SAAT ini, menurut Bank Dunia, China tercatat sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto China mencapai 10 persen setiap tahunnya, sementara tingkat pertumbuhan industri mencapai 17 persen. China juga mengukuhkan diri sebagai negara pengekspor dan importir tebesar ketiga di dunia. Selama 30 tahun terakhir, China membebaskan setidaknya 600 juta penduduknya dari kemiskinan.
Kehebatan ekonomi China adalah buah dari program reformasi ekonomi yang dimulai pada 1979. Deng Xiaoping, penggagasnya, meletakkan dasar bagi sistem ekonomi yang memungkinkan pasar bebas dan industri kecil di pedesaan berkembang pesat di seluruh negeri.
Sesungguhnya usaha merombak total ekonomi China sudah pernah dilakukan ketika pemerintah Sosialis Komunis memenangi revolusi pada 1949. Mao Zedong dan Zhou Enlai yang berkuasa saat itu mencanangkan program The Great Leap Forward (Lompatan Besar ke Depan) pada 1958. Mereka berharap China menjadi negara industri maju dalam waktu singkat. Titik beratnya adalah pembangunan ekonomi yang berfokus pada industri mesin dan baja, juga produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan domestik sekaligus ekspor.
Yang tak setuju program ini dihukum mati. Menurut Dali Yang dalam bukunya Calamity and Reform in China, pada 1958 setidaknya 550.000 orang dieksekusi karena alasan ini.
Untuk merealisasikannya, pemerintah mengambil-alih lahan pertanian pribadi dan membentuk sistem pertanian komunal. Sementara ratusan juta pekerja dikerahkan demi tujuan industrialisasi. Kepala daerah berlomba-lomba menyenangkan pusat dan memfokuskan energi tenaga kerja di wilayah masing-masing untuk memproduksi besi dan baja. Di sisi lain pertanian terbengkalai, meski laporan ke pusat produksi pangan berlimpah ruah.
Tahun 1959 terjadi wabah kelaparan di China, yang terparah dalam sejarah dunia. The Great Leap Forward berujung bencana kelaparan terbesar –The Great Leap Famine. Menurut Yang, para ahli memperkirakan bencana itu menelan korban jiwa antara 16,5 juta hingga 40 juta.
Industrialisasi memang terjadi, namun menurut ekonom Bank Dunia Justin Yifu Lin dalam tulisannya “China’s Miracle Demystified”, dimuat dalam blogs.worldbank.org, industri China saat itu membutuhkan sokongan yang amat besar dari pemerintah. Industri yang baru berkembang diizinkan melakukan monopoli, diberi subsidi amat besar, dan kerapkali pemerintah harus mengalokasikan sumberdaya ke banyak perusahaan yang sebenarnya tak punya kontribusi. Ekonomi China memang berkembang tapi amat jauh dari harapan.
Deng Xiaoping menyadari kelemahan reformasi ekonomi ala Mao. Format ekonomi baru yang dia canangkan didasarkan pada pemikiran bahwa ekonomi sosialis yang selama ini dianut China adalah salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan. Deng, yang memimpin China setelah Mao wafat pada 1976, meyakinkan seluruh China bahwa sosialisme dan ekonomi pasar bukan dua hal yang bertentangan. Suatu hari dia bahkan pernah berkata bahwa “saripati dari sosialisme yang sesungguhnya adalah pembebasan dan pembangunan sistem produksi”. Deng menyebut program reformasinya sebagai gaige kaifang –reformasi dan membuka diri.
Investasi asing dilegalkan sejak 1979. Kebijakan ini memberikan dana segar yang dibutuhkan China untuk membangun infrastruktur. Selain itu, sentralisasi pertanian dihapuskan dan pemerintah memberi keleluasaan bagi industri swasta. Pada 1990 bursa saham pertama dibuka di Shanghai, diikuti penjualan industri milik negara pada 1997.
Ada beberapa faktor yang membuat pembangunan industri di China berjalan pesat. Menurut Justin Yifu Lin, salah satu faktor di balik kesuksesan China justru ketertinggalannya dari negara maju. “Sebagai pemain yang agak terlambat masuk dalam proses modernisasi pada 1949, ketertinggalan China menjadi satu keuntungan. Untuk melakukan inovasi, China tak perlu menciptakan teknologi atau membangun industri dengan terlebih dulu melakukan riset. China dapat dengan mudah ‘meminjam’ teknologi, industri, juga institusi dari negara-negara maju dengan risiko dan biaya amat rendah,” tulis Yin.
Sementara dalam bukunya Chindia, Pete Engardio, jurnalis senior Business Week menyebut kekuatan China terletak pada kemampuannya memobilisasi modal serta tenaga kerja untuk membangun infrastruktur dan berproduksi dalam jumlah besar.
Saat ini China tercatat sebagai negara manufaktur terbesar di dunia. Buruh yang dibayar sangat rendah, dengan ketrampilan yang tinggi, menghasilkan barang-barang berkualitas setara yang diproduksi negara maju tapi dengan harga jauh lebih murah. Hasilnya: barang-barang made in China membanjiri dunia. Dari elektronik, peralatan rumahtangga, tekstil, hingga otomotif.
Sama seperti Jepang, banyak industri di China meniru produk-produk dari luar negeri. Bedanya, Jepang kemudian mengembangkannya sementara China terang-terangan memalsukannya.
Dalam Chindia, Pete Engardio menulis bahwa pada 2003 perusahaan obat terkemuka AS, Pfizer, harus menarik 16,5 juta tablet produknya karena ternyata palsu. Pada tahun yang sama, di Brasil terbongkar pemalsuan besar-besar cartridge tinta produksi Hewlett Packard.
Sejak 1996, di bawah tekanan Amerika yang mengancam akan mengenakan sanksi terhadap barang-barang ekspornya, pemerintah China memberlakukan serangkaian kebijakan dan hukum tentang perlindungan hal kekayaan intelektual serta menghukum pelaku pemalsuan. Pada 2001 China juga membuat sebuah kerangka kerja untuk memenuhi standar Kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang Perdagangan terkait Aspek Hak Kekayaan Intelektual. Namuan menurut Letkol David J.Clark dalam Product Counterfeiting in China and One American Company’s Response, penegakan hukum lemah dan sanksi bagi para pemalsu relatif ringan. Kedua hal itu membuat pemalsuan terus merajalela.
Perusahaan seperti Pfizer kemudian menyelesaikan masalah itu sendiri. Simeon Bennett dalam “Pfizer Spies Find Spanish Villa, Gold Rolex in Fake Viagra Bust” yang dimuat Business Week menulis bahwa Pfizer menyewa mantan petugas pabean AS, agen FBI, ahli narkotika Turki, serta mantan polisi Hong Kong untuk memburu para pemalsu. Sementara perusahaan besar seperti Coca-Cola, Compaq, dan Gillette memutuskan untuk bergabung dengan asosiasi khusus seperti Quality Brands Protection Committee atau AntiCounterfeiting Coalition, Inc.
Di luar masalah yang dihadapinya, ekonomi China terus bertumbuh. Dalam tulisan “The Chinese Economic Miracle Can It Last?”, Burton G. Malkiel menyitir penerima Nobel Bidang Ekonomi tahun 1979, Sir W.Arthur Lewis, yang mengatakan pentingnya budaya dalam menjelaskan mengapa bangsa yang satu berkembang sementara yang lain stagnan. Kondisi yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan adalah penduduk yang punya etos kerja kuat, komitmen pada pendidikan, kesadaran untuk mengambil risiko, dan semangat kewirausahaan. Semuanya dimiliki China.