GERAKAN pemurnian Islam (al-harakah al-tandhifiyah al-Islamiyah) dalam mazhab Hanbali di Arab Saudi dimotori Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) sejak pertengahan abad ke-18. Gerakan Wahhabi atau Wahabisme ini menjalar ke Cina yang mayoritas muslimnya bermazhab Hanafi pada akhir abad ke-19 melalui seorang ulama dari suku Dongxiang keturunan Mongol bernama Ma Wanfu.
Kisah tentang Ma Wanfu dan lika-liku tablignya dijabarkan dengan cukup gamblang dalam buku Sejarah Singkat Sekte dan Sistem Tarekat Islam di Cina (Zhongguo Yisilan Jiaopai yu Menhuan Zhidu Shil e). Karya monumental Abu Yusuf Ma Tong berdasar riset lapangan yang dikerjakannya pada masa Revolusi Kebudayaan tersebut, sejak terbit pertama kali pada 1983, sampai sekarang masih menjadi rujukan utama akademisi Cina dan negara luar yang meneliti ihwal tiga sekte (jiaopai) Islam dan empat aliran tarekat (menhuan) sekte Sufi beserta cabang-cabangnya di Cina. Tulisan ini, tak pelak, juga banyak menukil magnum opus guru besar Lanzhou University itu.
Awal Mula
Ma Wanfu yang mempunyai nama Islami (jingming) Nuhai alias Nuh, berasal dari Desa Guoyuan, Kecamatan Dongxiang, Kabupaten Hezhou (sekarang Prefektur Otonomi Suku Hui Linxia), Provinsi Gansu. Dia lahir pada warsa ke-29 pemerintahan Kaisar Daoguang Dinasti Qing (1849). Wafat di usia 86 tahun. Ayahnya, Dawude (Dawud), dan kakeknya, Yibulaheimai (Ibrahim), adalah ustaz (ahong) yang menjadi pengikut Beizhuang, salah satu cabang tarekat Naqsyabandiyah aliran Khufiyya (hufuye) yang didirikan oleh Ma Baozhen (1772–1880).
Dengan latar belakang keluarga demikian, oleh orangtuanya, sejak kecil Ma Wanfu dibiasakan mengaji di masjid-masjid yang kental dengan tradisi tarekat Beizhuang. Ma Wanfu yang dikenal cerdas itu segera memeroleh ijazah (chuanyi) dari gurunya untuk menjadi ahong tarekat Beizhuang di umurnya yang masih 22 tahun. Dia lantas bertablig ke beragam tempat. Dari situ, Ma Wanfu yang bukan dari kalangan berada, mendapat sejumlah pundi yang kemudian dia kumpulkan untuk naik haji.
Pada 1888, Ma Wanfu pergi haji melalui jalan darat dari Xinjiang. Seperti inisiator lahirnya Kaum Padri (Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang) di tanah Minangkabau yang menurut Azyumardi Azra dalam The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries (2004) terinspirasi Wahabisme ketika tiga orang tersebut melaksanakan haji pada 1803, Wahabisme juga memengaruhi Ma Wanfu saat dirinya menunaikan rukun Islam terakhir ini. Pengetahuannya mengenai Wahabisme semakin mendalam seiring studinya selama empat tahun di Mekkah selepas prosesi hajinya selesai. Dari situ dia berkesimpulan, Islam di Cina sudah terlampau banyak mengalami “Cinaisasi” (hanhua) sehingga telah melenceng dari ajaran Islam yang asli karena terdapat bidah di sana-sini. Dengan demikian, baginya, gas purifikasi Islam di negerinya harus segera ditancap, tak boleh kendur untuk diejawantahkan.
Berbekal keresehannya itu, Ma Wanfu mengakhiri pencarian ilmunya di Tanah Haram pada 1892 untuk pulang ke Cina dengan jalur laut supaya cepat tiba. Sesampainya di Guoyuan, dia lantang menyebut sekte lama Gedimu (transkripsi bahasa Arab “Qadim”) dan Sufi/tarekat tidaklah sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dia juga spesifik menuding mursyid-mursyid tarekat Beizhuang telah membawa jemaahnya ke jalan sesat. Makanya, Ma Wanfu secara terbuka mengumumkan keluar dari keanggotaan tarekat yang dahulu membesarkannya itu. Sebagai antitesis, dia menyeru muslim setempat untuk “beragama berdasar Alquran” (ping jing li jiao) serta “mengubah kebiasaan menyimpang dan menaati Alquran” (zun jing ge su).
Guna menyebarkan paham tersebut, Ma Wanfu lantas membujuk sembilan ahong dari tarekat Beizhuang dan sekte Gedimu untuk bersama-sama mempelajari kitab-kitab berhaluan Wahabisme yang dibawanya dari Tanah Suci. Mereka terpikat mengamini pandangan-pandangan di dalamnya dan mengikhtisarkannya menjadi “sepuluh doktrin Guoyuan” (Guoyuan shi tiao). Di antaranya berupa pelarangan menggelar selamatan (ermanli) bagi orang meninggal, sebab, menurut sepuluh ahong yang diketuai Ma Wanfu tersebut, pahala hanya bisa diperoleh dari amal yang dilakukan oleh diri sendiri, permintaan ampunan (taobai) oleh orang lain untuk orang mati, karenanya, adalah tak berguna sama sekali. Tak ketinggalan, melakukan ziarah ke makam para wali (gongbei) dan merayakan maulid beserta puji-pujian terhadap Nabi Muhammad juga masuk dalam daftar hitam ajaran yang belakangan disebut sebagai “Yihewani” (Ikhwan) kendati pengikutnya lebih suka menamainya “Aihailisunnai” (Ahlussunnah) ini.
Tak terelakkan, karena sasaran kritik Ma Wanfu diarahkan langsung kepada sekte Gedimu dan Sufi/tarekat, Yihewani di masa permulaan menuai banyak kecaman dari pengamal dua aliran keagamaan yang lebih dulu mengakar di Guoyuan itu. Hal ini menjadi penghambat diterimanya Yihewani secara lebih luas dan cepat di sana. Benar kata pepatah Cina, “wan shi kaitou nan”: segala hal memang sulit di awal.
Kongkalikong dengan Penguasa
Pemberontakan Dungan (Hehuang Qiyi) yang dikobarkan oleh pengikut tarekat Huasi di kawasan Hezhou, Didao, dan Xunhua pada 1895 menjadi fase penting dalam hidup Ma Wanfu dan penyebaran Yihewani. Uniknya, saat pemberontakan terhadap Dinasti Qing yang dipimpin oleh Ma Yonglin itu meletus, Ma Wanfu yang, kita tahu, menentang tarekat, turut bergabung. Dia membuat ikrar dengan Ma Dahan yang notabene penganut tarekat Huasi untuk bekerjasama dalam kondisi bagaimana pun tidak akan menyerah terhadap pasukan Dinasti Qing demi mempertahankan wilayah Guanghe, Sanjiaji, dan Taohe.
Tak dinyana, kala Dinasti Qing mengirim jenderal nonmuslim Dong Fuxiang (1839-1908) –yang mengomandani sekitar 10.000 Laskar Muslim Gansu (Gan Jun) loyalis Dinasti Qing– dan serdadu muslim bawahannya, Ma Anliang (1855-1918), untuk menumpas pemberontakan dimaksud, Ma Wanfu malah membelot dan bersekongkol dengan Ma Anliang. Ma Dahan yang mengetahui laku curang itu terus bertarung seorang diri hingga akhirnya tewas terbunuh.
Karena khawatir pengikut Ma Dahan membalas dendam, Ma Anliang menyuruh Ma Wanfu melarikan diri. Dia menuruti. Tapi, setelah pemberontakan berhasil dilumpuhkan pada 1897, Ma Wanfu kembali ke Hezhou lagi –namun bukan ke kampung halamannya sendiri. Meski begitu, dia belum berani berdakwah secara terang-terangan di Kecamatan Xichuan, basis anyarnya, lantaran banyaknya penduduk setempat yang mengetahui kasus pengkhianatannya terhadap Ma Dahan. Karena itu, identitas dirinya juga acap disamarkan.
Ma Wanfu baru berdakwah secara terbuka setelah Ma Guoliang, adik Ma Anliang, yang bertugas di Hezhou memaklumkan. Mulai saat itu, dakwahnya membuahkan hasil. Pengikutnya perlahan membanyak. Menyebar di Xichuan, Dongchuan, Bafang, dan daerah-daerah lain. Dia semakin percaya diri menyuarakan doktrin Yihewani. Bahkan mengompori pengikutnya untuk “menumbangkan tarekat, merobohkan makam wali” (da dao menhuan, tuifan gongbei).
Puncaknya, pada 1908, Ma Wanfu mengundang ratusan orang untuk berbuka puasa bersama di Xichuan. Di acara itu, dia mengumandangkan cita-citanya mempersatukan sekte-sekte Islam di Cina ke dalam satu wadah bernama Yihewani. Dia juga menyiarkan, siapapun yang mati dalam perjuangan untuk mewujudkan persatuan itu adalah “shexide” (syahid).
Berang dengan pernyataan Ma Wanfu tersebut, beberapa elite sekte Gedimu dan Sufi/tarekat melaporkan keikutsertaan Ma Wanfu dalam Pemberontakan Dungan kepada Gubernur-Jenderal (zongdu) Gansu yang bermarkas di Lanzhou. Zongdu Lanzhou sepakat untuk menghukum Ma Wanfu sebagai pembangkang kedinastian. Ma Wanfu menyampaikan permasalahan yang dihadapinya kepada Ma Anliang. Ma Anliang membantunya meninggalkan Gansu menuju Shaanxi, sekaligus membunuh 8 ahong pelapor Ma Wanfu.
Di Shaanxi, Ma Wanfu terus berdakwah, meski secara sembunyi-sembunyi. Dia kembali lagi ke Hezhou setelah Dinasti Qing runtuh dalam Revolusi Xinhai pada 1911 dan pemerintahan berganti menjadi Republik Cina (ROC). Namun, kini, di Hezhou dia sulit mendapatkan tempat sebab penentangnya kian bertambah. Hal ini memaksanya pada 1914 minggat dari Hezhou menuju Kumul (sekarang Prefektur Hami) di bagian timur Xinjiang yang berbatasan dengan Gansu.
Sayang, Ma Wanfu juga tidak diterima dengan baik di Kumul. Raja Kekhanan Kumul, Maqsud Shah (1864-1930), pada 1915 melapor kepada gubernur Xinjiang, Yang Zengxin (1864-1928), untuk menindak Ma Wanfu. Gubernur asal Yunnan yang sebelumnya pernah berdinas di Hezhou itu tahu betul dan masygul terhadap panasnya konflik antarsekte Islam yang melibatkan Ma Wanfu di dalamnya. Karena itu, Yang Zengxin pada 1916 memerintahkan penangkapan Ma Wanfu dengan delik “mengembangkan aliran sesat” (xin xing xiejiao), “memprovokasi massa” (shanhuo min xin), dan “meremehkan hukum negara” (mieshi wang fa).
Mendengar pencokokan Ma Wanfu, para pengikutnya melalui bantuan Ma Lingying, orang Hezhou yang bekerja di kantor Yang Zengxin, membujuk Yang Zengxin supaya tidak langsung mengeksekusi Ma Wanfu. Yang Zengxin berunding dengan Ma Anliang untuk itu. Merasa tak enak hati untuk menyampaikan langsung pendapatnya kepada Yang Zengxin, Ma Anliang lewat anaknya, Ma Tingxiang (1889-1929), meminta Gubernur Gansu Zhang Guangjian (1864-1938), untuk menghubungi Yang Zengxin agar Ma Wanfu “digarap” di Gansu saja. Yang Zengxin setuju. Pada 1918, ketika Ma Wanfu dalam perjalanan pemindahan ke Gansu, dua bersaudara Ma Qi (1869-1931) dan Ma Lin (1873-1945) yang merupakan petinggi militer Qinghai (kala itu masih bagian dari Gansu, belum menjadi provinsi tersendiri), menculik Ma Wanfu atas suruhan Ma Tingxiang. Dia diamankan ke Xining. Terbebas dari jerat hukum yang melilitnya.
