Kemajuan teknologi membuat transaksi jual beli tak hanya secara tatap muka. Belanja daring telah menjadi kebiasaan masyarakat di era serba digital, yang kian populer di masa pembatasan aktivitas sebagai imbas pandemi Covid-19. Berbagai barang, mulai dari makanan, keperluan rumah tangga hingga elektronik, dapat dibeli melalui beragam situs jual beli daring.
Belanja daring sangat mengandalkan jasa ekspedisi. Pertumbuhan jasa pengiriman barang beriringan dengan meningkatnya minat masyarakat dalam belanja daring. Kehadiran jasa pengiriman barang tak terbatas pada perusahaan milik negara seperti Pos Indonesia, tetapi banyak pula pihak swasta yang menjalankan bisnis ini.
Dukut Imam Widodo dalam Djember Tempo Doeloe menyebut kantor pos pertama di Hindia Belanda merupakan Kantor Pos di Batavia yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff pada 26 Agustus 1746. Empat tahun kemudian kantor pos dibuka di Semarang, Surabaya, dan selanjutnya menjamur di berbagai kota besar di Hindia Belanda.
Baca juga: Jakarta dalam Kartu Pos
Menurut J. Stroomberg dalam Hindia Belanda 1930, selain komunikasi pos reguler di tempat-tempat utama di Jawa, layanan pos di Hindia Belanda tidak terorganisir sebelum tahun 1862, setelah akhirnya regulasi monopoli pemerintah untuk pengangkutan surat-surat diumumkan, dan standarisasi prangko untuk korespondensi daerah pedalaman ditetapkan di tahun itu juga. Layanan pos di Hindia Belanda berkembang pesat berkat perkembangan jaringan jalan dan lalu lintas modern.
“Sejak tahun 1906, di beberapa stasiun, di mana kereta ekspres tidak berhenti, digunakan sebuah alat tukar kantong surat sehingga surat-surat bisa dikirimkan dan dikumpulkan,” tulis Stroomberg.
Dukut menyebut bukan hanya pemerintah kolonial Belanda, pihak swasta juga diberi kesempatan untuk mengelola jasa pengiriman surat dan paket barang. Antara tahun 1840 hingga 1860, jasa layanan pos diborongkan pada J. Montolt senilai f.200 sebulan. J. Montolt menugaskan para kusirnya untuk mengirim surat dan paket dari Surabaya ke Pasuruan, Probolinggo, dan berbagai daerah lainnya.
Setelah menghitung pemasukan dan pengeluaran, J. Montolt menilai lebih menguntungkan mengangkut manusia daripada mengirim surat dan paket barang. Oleh karena itu, pada 1863 ia mengakhiri kontraknya dengan pemerintah lalu beralih ke bisnis pengangkutan manusia.
Baca juga: Mula Istilah Kuda Gigit Besi
Pengiriman surat dan paket barang pun kembali menjadi tanggung jawab pemerintah kolonial. Guna meminimalkan beban pengeluaran, pemerintah menginstruksikan para bupati untuk merawat jalan, gardu-gardu pos, kuda-kuda pengganti, dan menjaga keamanan kereta-kereta pos yang melintasi wilayahnya. Para bupati membebankan tugas itu kepada penduduk.
“Rakyat diperintahkan untuk mencari rumput dan dedak buat makanan kuda. Jika ada kuda penarik kereta pos sakit atau terluka, maka rakyat harus mencari gantinya,” tulis Dukut.
Tak hanya itu, bila ada kereta pos yang rusak, rakyat juga yang ditugaskan untuk memperbaikinya tanpa dibayar. Menurut Dukut, baru pada 1857, semua hasil jerih payah rakyat harus dibayar.
Baca juga: Setahun Pos Bloc Jakarta
Bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api di sejumlah wilayah di Pulau Jawa pada akhir abad ke-19, pengiriman surat dan paket barang tak hanya mengandalkan kereta pos tetapi juga melalui kereta api.
Bahkan, menurut Stroomberg, sejak 1 November 1928 layanan pos udara harian, yang tidak beroperasi pada hari Minggu dan ferial atau berhubungan dengan hari raya, telah diselenggarakan antara Weltevreden (kini Jakarta Pusat) di Batavia dan Semarang serta antara Weltevreden dan Bandung. Sedangkan layanan pos udara harian antara Weltevreden dan Surabaya serta antara Weltevreden dan Palembang diadakan sejak November 1929. Perluasan lebih jauh layanan ini hingga ke Singapura dilakukan sejak Februari 1930.
Meski begitu untuk pengiriman surat dan paket barang menuju alamat pengirim masih tetap menggunakan layanan petugas pos yang berevolusi, dari berjalan kaki, menaiki kuda, hingga mengendarai kendaraan bertenaga mesin.*