Rute perdagangan saudagar muslim melalui Selat Malaka dan Semenanjung Malaya hingga Tiongkok berdampak pada kontak langsung dengan pantai utara Jawa. Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik menjadi petunjuk adanya masyarakat muslim di dekat ibu kota Majapahit dan sekitarnya.
Makam ini jadi perbincangan dipicu oleh film dokumenter “Jejak Khilafah di Nusantara” yang tayang di Youtube. Film itu menawarkan teori bahwa tokoh ini salah satu juru dakwah yang dikirim Kesultanan Samudera Pasai ke berbagai wilayah Nusantara dan mengajak penguasanya agar menerima Islam.
Disebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai, Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar bin Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih. Gelarnya Ra-Ubabdar berarti Sang Penakluk Gelombang kalau menurut Bahasa Persia. Ia yang melebarkan sayapnya hingga ke seluruh Asia Tenggara dan membuka banyak sekali wilayah.
“Kalau kita perhatikan salah satu makam tertua di Jawa, di Gresik, Maulana Malik Ibrahim, sama persis gayanya dengan makam-makam yang ada di Pasai. Ini merupakan bukti Sunan Gresik pernah ada di Pasai,” kata Nicko Pandawa, sejarawan Komunitas Literasi Islam sekaligus director film dokumenter itu.
Baca juga: Samudera Pasai dan Dinasti Abbasiyah
Pernyataan itu menimbulkan pertanyaan bila melihat angka tahun pada masing-masing makam. Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar wafat tahun 841 H/1438 M. Sedangkan Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 822 H/1419 M. Bahkan, ketika Sultan Zainal ‘Abidin Ra-Ubabdar naik takhta pada sekira 1428, Maulana Malik Ibrahim telah wafat.
Di luar perdebatan soal pernyataan dalam film itu, asal-usul Maulana Malik Ibrahim atau terkenal dengan Sunan Gresik memang masih membuka banyak penafsiran. Tak banyak sumber yang bisa mengungkap siapa dan bagaimana ia begitu bermakna, khususnya bagi orang Jawa hingga kini.
Berbagai Kisah Asal-Usul
Makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik tak pernah sepi dari peziarah. Kompleks itu terdiri atas makam Malik Ibrahim, istri, dan putrinya. Pada nisan dan badan makam terdapat beberapa inskripsi. Sayangnya, tulisan itu agak sulit dibaca akibat aktivitas peziarah.
Berdasarkan penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam Laporan Penelitian Situs Pasucinan, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur (1994-1996), tulisan yang bisa dibaca di antaranya Surat Al-Baqarah ayat 225 atau ayat Kursi dan Surat Ali-Imran ayat 185.
Menurut laporan yang disusun para arkeolog, Naniek Harkantiningsih, Sugeng Riyanto, dan Sonny Chr. Wibisono itu, kedua ayat tadi bagi umat Islam berisi tentang keimanan kepada Allah Swt. Ayat pertama menyatakan kekuasaan Allah Swt. yang tidak ada kurangnya. Lalu disambung ayat 256 yang menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Adapun surat yang kedua terkait dengan kekuasaan Allah Swt. yang Maha Pengatur termasuk di dalamnya tentang kematian manusia.
Baca juga: Naskah Ajaran Islam Awal di Jawa
Di bawahnya, ada tulisan yang lebih panjang, yaitu dua kalimat syahadat sebagai pokok keimanan seorang muslim, Surat Al-Rahman ayat 26-27, bacaan Basmalah, Surat Al-Taubah ayat 2 dan ayat 22.
Tertulis juga nama yang dikuburkan, yakni “ini kubur almarhum almagjur yang kembali ke Rahmatullah Ta’ala”. Ada juga gelar yang disesuaikan dengan masa hidup Malik Ibrahim, seperti bangsawan yang gagah, tiang kekuatan para sultan, menteri, dan pecinta fakir miskin. Gelar lain yaitu saksi yang menyenangkan bagi keadilan, ahli tatanegara dan agama. Kemudian nama Malik Ibrahim (tanpa gelar Maulana), yang berasal dari Kashan, yaitu Persia atau wilayah Iran sekarang.
“Mudah-mudahan Allah menyirami dengan Rahmat dan Ridho Allah dan menempatkannya di tempat yang berbahagia (surga), meninggal,” tulis inskripsi pada makam itu.
Tercatat pula waktu meninggalnya, yaitu pada Isnen (Senin), 12 Rabi’ul awal, 822 H/1419 M.
“Dapat diartikan, bahwa Malik Ibrahim sebagai ulama yang berasal dari masyarakat elite, juga sebagai penguasa, adil dan memperhatikan fakir miskin,” tulis laporan penelitian itu.
Baca juga: Mempertanyakan Bukti Islam Tertua di Jawa
Menurut Babad ing Gresik, sebagaimana dikutip Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo, Malik Ibrahim adalah ulama yang datang ke Jawa bersama saudaranya, Maulana Mahpur dan tetuanya, Sayid Yusuf Mahrabi, berserta 40 pengiring. Maulana Mahpur dan Maulana Ibrahim masih bersaudara dengan Raja Gedah. Mereka berlayar ke Jawa untuk menyebarkan agama sambil berdagang, lalu berlabuh di Gerwarasi atau Gresik pada 1293 atau 1371 M.
Daerah yang pertama kali dituju Malik Ibrahim adalah desa Sembalo, dekat desa Leran, sekitar 9 km di sebelah utara Gresik, tidak jauh dari makam Fatimah binti Maimun yang termasyhur itu.
Setelah dakwahnya berhasil di Sembalo, Malik Ibrahim pindah ke kota Gresik dan tinggal di desa Sawo. Ia pun mendatangi kutaraja Majapahit. Di hadapan raja, ia mendakwahkan agama Islam. Namun raja belum berkenan memeluk Islam.
Baca juga: Kisah Leluhur Walisongo
Kendati begitu, kedatangan Malik Ibrahim tetap diterima dengan baik. Bahkan, raja Majapahit menganugerahi sebidang tanah di pinggir kota Gresik yang kelak dikenal sebagai desa Gapura. Di sanalah, ia mendirikan pesantren.
Menurut Agus Sunyoto, meski Babad ing Gresik tidak menegaskan pasti siapa raja Majapahit yang memberikan anugerah itu, tetapi dengan melihat waktu hidupnya, diperkirakan ia adalah Sri Wikramawarddhana (1386–1429). Ia menduga anugerah sebidang tanah untuk Malik Ibrahim dicatat dalam Prasasti Patapan yang dikeluarkan Wikramawarddhana.
“Prasasti Patapan, yaitu penetapan secara formal atas tanah perdikan untuk seorang janggan (pandhita desa) di Patapan. Janggan (pandhita desa) ulama dalam agama Kapitayan yang juga diberikan kepada ulama Islam. Istilah itu dipakai sejak Majapahit hingga Mataram lslam,” tulis Agus.
Baca juga: Syekh Jumadil Kubra dan Orang Islam di Majapahit
Sementara itu, Azyumardi Azra, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, menghubungkan Malik Ibrahim dengan ulama Patani paling terkenal, Dawud bin Abd Allah bin Idris al-Fatani yang hidup pada sekira abad ke-18. Keduanya berhubungan leluhur.
Dawud al-Fatani lahir di Kresik (dieja juga sebagai Gresik), sebuah kota pelabuhan tua di Patani. Di sini pula Malik Ibrahim diriwayatkan pernah mengajarkan Islam sebelum pindah ke Jawa Timur.
“Di sana dia membangun sebuah pusat pengembangan Islam yang juga dinamakan Gresik,” tulis Azra.
Baca juga: Sebelum Tobat, Sunan Kalijaga Pernah Jadi Begal
Elizabeth Lambourn, sejarawan bidang abad pertengahan Asia Selatan dan Samudera Hindia, dalam “From Cambay to Samudera Pasai and Gresik: The Ezport of Gujerati Grave Memorials to Sumatra and Java in the Fifteeenth Century C.E”, yang terbit dalam Indonesia and the Malay World, berpendapat bahwa Malik Ibrahim merupakan seorang mualaf generasi pertama. Ini dilihatnya berdasarkan tidak adanya garis keturunan atau nasab (yaitu: Malik Ibrahim bin/ anak dari ini dan itu) pada nama Malik Ibrahim.
Gelarnya menunjukkan bahwa Malik Ibrahim memegang posisi penting di daerah itu. Namun bukan seorang pedagang karena dalam gelarnya tak ditemukan unsur yang berkaitan dengan aktivitas perdagangan.
“Nisan pedagang abad ke-14 dan ke-15 dari Cambay, misalnya, berlimpah dengan julukan pedagang yang megah seperti Malik al-Tujjar ‘Raja pedagang’, Mufakhr al-Tujjar ‘Kebanggaan pedagang’, dan seterusnya,” tulis Lambourn.
Sebaliknya, Malik Ibrahim disebutkan dalam istilah yang mengasosiasikannya secara langsung dengan sistem kekuasaan Islam yang mapan. Ia adalah seorang amir atau bangsawan seperti gelarnya “Bangsawan yang gagah, tiang kekuatan para sultan”. Kalimat yang tertera pada nisannya juga menekankan kebiasaanya beramal, yaitu “Teman orang miskin dan yang membutuhkan’.
“Dengan tidak adanya data biografis yang konkret tentang Malik Ibrahim, elemen-elemen ini memberikan setidaknya beberapa petunjuk luas tentangnya, baik status, maupun apa pekerjaannya,” tulis Lambourn.