Muslim Zaman Dinasti Tang
Selain para saudagar, tentara-tentara Arab yang ditawan juga berperan dalam menyebarkan Islam di Cina.
SAMPAI tulisan ini digarap, belum ditemukan literatur era Dinasti Tang (618-907) yang membahas secara benderang soal adanya penganut Islam –baik itu orang Cina sendiri atau pun mereka yang berasal dari wilayah kekuasaan kekhalifahan yang membentang begitu luas– di Cina. Keberadaan muslim di Cina zaman Dinasti Tang hanya didasarkan pada asumsi bahwa pedagang, diplomat, dan atau prajurit yang disebut catatan-catatan Cina klasik berasal dari Dashi alias Arab, adalah menganut Islam dan karenanya keturunan mereka setelah menikah dengan penduduk lokal juga mengimani agama yang sama dengan leluhurnya.
Maklum, di masa Dinasti Tang, Islam belum dikenal sebagai sebuah agama (jiao) oleh mayoritas masyarakat Cina. Bahkan, alih-alih menyebut “Dashi jiao”, Du Huan dalam Catatan Perjalanan (Jingxingji), karya monumental yang kini sudah tidak utuh itu, mengira aktivitas sembahyang lima kali sehari, salat Jumat berjemaah di masjid, tidak menyembah selain kepada Allah (Tian), tidak makan daging babi dan minum arak beserta hal-hal lain tentang keislaman, tak lebih merupakan “Dashi fa”, aturan Arab belaka. Padahal, dia lebih dari sepuluh tahun tinggal di Arab selepas kekalahan Dinasti Tang dalam pertempuran melawan kekhalifahan yang bersekongkol dengan Kekaisaran Tibet (Tubo) di Sungai Talas pada 751-2.
Belum lagi, sejak Dinasti Han (202 SM-220), Cina memang lebih lumrah terhadap Persia (Bosi) ketimbang Arab. Dalam kurun waktu yang lama, pengetahuan Cina terhadap Arab banyak diperoleh dari cerita orang Persia. Sehingga, catatan-catatan era Dinasti Tang mengenai Arab, saya rasa, terkesan “Persia-sentris”. Sebagai amsal, Du Huan dalam Jingxingji itu menyebut Nabi Muhammad sebagai “Bosi huren”: orang asing Persia. Lantas, Kitab Tang Lama (Jiu Tang Shu), salah satu buku sejarah resmi Dinasti Tang, mengamini pandangan tersebut.
Tak kalah menarik, Memoar Perjalanan ke Lima Negara India (Wang Wu Tianzhu Guo Zhuan) yang ditulis oleh Hui Chao, biksu dari Korea yang awalnya belajar agama Buddha di Dinasti Tang lalu melanjutkan ke India, menyebut profesi Nabi Muhammad sebagai “Bosi wang fang tuo hu”: penggembala unta raja Persia. Naskah aslinya kini disimpan di Biblioth que nationale de France, Paris.
Hubungan karib Cina dengan Persia terus terpelihara. Tatkala Kekaisaran Sassaniyah digempur oleh tentara kekhalifahan yang dilancarkan sejak 633, Raja Yazdegerd III tercatat beberapa kali mengirim utusan ke Chang’an untuk meminta sokongan Dinasti Tang. Setelah keruntuhan Kekaisaran Sassaniyah di tangan pasukan kekhalifahan pada 651, Peroz III, putra mendiang Yazdegerd III, melarikan diri ke Cina dan menjadi pejabat Dinasti Tang sampai kematiannya di Chang’an pada kisaran tahun 677. Catatan Baru Dua Ibu Kota (Liang Jing Xin Ji) yang selesai ditulis pada 722 mencatat, Peroz III pernah membangun kuil Zoroaster di Chang’an.
Kebalikannya, relasi Arab dengan Dinasti Tang justru diwarnai dengan beberapa kali konflik sengit. Uniknya, tak lama setelah bersitegang, keduanya akrab kembali, lalu bertempur lagi di kemudian hari.
Sesudah Perang Talas yang dinukil di atas, Dinasti Tang meminta bantuan pasukan kepada banyak pihak –termasuk Arab– untuk turut membasmi Pemberontakan An Shi (An Shi zhi Luan) yang terjadi sepanjang 755-763. Cermin Komprehensif untuk Menolong Pemerintah (Zizhi Tongjian) mendata, gabungan tentara Dinasti Tang dengan yang terkumpul dari negeri lain berkisar 150-200 ribu. Sayang, tak jelas berapa banyak laskar Arab yang terlibat di dalamnya. Namun, yang pasti, bukan yang terdepan. Sebab, yang paling banyak mengirim prajurit adalah Kekhaganan Uyghur (Huihe) di bawah pemerintahan Bayanchur Khan. Perlu ditegaskan, kala itu, Uyghur belum bisa diidentikkan dengan Islam laiknya sekarang.
Setengah abad setelah Perang Talas, tepatnya pada 801, Dinasti Tang bertempur lagi dengan Arab. Namanya Perang Dulu (Dulu zhi Yi). Medan tempurnya tidak lagi di Cina bagian barat, melainkan berpindah ke Cina bagian barat laut khususnya Yunnan. Lagi-lagi, Arab berkolaborasi dengan Kekaisaran Tibet. Boleh dikata, dalam perkara militer, Arab lebih intim dengan Kekaisaran Tibet dibandingkan dengan Dinasti Tang. Untungnya, kali ini Dinasti Tang menang dan, Kitab Tang Baru (Xin Tang Shu) merinci, berhasil menangkap sekira 20 ribu bala “Heiyi Dashi” beserta komplotannya. “Heiyi Dashi” secara literal berarti “Arab pakaian hitam”. Merujuk kepada Kekhalifahan Abbasiyah yang khas dengan bendera hitamnya (rayat as-sawda’).
Kelak, tentara-tentara Arab yang ditawan Dinasti Tang itu, dengan mengikuti premis bahwa mereka adalah muslim dan keturunannya setelah menikah dengan warga setempat juga demikian, turut berperan dalam menyebarnya Islam di Cina era Dinasti Tang. Walakin, perniagaan tetaplah daya dorong terkuat. Dan, faktanya, peperangan tak banyak memengaruhi hubungan ekonomi Dinasti Tang dengan Arab.
Ketika jalan darat terganggu karena Cina bagian barat sedang bergejolak lantaran Pemberontakan An Shi, saudagar Arab menjadikan laut sebagai alternatif. Dengan begitu, pemukiman Arab yang dulu banyak di Chang’an, mulai bergeser ke daerah pesisir seperti Guangzhou, Quanzhou, dan Yangzhou. Mereka terkenal kaya raya. Uangnya, selain dipakai membeli tanah dan rumah, juga dipinjamkan ke penduduk untuk dibungakan (ju zhi qu li). Ya, tak sedikit yang menjadi tukang riba yang jelas dilarang Islam. Tengok saja kisahnya di Zizhi Tongjian jilid 232.
Begitulah, kapital nampaknya memang tak mengenal agama. Sebab, “Pecunia non olet.” Duit tidak bau. Mahabenar pepatah Latin yang konon diucapkan Kaisar Vespasianus ini.
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar