Buku terjemahan 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karya Douglas Wilson mengundang reaksi. Halaman 24 buku itu tertulis: “Muhammad menjadi perampok dan perompak yang memerintahkan penyerangan terhadap karavan-karavan di Mekah. Muhammad memerintahkan pembunuhan untuk menguasai Madinah.”
Front Pembela Islam (FPI) melaporkan ke Polda Metro Jaya bahwa buku tersebut menghina Nabi Muhammad Saw. Pada 13 Juni 2012, disaksikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, pihak penerbit membakar buku itu.
Pada masa kolonial Belanda, kasus serupa pernah terjadi namun tanpa pengerahan massa. Yang ada: polemik. Sebuah buku berjudul Mijn Mislukte Zending (Misi Saya yang Gagal) karya Sir Nevile Henderson terbit dan diresensi koran Java Bode. Peresensinya mengutip buku tersebut: “Karena itulah Hitler makin lama makin yakin sendiri bahwa ia kebal dan besar … ia sendiri lalu menjadi lebih besar sedikit, mungkin semacam Mohamed dengan ‘pedang di sebelah tangannya dan buku Mein Kampf di tangan lainnya’…”
Baca juga: Kejaksaan Agung Membakar Buku-buku Komunisme
Reaksi muncul. Koran Pemandangan, dalam sanggahannya yang ditulis Anwar Tjokroaminoto, keberatan terhadap penyamaan itu. Menurutnya, Nabi Muhammad tak pernah memaksa dan mengancam dengan pedang, dan tak bisa disamakan dengan Hitler. Bahkan, menurut Anwar, “Hitler tidak bisa dipersamakan dengan manusia biasa, melainkan sebagai kepala dari bangsa biadab,” demikian Pemandangan, 4 Desember 1940.
“Bagi kita lebih baik kalau kalimat-kalimat itu tidak ada, baik dalam terbitan berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Belanda.”
Berbagai tulisan pun bertandangan ke meja redaksi Pemandangan, menyuarakan kekecewaan terhadap buku Henderson. Koran lain seperti Tjaja Timoer ikut menyerang Java Bode. Namun Java Bode bersikukuh bahwa buku Henderson tak bermaksud menghina Nabi Muhammad.
Seorang penulis bernama Depe menulis di Pemandangan, 12 Desember 1940, menguraikan dengan apik bagaimana sejarah persepsi Barat terhadap Nabi yang keliru. Dia beranggapan bahwa buku ini tak perlu dibaca bangsa Belanda maupun orang yang mengerti bahasa Belanda. “Perlunya, untuk menjaga jangan sampai orang mendapat salah faham tentang junjungan kita tadi seperti di zaman Abad Pertengahan.”
Baca juga: Buku Aksi Massa Tan Malaka Disita Polisi
Munculnya polemik itu, bagi Pemandangan, memiliki hikmah. “Kita harus sanggup membicarakan benar-tidaknya lukisan itu secara objektif menurut ilmu pengetahuan dan sejarah. Umat Islam harus menjunjung agamanya dengan cara yang lebih nyata.”
Belum reda masalah buku Henderson, muncul tulisan di AID De Preanger Bode pada 8 April 1941 yang mengutip ulasan buku karya Karl Barth di koran Het Vaderland yang terbit di Belanda. Dalam bukunya, Karl Barth menulis: “… Orang harus menganggap nasional sosialisme sebagai Islam baru, dan Hitler sebagai Nabinya,” yang harus dilenyapkan sebagaimana dulu “hancurnya benteng nabi palsu Muhammad.”
Komisi Pemberantas Penghinaan Islam di bawah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) melakukan penyelidikan. Hasilnya dikirimkan melalui kawat ke Dewan MIAI di Surabaya, yang berkesimpulan karya Barth menghina Islam.
“Kita pun tetap merasa heran, mengapa di zaman seperti ini AID seperti sengaja memuatkan tulisan serupa itu meskipun hanya berupa kutipan dari Het Vaderland setahun yang lalu. Hendaknya segera diambil sikap atasnya, tenang, sabar, tenteram, tetapi tidak diam,” tulis Anwar Tjokroaminoto di Pemandangan, 17 April 1941.
Baca juga: Salim Said: Mereka Mestinya Baca Dulu
“Berbagai reaksi dari umat Islam terus dilakukan, bersifat legal berupa protes, mengirimkan mosi, mengirimkan delegasi menghadap yang berwajib, dan sebagainya,” tulis Badruzzaman Busyairi dalam RHO Djoenaidi: Pejuang, Pengusaha, dan Perintis Pers. “Anggota-anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang beragama Islam juga berulang kali membicarakannya dalam sidang-sidang mereka di Volksraad. Akan tetapi semua ikhtiar itu nampaknya tidak memperoleh suatu penyelesaian yang memuaskan.”
Organisasi Pembela Islam di Bandung melaporkan kepada Hoofd Parket (Kejaksaan Agung) di Jakarta bahwa penghinaan “pers putih” kepada Islam sudah amat sering. Dalam pertemuan itu, dirumuskan tiga hal penting: pemerintah berikhtiar menyusun undang-undang penghinaan agama, melalui RPD (Regerings Publiciteitsdienst, Dinas Penerangan) terus menganjurkan kerukunan antarumat beragama, dan apabila suatu saat menjumpai kasus penghinaan agama, Kejaksaan Agung membuka pintu selebar-lebarnya untuk pengaduan.