Masuk Daftar
My Getplus

Kriteria Pemimpin Ideal Menurut Konghucu

Tiongkok bisa sukses karena dikelola oleh pemimpin yang disaring menggunakan sistem politik meritokrasi yang berakar dari filsafat konfusianisme.

Oleh: Novi Basuki | 16 Apr 2019
Kuil Konfusius di Nanjing, Tiongkok. (tridharma.or.id).

Sebelum dalam debat terakhir calon presiden (capres) Indonesia yang dihelat pada Sabtu (13/4) malam kemarin menyeru “kita harus contoh ... Republik Rakyat Tiongkok”, Prabowo Subianto pernah mengakui bahwa “dalam menjalankan kepemimpinan, saya banyak sekali dipengaruhi oleh sejarah Tiongkok, oleh filosofi Tiongkok, oleh pelajaran-pelajaran Tiongkok.” Demikian dinyatakan capres nomor urut 02 itu di hadapan para pengusaha Tionghoa yang mengundangnya makan malam bersama pada penghujung tahun 2018 silam.

Kita tahu, filosofi atau pelajaran Tiongkok klasik perihal kepemimpinan yang bisa dikata paling luas dijadikan acuan hingga kini adalah wejangan-wejangan Konfusius alias Konghucu, filsuf agung Tiongkok kelahiran 551 SM.

Tiongkok bisa sesukses sekarang, seperti dituliskan dengan detail oleh Daniel A. Bell dalam buku The China Model: Political Meritocracy and the Limits of Democracy (2016), karena dikelola oleh pemimpin yang disaring menggunakan sistem politik meritokrasi alih-alih demokrasi.

Advertising
Advertising

Meritokrasi, merujuk pengertian KBBI daring, adalah “sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan sebagainya.”

Baca juga: Geliat Naga dari Asia

Adapun meritokrasi yang diterapkan Tiongkok, masih menukil Daniel A. Bell, banyak bersumber dari pemikiran-pemikiran moralistis filsafat konfusianisme (rujia) yang terserak dalam kitab-kitab kuno semacam Li Ji, Shi Jing, Shang Shu, Yi Jing, Chun Qiu, Da Xue, Zhong Yong, Lun Yu, dan Mengzi. Dahulu kala, sembilan kitab yang kelak dijadikan sebagai kitab sucinya penganut agama Konghucu di Indonesia tersebut, merupakan kitab yang mesti dikuasai dan dihafal betul-betul karena bahan ujian kedinastian (keju) untuk menjadi birokrat negara diambil dari sana.

Ya, meritokrasi yang berakar dari filsafat konfusianisme ini memang sudah diterapkan oleh Tiongkok sejak masih dikuasai kedinastian –wabil khusus sehabis kepenguasaan Dinasti Qin (221–206 SM) yang lebih cenderung mengamalkan aliran filsafat legalisme (fajia) besutan Shang Yang (390–338 SM) sebagai ideologi pemerintahannya. Penerapannya, dengan kata lain, berlangsung sepanjang ribuan warsa sebelum Partai Nasionalis (Kuomintang) bentukan Dokter Sun Yat-sen yang berhasil menumbangkan Dinasti Qing lewat Revolusi Xinhai 1911, didepak oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) setelah kalah dalam perang saudara pada 1949.

Walakin, ketika Kuomintang tergencet ke pulau Taiwan dan PKT menjadi penguasa tunggal di Tiongkok Daratan, tak lama kemudian, di bawah komando Mao Zedong, PKT melancarkan Revolusi Kebudayaan (1966–1976) yang memberangus secara membabi buta apa-apa yang dipandang mereka sebagai wujud dari “empat barang usang” (si jiu): pemikiran usang, budaya usang, adat istiadat usang, dan kebiasaan usang. Maka diganyanglah ajaran-ajaran Konghucu lantaran dianggap sebagai salah satu representasi dari “ajaran usang” (jiu sixiang).

Baca juga: Benarkah Partai Komunis Cina Paksakan Ateisme?

Namun, sesudah wafatnya Ketua Mao yang berlanjut pada pemberantasan faksi politik Geng Empat (si ren bang) yang bersikeras membenarkan sekaligus meneruskan segala kebijakan (juece) dan instruksi (zhishi) Ketua Mao, PKT kemudian bertobat mengakui beragam kesalahan yang diperbuat selama satu dasawarsa Revolusi Kebudayaan melalui dikeluarkannya dokumen yang sohor dinamai Dokumen Nomor 19 (Shijiu Hao Wenjian) pada 1982.

Tiongkok pun, mulai akhir tahun 1978, memasuki era Reformasi dan Keterbukaan (gaige kaifang) yang dipelopori Deng Xiaoping. Lalu, ajaran-ajaran Konghucu kembali diakui kontribusi positifnya terhadap perkembangan Tiongkok dalam pelbagai bidang, termasuk dalam pemancangan rambu-rambu moral bagaimana PKT mesti mencetak kader pemimpin ideal –yang oleh Konghucu sebut sebagai “junzi” (orang budiman)– bagi Tiongkok.

Beberapa Barometer Pemimpin Budiman

Lantas, apa saja tolok ukur seseorang bisa disebut sebagai “orang budiman” sehingga ia layak dijadikan pemimpin menurut Konghucu?

Pertama, berasal dari kalangan akar rumput, bukan dari golongan elite. Pasalnya, sebagaimana diprediksi dalam kitab Shang Shu, pemimpin yang terlebih dahulu digembleng oleh asam garam kehidupan rakyat jelata, “akan mau berempati terhadap kesusahan orang kecil” (zhi xiao ren zhi yi). Karenanya, ia akan sebisa mungkin membuat kebijakan populis yang pro wong cilik sebab dirinya pernah dan turut merasakan kemelaratan yang sama.

Sebaliknya yang lahir dari golongan berada. Ia “tidak hanya akan hidup bersenang-senang (yi), tapi juga akan berbuat semena-mena (yan), mengibuli (dan), lalu menghina (ru)” rakyatnya sendiri karena dianggap sebagai “orang dungu” (wu wen zhi) yang gampang dibohongi.

Baca juga: Benarkah Mahasiswa Indonesia di Cina Diajari Komunisme?

Kedua, “memerintah dengan kebajikan” (wei zheng yi de), bukan “memerintah dengan kekejaman” (wei zheng yong sha). Untuk mengetahui seseorang bakal menjadi pemimpin yang mana dari dua kategori itu, Konghucu dalam kitab Lun Yu memberikan petunjuk begini: “Amatilah kesalahan macam apa yang pernah diperbuatnya di masa lalu, niscaya kau akan tahu orang macam apa dia itu” (guan guo, si zhi ren yi).

Ketiga, tidak omong besar, pelan kala berbicara, tapi tangkas saat bekerja. Alasan Konghucu sederhana: “Sulit sekali untuk merealisasikan apa yang sudah diomongkan” (wei zhi nan). Konghucu dalam kitab Lun Yu berkata begitu.

Berangkat dari premis demikian, Konghucu menegaskan, “Barang siapa yang tidak malu mengomong besar, akan kesulitan merealisasikan omongannya” (qi yan zhi bu zuo, ze wei zhi ye nan). Padahal, tutur Konghucu lagi, sebagai pemimpin, mestinya “malu kalau perkataannya melampaui perbuatannya” (chi qi yan er guo qi xing).

Baca juga: Nusantara dalam Kitab Tiongkok

Karena itu, ia biasanya akan “bekerja terlebih dahulu, baru kata-katanya disesuaikan dengan apa yang sudah dikerjakan” (xian xing qi yan er hou cong zhi). Bukan malah sebaliknya. Dan, tatkala menyampaikan pendapatnya pun, ia akan “berbicara pelan-pelan bahkan terbata-bata, tetapi kemudian cepat-cepat mengambil tindakan nyata” (ne yu yan, er min yu xing).

Soalnya, apabila tidak buru-buru dikerjakan, ia paham bahwa “kuda tercepat sekalipun tidak akan mampu mengejar kata-kata yang sudah diucapkan” (si bu ji she).

Keempat, tidak mudah percaya, apalagi menyebarkan, hoaks. Konghucu berkeyakinan, “Orang yang bermoral, tidak akan mudah percaya dan menyebarkan hoaks” (dao ting er tu shuo, de zhi qi ye). Makanya, tetap dalam kitab Lun Yu, Konghucu menyeru agar hoaks atau “pemelintiran-pemelintiran harus dilawan untuk menghentikan mara bahayanya” (gong hu yi duan si hai ye yi).

Baca juga: Muslim Keturunan Konghucu

Bagaimana agar tidak grusa-grusu memercayai, dan/atau menjadi penyebar, hoaks? Konghucu menyarankan, “Jangan berspekulasi, jangan haqqul yaqin pada satu informasi belaka, jangan ngotot, jangan sok benar sendiri” (wu yi, wu bi, wu gu, wu wo).

Kelima, tidak gampang emosi. Sebab, kitab Zhong Yong bilang, “Pemimpin budiman itu, tanpa memberi hadiah sekalipun, rakyat akan tetap saling menyemangati; tanpa marah-marah sekalipun, akan tetap disegani bahkan ditakuti rakyatnya seperti takutnya mereka pada senjata mematikan” (junzi bu shang er min quan; bu nu er min wei yu yue).

Terakhir, memperjuangkan pemerataan ekonomi. Konghucu beranggapan bahwa kesenjangan ekonomi akan menjadi penyulut konflik sosial yang berakibat fatal pada stabilitas nasional dan persatuan bangsa. Karenanya, Konghucu sangat tidak berkenan kekayaan cuma menumpuk pada segelintir orang belaka. Konghucu yang hidup pada masa ketika Tiongkok masih merupakan negara agraris yang pendapatan rakyatnya bersandar sepenuhnya pada hasil bercocok tanam, sampai-sampai mengecap orang yang “mempunyai banyak kepemilikan tanah” (huai tu) sebagai “orang yang tidak berperikemanusiaan” (xiao ren).

Baca juga: Islam Nusantara dan Islam Konghucu

Oleh sebab itu, Konghucu dalam kitab Lun Yu menyarankan agar seorang pemimpin “tidak perlu takut negaranya miskin, tapi takutlah kalau distribusi ekonomi negaranya tidak merata” (bu huan gua er huan bu jun). Makanya, pemerataan ekonomi haruslah dilakukan. “Kalau distribusi ekonomi sudah merata, maka tidak akan ada yang merasa miskin. Dengan begitu, kehidupan rakyat akan makmur sentosa. Negara pun akan damai dan tidak akan bubar” (gai jun wu pin, he wu gua, an wu qing).

Pertanyaannya, adakah pemimpin atau calon pemimpin Indonesia yang memenuhi patokan-patokan Konghucu itu? Kalau Prabowo Subianto meminta kita mencontoh Tiongkok, bisakah kita jadikan parameter-parameter pemimpin budiman menurut Konghucu itu untuk menentukan siapa yang layak kita coblos pada 17 April nanti?

Penulis adalah kontributor Historia di Tiongkok, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University.

TAG

Tiongkok

ARTIKEL TERKAIT

Pertarungan Dua Raksasa Komunis di Perbatasan Tionghoa di Tengah Arus Penyebaran Islam di Nusantara Kisah Kaisar China Mualaf Perjalanan Hidup Ip Man Wing Chun Lahir dari Masa Pergolakan Jurus-Jurus Penghabisan Ip Man Masyarakat Tionghoa di Majapahit Cara Penguasa Jawa Melawan Tiongkok Paman Rasulullah dan Masjidnya di China Apakah Rezim Mao Terlibat G30S?