Bagaimana Islam Menyebar di Xinjiang?
SETELAH Perang Talas (751) dan Pemberontakan An Shi (755–763), Dinasti Tang perlahan lepas kendali terhadap Wilayah Barat (xiyu). Gonjang-ganjing kondisi negeri yang berlanjut pada tercerai-berainya Cina menjadi Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (907–960) sehabis Dinasti Tang bubar pada 907, semakin membuat Cina tak mampu mengurus protektoratnya (duhufu) yang sebenarnya mencakup Asia Tengah tapi kelak sejak abad ke-18 cuma tinggal dan lebih dikenal dengan nama Xinjiang itu.
Menyeruaknya Islam ke Asia Tengah
Kebalikannya, nun di barat sana, kekuatan kekhalifahan Islam kian sulit dibendung. Dalam tempo singkat, Kekhalifahan Rasyidin (632–661) berhasil menaklukkan teritori strategis Kekaisaran Bizantium Romawi Timur semacam Suriah dan Mesir. Kemudian, diteruskan penundukan total Kekaisaran Sasaniyah dengan didudukinya Khorasan, kawasan timur Persia yang kini secara geografis berada di Asia Tengah, pada 651.
Belum berhenti di situ, gelombang ekspansi Islam makin menjalar ke timur pada masa Kekhalifahan Umayyah (661–750). Selepas Khorasan dipimpin Gubernur Qutayba ibn Muslim sepanjang era kepemerintahan Khalifah Al-Walid I (705–715), dari sana laskar Arab merangsek melintasi Sungai Amu Darya untuk menggempur Transoxiana. Dalam literatur Arab, daerah yang sekarang meliputi Uzbekistan, Tajikistan, Kirgizstan, Turkmenistan, dan Kazakhstan tersebut, biasa dinamai “mā warā’ al-nahr”, negeri di seberang sungai.
Sungai Amu Darya atau disebut juga Oxus, tulis Islamolog masyhur Philip K. Hitti dalam edisi kesepuluh cetakan kesembilan History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present (1984), adalah “garis-batas (boundary-line) antara ‘Irān dan Tūrān’, yaitu antara orang-orang yang berbicara dengan rumpun bahasa Persia (Persian-speaking) dan yang berbicara dengan rumpun bahasa Turkik (Turkish-speaking).” Karenanya, ungkap Pustakawan Princeton University Svat Soucek dalam A History of Inner Asia (2000), Transoxiana yang batas paling utaranya adalah Sungai Syr Darya, oleh geograf Arab juga lumrah disebut “Bilad al-Turk”, negeri bangsa Turk.
Sebagaimana diterangkan Philip dalam magnum opus yang dinukil di atas, Qutayba yang dari pusat pemerintahannya di Khorasan mengendalikan “40 ribu pasukan Arab dari Basra, 7 ribu pasukan dari Kufa, dan 7 ribu tentara bayaran (clients)”, sukses menggelar beberapa kali ekspedisi militer ke Negeri Bangsa Turk dimaksud. Dia merinci, sesudah pada 705 menguasai Tukharistan beserta ibu kotanya, Balkh, pasukan Qutayba berhasil menduduki Bukhara dan daerah lain di sekitar Sogdiana pada 706–9. Selanjutnya, pada 710–12, mereka menaklukkan Samarkand dan Khwarezmia. Qutayba masih mengomandani serdadu menuju provinsi-provinsi di Jaxartes (nama bahasa Yunani kuno untuk Sungai Syr Darya), terlebih Fergana, sebelum keburu wafat pada 715.
“Invasi Qutayba menjadi pendorong yang amat besar terhadap menyebarnya agama Islam ke Asia Tengah yang kala itu, terutama di Transoxiana, pengaruh agama Zoroaster/Majusi, Buddha, Maniisme, dan Nestorianisme masih menduduki posisi utama dalam budaya spiritual masyarakat setempat,” catat Gao Yongjiu, guru besar Lanzhou University, dalam Kajian Komprehensif tentang Islam di Wilayah Barat Kuno (Xiyu Gudai Yisilanjiao Zonglun, 2001).
Di antara meraka, tak sedikit yang lantas berpindah agama, menjadi muslim. Kendati, musababnya bukan hidayah Allah semata, melainkan karena alasan pragmatis semisal untuk memperoleh uang serta demi menghindari pajak perorangan (jizyah) dan pajak tanah (kharāj) yang dibebankan kepada nonmuslim jika ingin mendapatkan perlindungan pemerintah (ḏimmī).
Buktinya, seperti keterangan dalam The History of Bukhara (1954) karya Narshakhī yang diterjemahkan dari bahasa Persia oleh Richard N. Frye, orang-orang Bukhara berangsur menganut Islam setelah Qutayba mengumumkan akan menghadiahi dua dirham kepada setiap yang salat Jumat. Pula, merujuk buku Gao di depan, ketika Khalifah Umar II (717–720) memberlakukan kebijakan seluruh penganut Islam –termasuk yang mualaf– dari bangsa mana saja tidak akan dikenakan pajak apa pun, masyarakat Samarkand dan sekitarnya berbondong-bondong memeluk Islam. Namun, ketika Ashras ibn ‘Abdallah al-Sulami (727–729), gubernur anyar Khorasan, mengumumkan bahwa Khalifah Hisham ibn ‘Abd al-Malik (724–743) tidak lagi menjalankan kebijakan yang sama, mereka murtad dan balik ke kepercayaan semula.
Memang, penyebaran Islam di Bilad al-Turk tak mulus senantiasa. Tentara kekhalifahan tercatat kerap menemui perlawanan sengit dari Kekhaganan Türgesh (699–766) pimpinan Khan Suluk yang berkuasa di sana. Bahkan, selepas kekalahan dalam pertempuran versus Kekhaganan Türgesh pada 724 yang dikenang sebagai “yaum al-aṭash” alias “hari dahaga” itu, kepenguasaan Kekhalifahan Umayyah di Transoxiana sempat terganggu sampai Gubernur Khorasan Asad ibn ‘Abdallah al-Qasri memenangkan Perang Kharistan di Guzgan (kini Afganistan utara) pada akhir 737. Dengan terbunuhnya Khan Suluk serta kolapsnya Kekhaganan Türgesh, Kekhalifahan Umayyah baru lumayan bisa posisi wenak di Transoxiana dan, mulai masa Nasr ibn Sayyar memerintah Khorasan (738–748), Islam dapat meluaskan ketersebarannya hingga Fergana.
Walakin, dinyatakan dalam volume 4 The Cambridge History of Iran: The Period from the Arab Invasion to the Saljuqs (1975) yang dieditori R. N. Frye, pada Mei 748 yang bertepatan dengan bulan puasa, Abu Muslim yang seorang keturunan Persia mulai secara terbuka merekrut prajurit di Marw, salah satu dari empat kota besar Khorasan, untuk merevolusi (“complete change of government”) Kekhalifahan Umayyah. Dua tahun berselang, Kekhalifahan Umayyah pun tumbang.
Memudarnya dominasi orang Arab di Asia Tengah yang banyak dianggap sebagai efek dari robohnya Kekhalifahan Umayyah yang jamak ditengarai selagi bertakhta cenderung mengutamakan kepentingan orang-orang Arab ketimbang yang lain, memberikan peluang kepada non-Arab, khususnya “Irān dan Tūrān”, untuk bisa –meminjam slogan Donald Trump– “great again”.
Benar saja, memasuki zaman Kekhalifahan Abbasiyah inilah, anak cucu Saman Khuda yang notabene “Irān”, mendirikan dinasti Islam Sunni bernama Samaniyah (819–999) yang berpusat di Khorasan dan Transoxiana. Saman Khuda sebenarnya adalah tuan tanah (dihqān) Majusi asal Balkh yang di era Kekhalifahan Umayyah pernah ditolong oleh Gubernur Khorasan Asad ibn ‘Abdallah al-Qasri. Dia lalu menganut Islam dan menamai Asad putranya sebagai bentuk persahabatan dengan Gubernur Asad. Demikian Narshakhī mengisahkan dalam buah pena di muka.
Dari Asia Tengah ke Xinjiang
Sementara itu, kaum Uighur yang secara etno-linguistik merupakan “Tūrān”, juga mendirikan kerajaan-kerajaan tersendiri di Xinjiang yang sama sekali tak terjamah kekuatan kekhalifahan Islam. Dicatat Kitab Dinasti Tang Baru (Xin Tangshu) yang selesai dikompilasi pada 1060, Uighur mulai berimigrasi ke Xinjiang setelah 100 ribu kavaleri Yenisei Kirgiz (Xiajiasi) memorakporandakan Kekhaganan Uighur (744–840) yang berbasis di Ordu-Baliq, Mongolia, pada 839.
Geografi Xinjiang, kita tahu, bercirikan tiga pegunungan mengapit dua cekungan. Gunung-gunung yang menghimpit Xinjiang di selatan adalah Kunlun, di tengah yaitu Tian Shan, di utara ialah Altai. Dua cekungannya yakni Tarim di selatan dan Dzungaria di utara.
Di Cekungan Tarim barat sampai beberapa wilayah Asia Tengah, bersama Karluks (Geluolu), gabungan etnik nomadik bangsa Turk yang lebih dahulu mendiaminya, Uighur mendirikan Kekhaganan Kara-Khanid pada 840. Di barat dayanya, ada Khotan (Yutian), kerajaan “Irān” bangsa Saka, yang sudah berdiri sejak 96. Dinasti Samaniyah berada di barat lautnya.
Merambatnya Islam ke Xinjiang yang kala itu mayoritas masyarakatnya menganut Buddha, adalah berkat Dinasti Samaniyah inilah. Menariknya, ketika Oghulcak Khan membatasi –kalau bukan melarang– penyebaran Islam di negerinya, justru familinya sendiri yang mendobraknya. Betapa tidak, orang yang tercatat memeluk Islam pertama kali di Xinjiang adalah Sultan Satuq Bughra Khan, keponakan Oghulcak, khan Kekhaganan Kara-Khanid yang bermusuhan dengan Isma‘il ibn Mansur, amir Dinasti Samaniyah saat itu.
Sayang, minim sekali referensi historis primer yang bisa diacu mengenai latar belakang Satuq masuk Islam. Dua yang ada, meski tampak bagai hikayat, tetapi menjadi rujukan utama sejarawan sekaligus beredar luas di Xinjiang: Taẕkirat al-Bughrā-khān yang ditulis Mullah Haji dan Mulhaqāt al-Surāh tulisan Jamal Qarshi, seorang terpelajar cum pejabat Kashgar abad ke-13. Jamal, sebagaimana dinyatakannya sendiri, mengutipnya dari Tārīkh Kāsygar karya Imam Abu al-Futuh ‘Abd al-‘Arif.
Isi keduanya mirip. Saya sarikan di sini:
Karena konflik internal Dinasti Samaniyah, Nasr ibn Mansur, saudara Isma‘il ibn Mansur, mencari suaka ke Kashgar. Oghulcak menerimanya dengan sangat baik. Bahkan, dia mengangkatnya sebagai gubernur Artush. Sejak itu, rombongan saudagar muslim dari Bukhara dan Samarkand ramai berdatangan ke sana.
Nasr sering memberi hadiah kepada Oghulcak sebagai wujud terimakasih. Keduanya pun berkarib. Suatu hari, Nasr meminta kepada Oghulcak yang “kāfir” itu, sebidang tanah untuk membangun masjid. Oghulcak mengabulkannya. Berdiri lah masjid akbar Artush.
Pada suatu waktu di zaman Khalifah al-Muti‘illah (946–74), Satuq yang berumur 12 tahun bepergian ke Artush untuk melihat karavan pedagang yang datang. Dia menyaksikan mereka salat berjemaah. Karena tak pernah tahu sebelumnya, dia bertanya kepada Nasr apa yang sedang mereka perbuat. Nasr menjelaskan bahwa itu adalah serangkaian kewajiban ibadah lima waktu umat Islam. Nasr panjang lebar menerangkan apa itu Islam kepada Satuq. Satuq tertarik dan bersyahadat buat masuk Islam saat itu juga. Maka, dia menjadi “pemeluk Islam pertama dari Kekhaganan Turk di area Kashgar dan Fergana” (awwalu man aslama min Khawāqīni al-Turk fī ḥudūdi Kāsygar wa Fargānaḥ). Satuq juga memerintahkan pengawalnya untuk masuk Islam.
Satuq merahasiakan kemuslimannya kepada pamannya. Nasr juga tak memberitahu Oghulcak. Satuq diam-diam belajar Alquran dan syariat. Dia juga mendakwahi koleganya. Perlahan, pengikutnya membanyak.
Oghulcak mulai curiga. Dia memaksa Satuq membangun kuil untuk memastikan kalau kemenakannya bukan “Musulmān”, istilah yang dipakai saat itu untuk merujuk penganut Islam. Karena takut, Satuq manut. Dalam keadaan tertekan, Satuq berdoa kelak dapat mengubahnya menjadi masjid dan menjadi imamnya untuk menyiarkan Islam.
Cita-citanya tercapai. Ketika Satuq berumur 25 tahun, dia mengumpulkan 300 kavaleri dari Kashgar dan 1000 laskar jihad dari Fergana untuk mendongkel pamannya, si kafir. Kavalerinya membesar menjadi 3000. Pamannya berhasil didepak. Perang terhadap “kaum kafir” (kāfirlār) berakhir dengan kemanangan gemilang muslim. Satuq bertakhta. Rakyatnya pun menganut Islam semua.
Satuq mangkat pada 955. Dia dipuji sebagai “al-mujāhid”, pejuang agama Allah dan Rasulullah Muhammad. Makamnya di Artush diziarahi banyak orang sampai sekarang.
Dari situ bisa kita duga bahwa agenda politik sulit dilepaskan dari salah satu motif Satuq memeluk Islam. Keinginannya menjadi penguasa mulus karena pakai kendaraan agama. Sampai di sini, saya tetiba lega mengetahui penggunaan terminologi “jihad” terhadap si “kafir” untuk meraih tujuan politis, rupanya bukan hanya ada di Indonesia.
Walau begitu, sumbangsih Satuq terhadap menyebarnya Islam di Xinjiang selatan –atau “Altishähär” sebagaimana lazimnya Uighur menyebutnya– tak patut kita nafikan. Islam makin meluas di Xinjiang setelah sepeninggalan Satuq, anak cucunya yang menggantikan kursi kekuasaannya di Kekhaganan Kara-Khanid, terus melakukan ekspansi ke Khotan, kerajaan Buddhis tetangga dekatnya itu.
Maka, harus diakui, Islam menyebar di Xinjiang setelah konflik berdarah-darah dan vandalisme atas nama agama terhadap penganut Buddha. Politik ketakukan (politics of fear) mempunyai peran yang cukup sentral di dalamnya. “Fear made the gods,” kata Lenin.
Puisi empat larik (dörtlük) leksikograf Kekhaganan Kara-Khanid Mahmud al-Kashgari (1005–1102) dalam Dīwān Lughāt al-Turk, karya monumentalnya ini, saya jadikan penutup sekaligus gambaran bagaimana laskar muslim dari Kekhaganan Kara-Khanid menyerang Kerajaan Khotan.
kälginläyü aqtïmïz
kändlär üzä čïqtïmïz
furxan ävin yïqtïmïz
burxan üzä sïčtïmïz
Saya coba, dengan berpedoman jilid 1 Dīwān Lughāt al-Turk terbitan Cina, mengalihbahasakannya ke bahasa Indonesia. Ngapunten ingkang kathah.
Kami serbu bak bah,
Kami sasar kota-kota,
Kami hancurkan wihara,
Kami beraki patung Buddha.
Novi Basuki adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar