Masuk Daftar
My Getplus

Migrasi Muslim dari Cina ke Nusantara

Orang-orang Tionghoa muslim yang datang ke Nusantara karena melarikan diri dari Cina. Mengapa mereka kabur?

Oleh: Novi Basuki | 30 Agt 2018
Lukisan muslim Cina sekitar tahun 1800 karya Julien-Léopold Boilly. (wikimedia).

LAMPIRAN XXXI berjudul “Peranan Orang2 Tionghwa/Islam/Hanafi Didalam Perkembangan Agama Islam Di Pulau Djawa, 1411–1564” pada buku Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan yang menjadi rujukan utama orang-orang yang meyakini Wali Songo merupakan ulama berdarah Tionghoa itu, dimulai dengan pernyataan begini:

... betapa besarnja pengaruh dari Orang2 Tionghwa/Muslim/Hanafi didalam perkembangan Agama Islam di Asia Tenggara, di zaman Ming Dynasty (= 1368–1645) umumnja, dan di waktu Laksamana Hadji Sam Po Bo (= 1405–1425) chususnja. Peranan itu antara lain dapat dipeladjari dari buku „Ying Yai Sheng Lan” karangan Hadji Mah Hwang pada tahun 1416, buku „Tsing Tsa Sheng Lan” karangan Hadji Feh Tsing pada tahun 1431, dan sangat banjak lagi buku2 serupa itu karangan Hadji2 Orang2 Tionghwa. Untuk dapat mempeladjari buku2 itu ..., tentulah perlu terlebih dahulu dipeladjari Tulisan Tionghwa dan Bahasa Tionghwa, tjabang-pengetahuan jang disebut “Sinology”.

Padahal, berulang-ulang saya membaca Ying Yai Sheng Lan dan Tsing Tsa Sheng Lan versi “Tulisan Tionghwa dan Bahasa Tionghwa”, sama sekali tak menemukan adanya keterangan soal “besarnja pengaruh dari Orang2 Tionghwa/Muslim/Hanafi didalam perkembangan Agama Islam di Asia Tenggara” –baik di periode pemerintahan dinasti Ming, maupun di era “Laksamana Hadji Sam Po Bo” alias Cheng Ho– seperti yang digembar-gemborkan sejarawan Batak tersebut.

Advertising
Advertising

Untuk diketahui, di antara beberapa daerah di Asia Tenggara yang disebut Ying Yai Sheng Lan, cuma Jawa saja (dalam hal ini merujuk wilayah kekuasaan Majapahit yang mencakup Palembang) yang dinyatakan mempunyai banyak orang Tionghoa asal Guangzhou di Provinsi Guangdong dan Quanzhou di Provinsi Fujian yang menganut Huihui jiao men –demikian agama Islam diistilahkan. Akan tetapi, tak ada sebesar biji zarah pun informasi mengenai mazhab apa yang diikuti mereka.

Tsing Tsa Sheng Lan malah tak menuliskan Islam dan/atau muslim barang satu huruf pun!

Dan lagi, saya belum menemukan –kalau memang bukan tak ada– “karangan Hadji2 Orang2 Tionghwa” perihal “besarnja pengaruh dari Orang2 Tionghwa/Muslim/Hanafi didalam perkembangan Agama Islam di Asia Tenggara” yang kata Parlindungan “sangat banjak”.

Hingga kini, “buku2 serupa” plus semasa dengan Ying Yai Sheng Lan dan Tsing Tsa Sheng Lan yang penulisnya –entah berdasar apa– dipastikan sebagai muslim atau bahkan haji oleh sebagian orang, adalah Xi Yang Fan Guo Zhi, susunan Gong Zhen, salah seorang awak kapal dari kalangan militer pada pelayaran terakhir Cheng Ho.

Walakin, Xi Yang Fan Guo Zhi banyak menyadur Ying Yai Sheng Lan, sehingga sedikit hal baru yang bisa diperoleh di situ. Meski begitu, terdapat perbedaan redaksional antara keduanya terkait orang-orang Tionghoa asli Guangdong dan Fujian yang menjadi pemeluk Islam itu.

Jika Ying Yai Sheng Lan mencatat “banyak” (duo), maka Xi Yang Fan Guo Zhi menegaskan “semua” (jie) orang-orang Tionghoa dari Guangzhou dan Quanzhou di Majapahit, mengimani Islam. Walau demikian, Mah Hwang dan Gong Zhen sama-sama sepakat bahwa para Tionghoa-muslim bisa berada di sana gegara “kabur”. Bedanya, Ying Yai Sheng Lan memakai cuan, sedangkan Xi Yang Fan Guo Zhi menggunakan tao –dua aksara Mandarin yang artinya persis dengan “kabur” versus “lari” dalam bahasa Indonesia. Ya, sinonim belaka.

Lantas, pertanyaannya: kenapa, dan mulai kapan mereka kabur/lari ke Nusantara, khususnya Jawa dan Sumatra? Jawabannya tentu mustahil bisa kita temukan di Ying Yai Sheng Lan dan Xi Yang Fan Guo Zhi. Saya akan coba mengupasnya secara simpel di sini.

[pages]

Musabab dan Periode Pelarian

Hubungan Cina dengan Nusantara sudah terjalin sejak Dinasti Han Timur (25–220). Kala itu, Cina menamai Nusantara “Yetiao”. Dicatat pertama kali dalam jilid 6 Kitab Han Akhir (Hou Han Shu) yang dikompilasi Fan Ye (398–445), pada bulan 12 tahun ke-6 pemerintahan Kaisar Shun (131), negeri Yetiao mengirim utusan dan mempersembahkan upeti kepada Dinasti Han Timur.

Sinolog Prancis Paul Pelliot (1878–1945) dalam “Deux itinéraires de Chine en Inde à la fin du VIIIe siècle” (Dua Rute dari Cina ke India pada Akhir Abad VIII) yang termuat di Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient Vol. 4, No. 1/2 (Janvier-Juin 1904) menyatakan, “Yetiao” adalah transkripsi dari “Jap-div” yang tak lain dan tak bukan adalah pelafalan ringkas “Yavadvipa”.

Relasi Nusantara-Cina terus terpelihara sampai Islam masuk ke Cina pada waktu Dinasti Tang (618–907) berkuasa. Saat itu, trayek utama orang-orang Arab dan/atau Persia menuju Cina adalah jalan darat melalui Asia Tengah dengan menunggangi unta. Makanya, muslim awalnya lebih terkonsentrasi di daratan Cina barat laut, terlebih Chang’an (kini Kota Xi’an) yang notabene ibu kota.

Tetapi, ketika Cina barat laut bergejolak lantaran Pemberontakan An Shi (An Shi zhi luan) dan perang melawan Kekaisaran Tibet (Tubo) yang menyerang Dinasti Tang di tengah huru-hara negeri karena pemberontakan yang terjadi sepanjang 755–763 tersebut, orang-orang Arab dan/atau Persia yang –seperti dicatat Cermin Komprehensif untuk Menyelamatkan Pemerintahan (Zizhi Tongjian) jilid 232– “lama tinggal di Chang’an, bahkan ada yang lebih dari 40 tahun, sudah beristri dan beranak,” tak pelak “terputus jalan pulangnya” (gui lu ji jue).

Alhasil, masih menukil Zizhi Tongjian jilid 232, bagi yang mau pulang atau hendak ke Cina, hanya punya dua opsi: “lewat wilayah Kekhaghanan Uighur [di Mongolia], atau jalur laut” (jia dao yu Huihe, huo zi hai dao).

Yang lebih banyak dipilih adalah jalur laut. Sebab, di waktu yang sama, pusat pemerintahan Kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Al-Manṣūr (754–775) dipindah ke Baghdad yang notabene daerah pesisir.

Dengan begitu, mastautin muslim yang dulunya menumpuk di Chang’an, mulai bergeser ke wilayah pinggir pantai di Cina bagian timur semacam Guangzhou. Mereka ditempatkan di wilayah khusus yang dikenal dengan sebutan fanfang, distrik komunitas asing.

Mengutip data dalam jilid 1 Peta dan Gazeter Provinsi dan Kabupaten Era Yuanhe (Yuanhe Junxian Tuzhi) susunan Kanselir Li Jifu (758–814), jumlah penduduk Chang’an menurun dari 362.990 orang pada era Kaiyuan (713–756) ke 241.220 orang pada era Yuanhe (805–820). Sebaliknya, mengacu biografi Li Mian (Li Mian zhuan) yang termaktub dalam jilid 131 Kitab Tang Lama (Jiu Tang Shu), kedatangan kapal-kapal dagang asing yang didominasi oleh saudagar-saudagar dari Arab dan/atau Persia ke Guangzhou, justru meningkat sekitar 10 kali lipat saban tahunnya.

Karena itu, ketika pemberontakan yang dikomandani penyelundup garam bernama Huang Chao –alias Bānsyū atau Yānsyū dalam literatur Arab– merangsek Guangzhou pada 264 Hijriah (sekitar 877–878 Masehi), kalangan muslim banyak sekali yang menjadi korbannya.

Abū Zaid Hasan al-Sīrāfī mensyarahkan dalam bagian 2 kitab Akhbār al-Ṣīn wa al-Hind (Kabar Cina dan India) karya Sulaimān al-Tājir yang ditulis pada 237 Hijriah (sekira 851 Masehi), pasukan Bānsyū membantai 120 ribu muslim, yahudi, nasrani, dan majusi di Khānfū (Guangzhou). Sementara Al-Mas‘ūdī (896–956) dalam juz 1 kitab Murūj al-Żahab wa Ma‘ādin al-Jauhar (Padang Rumput Emas dan Tambang Batu Permata) menyebut sebanyak 200 ribu muslim, nasrani, yahudi, serta majusi mati dibunuh dan tenggelam di laut saat mereka mencoba menyelamatkan diri dari ketakutan terhadap pedang (gariqa khauf al-saif) prajurit Yānsyū.

Lari ke mana? Benar, mengarungi Laut Cina Selatan menuju Jawa atau Sumatra yang strategis berkat Selat Malaka. Jika “era dinasti Tang adalah awal mula migrasi Cina ke luar negeri” sebagaimana dinyatakan Li Changfu dalam Sejarah Migrasi Cina (Zhongguo Zhimin Shi, 1937), maka pasca Pemberontakan Huang Chao inilah, barangkali, tonggak sejarah dimulainya migrasi muslim dari Cina ke Nusantara.

Walau demikian, komposisi Tionghoa-muslim kemungkinan besar tak sebanding dengan jumlah orang-orang Arab dan/atau Persia. Sebab, di masa Dinasti Tang, Tionghoa-muslim masih dalam tahap pembentukan. Pernikahan orang-orang Arab dan/atau Persia dengan masyarakat lokal belumlah lumrah dan memang sedikit banyak dibatasi oleh penguasa terutama pada masa pemerintahan Kaisar Wenzhong (836–840) untuk memudahkan pengawasan.

Tak seperti jalan darat, kendati Dinasti Tang runtuh tak lama setelah Pemberontakan Huang Chao, jalur laut tetap menjadi trayek utama perjalanan dari Timur Tengah ke Cina dan vice versa hingga pemerintahan selanjutnya: Dinasti Song dan Dinasti Yuan.

Di masa Dinasti Song (960–1279), seiring bergesernya pusat politik dan ekonomi ke Cina bagian selatan, reputasi pelabuhan Quanzhou turut terkerek dan perlahan menyalip pelabuhan Guangzhou. Guna mengurus perdagangan luar negeri yang kian meninggi, di Quanzhou didirikan Kantor Komisi Perdagangan Luar Negeri (Shibo Si) yang bahkan, ditulis Sejarah Song (Song Shi) jilid 47, selama 30 tahun dikepalai oleh muslim bernama Pu Shougeng.

Quanzhou yang oleh Ibn Baṭūṭah dalam catatan perjalanannya, Al-Riḥlah, disebut sebagai “Al-Zaitūn”, menjelma menjadi kota kosmopolitan berkumpulnya saudagar mancanegara. Dengan begitu, pelbagai macam agama luar dengan beragam alirannya tumbuh subur di sana. Sampai saat ini, Quanzhou masih dibanggakan Cina dengan sebutan “museum agama dunia” (shijie zongjiao bowuguan).

Di antara agama-agama asing itu, Islam yang paling berjaya. Sebab, sebagaimana ditulis Zhou Qufei (1135–1189) dalam Jawaban Representatif dari Balik Gunung (Lingwai Daida), dari segi kuantitas kapal dagang asing yang berlabuh, adalah kapal-kapal dagang dari Arab dan/atau Persialah yang terbanyak dan yang terkaya (nuo fan guo zhi fu sheng duo bao huo zhe, mo ru Dashi guo). Orang-orangnya juga diizinkan menikahi penduduk lokal yang kelak menjadi cikal-bakal Tionghoa-muslim suku Hui. Banyaknya muslim di Quanzhou saat itu, masih bisa kita saksikan melalui bejibunnya inskripsi aksara Arab pada batu nisan-batu nisan yang sekarang disimpan di Museum Maritim Quanzhou.

Perdagangan maritim diteruskan oleh Dinasti Yuan (1271–1368) setelah Dinasti Song ditaklukkan total oleh orang-orang Mongol itu. Saudagar-saudagar Arab dan/atau Persia pun makin intens berdatangan. Di masa ini, muslim bahkan ditinggikan strata sosialnya dan memangku jabatan-jabatan penting di pemerintahan. Makanya, dalam historiografi Cina, dikenal istilah “di masa Yuan, muslim bertebaran di mana-mana” (Yuan shi Huihui bian tianxia).

Cuma, menjelang akhir pemerintahan Dinasti Yuan, terjadi konflik besar berlatarbelakang kepentingan ekonomi antara kaum Suni dan Syi‘ah di Quanzhou. Namanya Kerusuhan Ispah (Yisibasi Bingluan). Banyak korban berjatuhan pada kedua belah pihak. Masjid-masjid dan kuburan-kuburan pun diporak-porandakan dalam kekacauan yang berlangsung gegap gempita selama sepuluh tahun itu (1357–1366).

Bagi yang ingin menyelamatkan diri, kabur ke Nusantara lagi-lagi menjadi pilihan ideal. Sejak zaman Sriwijaya, sebagaimana dicatat Zhu Yu (960–1279) dalam Cerita dari Pingzhou (Pingzhou Ketan) jilid 2, Nusantara memang dijadikan tempat memperbaiki kapal, bongkar muat barang dagangan, dan berkumpulnya pedagang-pedagang dari Cina yang akan ke Timur Tengah atau sebaliknya (Huaren yi Dashi, zhi Sanfoqi xiu chuan, zhuan yi huo wu, yuan jia fu cou).

Sayang, setelah Dinasti Yuan ditundukkan Dinasti Ming (1368–1644), laut yang setelah sekian lama menopang hidup khalayak luas, mulai dipersempit kegunaannya untuk kepentingan ekonomi kedinastian saja. Perdagangan swasta sengaja diberangus melalui apa yang dikenal dengan kebijakan haijin.

Ringkasnya, haijin adalah kebijakan pelarangan melaut untuk berniaga secara mandiri ke luar negeri bagi seluruh warga Cina saat itu. Perdagangan mancanegara hanya boleh dilakukan melalui dan/atau oleh pemerintah. Dinasti Ming tak segan menggunakan senjata untuk mengganyang mereka yang melanggar.

Namun, pihak swasta –umumnya merupakan penduduk pesisir dengan pelabuhan internasional besar nan terkenal macam Guangzhou dan Quanzhou– yang merasa dikerangkeng ruang gerak mata pencahariannya sesudah haijin diberlakukan pada pengujung 1371, memilih menerobos regulasi dimaksud supaya kebutuhan hidup mereka yang utamanya bersandar pada jual-beli dengan negara lain lewat jalur maritim, bisa tetap terpenuhi seumpama ketika era pemerintahan tiga dinasti pra-Ming: Tang, Song, dan Yuan.

Nah, di antara para pelanggar haijin yang kabur ke Nusantara, adalah Shi Jinqing, saudagar asal Guangdong. Di Ying Yai Sheng Lan dan Xi Yang Fan Guo Zhi, Shi Jinqing disebut-sebut sebagai orang yang berjasa melaporkan kebengisan Chen Zuyi –yang juga merupakan pedagang pelanggar haijin dari Guangdong– merompak kapal-kapal yang melintas di perairan Palembang, kepada Cheng Ho.

Berdasar laporan Shi Jinqing itu, sebagaimana diungkap Catatan Fakta Ming (Ming Shilu) bagian “Catatan Fakta Kaisar Yongle” (Taizong Shilu) jilid 71, armada Cheng Ho “membunuh lebih dari 5000 orang komplotan, membakar 10 kapal, menawan 7 kapal, dan merampas 2 stempel perunggu [lambang kekuasaan]” Chen Zuyi.

Berkat jasanya tersebut, masih menurut Ying Yai Sheng Lan dan Xi Yang Fan Guo Zhi, Dinasti Ming kemudian mengangkat Shi Jinqing sebagai “pemimpin besar” (da toumu) –atau disebut juga “duta pasifikasi” (xuanwei shi)– komunitas Tionghoa di Palembang. Mungkin inilah yang dikira sebagai “Muslim/Hanafi Chinese community” oleh Parlindungan.

Belakangan, putri Shi Jinqing yang bernama Shi Dajie alias Nyai Gede Pinatih, menjadi syahbandar di Gresik. Dialah pengasuh Raden Paku dan penyokong finansial Giri Kedaton.

Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.

Baca juga: 

Islam di Masa Kedinastian Cina
Muslim Zaman Dinasti Tang
Muslim Keturunan Konghucu
Bagaimana Islam Menyebar di Xinjiang?

TAG

Cina Tiongkok Tionghoa Muslim Nusantara Cheng-Ho

ARTIKEL TERKAIT

Menjegal Multatuli Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Njoo Han Siang, Pengusaha yang Tak Disukai Soeharto Mencari Ruang Narasi Peran Etnik Tionghoa dalam Sejarah Bangsa Pajak Judi Masa Kompeni Mula Pedagang Kelontong Kala Penduduk Tionghoa di Batavia Dipimpin Wanita Kala Kepala dan Kuku Dipungut Pajak Tio Tek Hong, Perintis Rekaman di Hindia Belanda Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati