Ritual itu akan dilakoni para awak kapal penyapu ranjau USS Chief (MCM-14) dan beberapa kolega mereka dari AL Australia.

“Kami senang dan merasa terhormat untuk bisa mengenang mereka. Sampai sekarang masih banyak pahlawan perang Amerika yang hilang di sana (Selat Sunda),” ungkap komandan USS Chief Lieutenant Commander (setara mayor) Frederick Crayton dalam diskusi “Defense of Java and the Dutch East Indies: World War II” di @America, Mal Pacific Place, Jakarta, Selasa (26/2/2019).

Para personel AL AS berharap bisa terus melakukannya tanpa harus khawatir bangkai kapal USS Houston bakal senasib dengan sejumlah bangkai kapal perang Belanda dan Inggris yang raib di dasar beberapa perairan Indonesia. NLMS De Ruyter, Java, dan Kortenaer milik AL Belanda maupun HMS Electra dan HMS Exeter milik AL Inggris bangkainya sudah raib dirongsok para pedagang besi bekas.

Advertising
Advertising

USS Houston merupakan kapal yang tergabung dalam armada Komando ABDA (American, British, Dutch, Australia) saat menahan ofensif Jepang di Hindia Belanda pada Februari-Maret 1942. Bersama Perth, Houston ditenggelamkan kapal-kapal Armada Invasi Barat Jepang di Selat Sunda, dekat Pulau Panjang, 1 Maret 1942.

Baca juga: Belanda Kirim Kapal Perang, Sukarno Meradang

“Sekitar 300 awak Houston sempat selamat dan mencapai pesisir pantai Banten, tetapi kemudian ditangkap Jepang. Mereka ikut dikirim bersama para tawanan perang Sekutu lainnya ke Burma (kini Myanmar) dan Thailand untuk membangun jalur kereta,” ujar Atase AL AS Commander (setara letnan kolonel) Greg Adams.

Sisanya, sekitar 700 awak, termasuk Kapten Albert H. Rooks, tewas dan terbawa bangkai kapal ke dasar laut. Lebih dari tujuh dekade keberadaan Houston jadi misteri, ia akhirnya ditemukan pada Juni 2014 oleh AL AS dan Indonesia saat menjalani latihan bareng Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT). Saat Arkeologi Nasional (Arkenas) Indonesia dan tim arkeolog maritim Australia mensurvei keberadaan HMAS Perth pada 2016, pemerintah AS meminta mereka untuk sekaligus men-scan bangkai Houston yang lokasinya tak jauh dari Perth.

Baca juga: Tiga Kali Celaka di Indonesia

“Ini penting buat kami karena mereka kami anggap pahlawan perang. Apalagi pada November 2016 kami tahu ada bangkai kapal Belanda dan Inggris yang hilang. Makanya kami ingin meningkatkan kepedulian bersama dan diskusi ini jadi bagian dari proses serta kampanye, di mana kami ingin ada legal proteksi terhadap Houston,” imbuhnya.

Pentingkah Perlindungan Indonesia terhadap Bangkai Kapal?

Pertanyaannya, apakah penting masyarakat dan pemerintah Indonesia ikut peduli menjaga keberadaan bangkai kapal-kapal yang asing itu?

“Yang pasti secara langsung dan tidak langsung, ada peran Amerika Serikat dalam kemerdekaan Indonesia. Kemenangan Amerika terhadap Jepang dalam Perang Pasifik dengan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki turut mempercepat dekolonisasi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Belum lagi beberapa orang-orang Amerika secara individual membantu kemerdekaan,” ujar sejarawan Iwan ‘Ong’ Santosa.

Pemerintah AS tergelitik untuk membawa isu memori kolektif antara Indonesia dan Amerika dengan harapan, pemerintah Indonesia bersedia memberi perlindungan hukum terhadap Houston. “Karena selain memperingati para pahlawan kami, peringatan 1 Maret nanti juga untuk memperkuat hubungan diplomatik Amerika dan Indonesia sejak 1949, di mana Amerika juga turut andil dalam mengakhiri konflik dengan Belanda,” sambung Adams.

Amerika ingin pemerintah Indonesia bisa memberi perlakuan sama seperti terhadap HMAS Perth. Pada 2018, pemerintah Indonesia dan Australia sepakat bekerjasama melindungi situs bangkai Perth di Selat Sunda lewat penetapan zona konservasi maritim.

“Pertanyaan soal pentingkah bagi kita melindungi kapal perang mereka, timbul tidak hanya di kalangan mahasiswa tapi juga sampai ke level para pengambil kebijakan. Pertanyaan ini muncul karena memang kurangnya informasi dan pengetahuan (terkait sejarah bersama),” ujar Zainab Tahir, kepala seksi Barang Muatan Kapal Tenggelam Kementerian Kelautan dan Perikanan (BMKT KKP).

Soal Perth, kata Zainab, lahir dari komitmen bersama soal proses-proses penetapannya. Mulai dari tiga kali pertemuan bilateral dengan pemerintah Australia, hingga riset dan survei bersama di dasar laut.

Perth saja waktu ditemukan bangkainya tinggal 40 persen. Sisanya sudah di-scrap (dicuri). Soal siapa pelakunya selalu jadi pertanyaan, sulit buat dijawab. Termasuk kasus hilangnya HMS Exeter di perairan Pulau Bawean. Dalam pemindaian bawah laut 2008, masih terlihat utuh. Tapi pada pemindaian berikutnya pada 2016, sudah hilang tak berbekas. Kami hanya bisa menjawab, pelakunya terkait industri besar,” lanjut Zainab.

Untuk payung hukum perlindungan situs makam bawah laut, pemerintah punya Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 dan Peraturan Menteri (Permen) KKP Nomor 17 tahun 2008 tentang konservasi maritim, serta UU Nomor 11 tahun 2010 tentang perlindungan warisan budaya. Selain itu, pemerintah Indonesia pun sudah meratifikasi UU terkait warisan bersama dalam naungan UNCLOS atau Konvensi Hukum Laut Internasional sejak 1982.

“Tapi yang diatur adalah perlindungan obyek budaya (di UU dan Permen) tidak spesifik menyebutkan tentang warships (kapal perang). Kemudian, soal warship menjadi complicated (rumit) karena di situ ada hak negara pemilik kapal. Di UNCLOS menyebut adanya kedaulatan negara pemilik bendera. Inilah yang kemudian timbul polemik ketika bicara soal proteksi bangkai kapal perang,” jelas Zainab.

Baca juga: Cara Gratis Dapat Kapal Perang

Pun begitu, KKP menyatakan keprihatinannya bahwa beberapa bagian kapal Houston sudah hilang saat ditemukan para penyelam AS dan Indonesia pada 2014. Antara lain, beberapa bagian lapisan baja lambung kapal dan sejumlah paku bajanya. Zainab menyatakan, KKP siap membantu jika sudah ada penetapan kerjasama lewat Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).

“Wewenang awalnya ada di Kemenlu. Tentu kita tidak mau terjadi lagi seperti kasus kapal-kapal Belanda, di mana Indonesia disomasi, diprotes pemerintah Belanda. Ibu Susi (Pudjiastuti, menteri KKP) tetap berkomitmen untuk bersedia melindungi Houston. Tapi kami masih menunggu penetapan kerjasama, serta riset bersama lebih mendalam sebagai referensi dan dasar penetapan,” kata Zainab.

TAG

Sejarah-Perang-Pasifik Sejarah-Perang-Dunia

ARTIKEL TERKAIT

Teror Banzai di Saipan Orang Indonesia di Palagan Pasifik Sepakterjang Batalyon yang Hilang Di Balik Ciuman yang Diabadikan Sang Pilot "Mengudara" untuk Selamanya Mengejar Gembong Nazi Terakhir Ibu dan Kakek Jenifer Jill Pieter Sambo Om Ferdy Sambo Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII?