SELAMA dua hari berturut-turut sejak 1 hingga 2 April 2018, laman republika.co.id memuat artikel berjudul “Di Cina, Pelajar Indonesia Dapat Pelajaran Ideologi Komunis” dan “Ribut-Ribut Ajaran Komunisme Atas Pelajar RI di Cina”. Portal berita milik harian Republika yang berdiri mulai 17 Agustus 1995 itu mengutip pernyataan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta Sofyan Anif yang belum lama ini diundang ke Cina oleh Menteri Pendidikan Cina.
“Dalam pertemuan tersebut, kata Sofyan, salah satu rektor perguruan tinggi di Cina mengungkapkan, saat ini Cina sedang gencar-gencarnya menanamkan ideologi komunis kepada seluruh pelajar di Cina.” Dari situ Sofyan berkesimpulan, “siswa yang berasal dari Indonesia pun juga pasti mendapatkan pelajaran yang terkait ideologi komunis.” Supaya tak terpengaruh komunisme, “Sofyan berharap Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi Islam terbesar dapat terus bersatu dan bersama-sama mendorong kemajuan Indonesia.”
Sebaliknya, “Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir tidak mempermasalahkan jika pelajar/mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Cina belajar paham komunis. Bagi Nasir, baik itu komunis, liberalis, maupun sosialis adalah salah satu dari ilmu pengetahuan yang harus dipelajari.”
Meski begitu, Nasir mengingatkan, “mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri harus selalu memegang teguh ideologi Pancasila sebagai ideologi dirinya.” Nasir lanjut menegaskan, “kalau [Pancasila, terutama sila pertama] sudah tertanam, ya tidak akan terpengaruh paham komunis atau lainnya.”
Demikian ditulis Republika Online.
Merasa keberatan dengan pemberitaan dimaksud, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok dalam suratnya bernomor 010/PCINUT/IV/2018, “meminta kepada Redaktur Republika untuk menarik pemberitaan itu karena dapat mengganggu kenyamanan puluhan ribu mahasiswa Indonesia yang sekarang tengah belajar di Tiongkok.”
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok pada 2 April 2018 ikut melayangkan himbauan serupa. Tak ketinggalan, Atase Pendidikan KBRI di Beijing, sebagaimana dikutip Antara (2/4), juga menyayangkan dan menyarankan agar “memahami kurikulum pendidikan di China sebelum menyampaikan komentar di media yang justru menimbulkan keresahan.”
Pertanyaanya, benarkah Cina “sedang gencar-gencarnya menanamkan ideologi komunis kepada seluruh pelajar di Cina” seperti diungkap Sofyan?
Untuk menjawabnya, komposisi “seluruh pelajar di Cina” harus terlebih dahulu dikategorikan menjadi tiga kelompok. Yakni, pelajar dari dalam negeri (ben guo xuesheng); pelajar dari Hongkong, Makau, dan Taiwan (gang’aotai xuesheng); dan pelajar dari luar negeri (wai guo liuxuesheng). Pemerintah Cina sengaja memisah pelajar dari Hongkong, Makau, dan Taiwan dengan pelajar dari dalam negeri yang khusus merujuk kepada pelajar dari Cina daratan, sebagai bentuk pengejawantahan asas “satu negara dua sistem” yang dicetuskan Deng Xiaoping.
Kenapa mesti dipilah sedemikian rupa? Lantaran regulasi yang diberlakukan terhadap tiga macam pelajar itu tidaklah sama. Perbedaan pemberian pelajaran-umum-wajib (gonggong bixiuke) adalah salah satu amsal konkretnya. Karena itu, dalam perkara ini, pemberitaan dengan cara memukul rata ala Republika daring, sepatutnya dihindari.