Yihewani Berkembang
Ma Qi dan Ma Lin adalah anak Ma Haiyan. Ma Haiyan (1837-1900) dan Ma Zhan’ao (1830-1886) merupakan pemimpin Pemberontakan Muslim Tongzhi (1862-1877) yang membelot kepada Dinasti Qing. Ma Anliang adalah anak Ma Zhan’ao. Persahabatan Ma Anliang, Ma Qi, dan Ma Lin terjalin sejak era orangtuanya.
Ma Qi dan Ma Lin sudah lama ingin memanfaatkan Yihewani untuk menyatukan menjamurnya beragam tarekat di Qinghai yang tidak rukun satu sama lain agar lebih mudah dikontrol di bawah kekuasaannya. Oleh Ma Qi dan Ma Lin, Ma Wanfu ditempatkan di Masjid Besar Dongguan (Dongguan Qingzhen Da Si) di Xining. Masjid ini dijadikan sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar Yihewani sekaligus wahana untuk menggodok dai-dainya. Pada 1922, Ma Qi dan Ma Lin masih mendirikan Asosiasi Pengembangan Agama Islam Ningxia dan Qinghai (Ninghai Huijiao Cujinhui) yang bermarkas di masjid tersebut. Melalui organisasi ini, Ma Qi dan Ma Lin memberi restu kepada Ma Wanfu untuk mengirim ahong-ahong Yihewani ke masjid-masjid lain guna mengajarkan pahamnya.
Selain melalui langkah-langkah persuasif, cara-cara represif juga dipakai dalam menyebarkan Yihewani. Pada 1923, misalnya, Ma Wanfu mengutus seorang ahong Yihewani menjadi pengajar tetap Masjid Jiezigong di Xunhua. Jemaah masjid yang didominasi oleh pengikut sekte Gedimu di situ, dipaksa untuk menjadi pengikut Yihewani. Mayoritas jemaah bersikukuh menolak. Terjadilah konflik berdarah selama tiga bulan yang melukai dan menewaskan banyak orang. Ma Qi mengirim pasukan untuk meredam tapi sekaligus mempersenjatai pengikut Yihewani.
Berkat backing kuat penguasa, Yihewani berkembang pesat di Qinghai. Apalagi setelah Ma Bufang (1903-1975), anak Ma Qi, pada 1936 menjadi gubernur Qinghai setelah mendongkel Ma Lin, pamannya, yang pada 1930 menggantikan posisi Ma Qi yang mati terkena stroke. Ma Bufang tidak hanya memaksa muslim di Qinghai, tapi juga menekan muslim di Hezhou melalui kakaknya, Ma Buqing (1901-1977), untuk menganut Yihewani. Belakangan, Ma Bufang diangkat menjadi duta besar Republik Cina pertama untuk Saudi Arabia sejak Agustus 1957 sampai Juni 1961.
Begitulah, kita tampaknya mesti mengamini pendapat Hegel yang disinggung Karl Marx dalam Der achtzehnte Brumaire des Louis Bonaparte (1852), “[...] daß alle großen weltgeschichtlichen Tatsachen und Personen sich sozusagen zweimal ereignen”: bahwa semua fakta-fakta dan tokoh-tokoh besar dalam sejarah dunia bisa saja terulang. Sebab, laiknya Muhammad bin Abdul Wahhab yang mula-mula mendapat penolakan dari masyarakat ketika menyebarkan pahamnya, dakwah Ma Wanfu juga diawali dengan penentangan orang-orang di daerahnya. Karena itu, keduanya terpaksa minggat lantaran terusir dari kampungnya masing-masing. Ajaran mereka baru meluas setelah berkomplot dengan penguasa: Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Muhammad ibnu Saud; Ma Wanfu dengan Ma Anliang cum suis. Dan, aliansi ini sama-sama tak segan menggunakan kekerasan untuk memberangus yang liyan.
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.