Bagi pelajar dari Cina daratan, selain harus mengikuti pelajaran-pelajaran jurusan yang ditempuh (zhuanye bixiuke), memang juga harus mengikuti pelajaran-umum-wajib yang dikenal dengan sebutan “dua pelajaran” (liang ke). Yaitu, Teori Marxisme; dan Pendidikan Pemikiran Politik. “Pelajaran-umum-wajib” ini maksudnya pelajaran yang tidak boleh tidak diikuti oleh seluruh pelajar tanpa pandang program pendidikan yang digeluti. Fardlu ‘ain kepada siapa saja laiknya Pendidikan Moral Pancasila di era Orde Baru.
“Dua pelajaran” itu sudah diwajibkan bagi pelajar dari dalam negeri sejak awal Cina berdiri pada 1949. Mata pelajarannya, seiring perkembangan zaman, mengalami beberapa kali perombakan. Kita mencatat, pembaruan mutakhir dilakukan pada 2 Maret 2005 dengan dikeluarkannya “Pendapat Departemen Propaganda Komite Sentral Partai Komunis Cina dan Kementerian Pendidikan Cina Tentang Penguatan dan Penyempurnaan Pelajaran Teori-Pemikiran Politik di Sekolah Tinggi” (Zhonggong Zhongyang Xuanchuan Bu Jiaoyu Bu Guanyu Jinyibu Jiaqiang he Gaijin Gaodeng Xuexiao Sixiang Zhengzhi Lilun Ke de Yijian).
Sesuai arahan dokumen yang biasa disebut “Program 05” (05 Fang’an) tersebut, mata pelajaran untuk “dua pelajaran” terdiri dari empat macam. Masing-masing, Prinsip Dasar Teori Marxisme; Pengenalan Pemikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping, dan Pemikiran “Tiga Perwakilan”; Intisari Sejarah Cina Modern; serta Pendidikan Pemikiran, Moral, dan Hukum Dasar. “Program 05” masih berlaku sampai sekarang. Selanjutnya, karena Pemikiran Xi Jinping (Xi Jinping Sixiang) sudah dimasukkan ke dalam Anggaran Dasar Partai Komunis Cina dan Konstitusi Cina 2018, mata pelajaran “dua pelajaran” kemungkinan akan mengalami penyesuaian di kemudian hari.
Jika kita perhatikan, keempat mata pelajaran di atas sebenarnya hanya berfokus pada hal-hal “dasar”, “intisari”, dan “pengenalan” saja. Maka, kalau kita coba bertanya perihal komunisme pada pelajar dari dalam negeri yang bukan jurusan filsafat, politik, atau ekonomi, misalnya, jangan berharap akan mendapatkan jawaban yang mendalam. Bahkan, di jurusan Ilmu Politik pun, saya masih ingat betul, dulu, ketika tak ada satu pun teman sekelas pascasarjana saya yang semuanya dari Cina mengaku pernah membaca “Manifesto Komunis” ketika ditanya oleh profesor yang sedang mengajar pelajaran “Politik Cina” di kelas.
Lain lagi buat mahasiswa dari Hongkong, Makau, dan Taiwan. Mereka, berdasar pasal 16 bab 3 “Peraturan Penerimaan dan Pembinaan Pelajar dari Hongkong, Makau, dan Taiwan di Sekolah Tinggi Umum” (Putong Gaodeng Xuexiao Zhaoshou he Peiyang Xianggang Tebie Xingzhengqu, Aomen Tebie Xingzhengqu ji Taiwai Diqu Xuesheng de Guiding) yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan Cina bersama lima lembaga pemerintah lainnya pada 12 Oktober 2016, dibolehkan untuk tidak mengikuti pendidikan politik semacam “dua pelajaran” yang tak bisa ditawar oleh pelajar dari Cina daratan.
Kalau hukum mengikuti “dua pelajaran” bagi pelajar dari Hongkong, Makau, dan Taiwan yang notabene kedaulatan wilayahnya berada di bawah Cina adalah mubah, maka sudah barang tentu tak ada kewajiban untuk mengikuti pelajaran berbau ideologi itu bagi mahasiswa dari luar negeri.
Walakin, sebagai gantinya, pelajar dari luar negeri mempunyai kewajiban untuk mengikuti pelajaran bahasa Mandarin dan Pengetahuan Dasar Seputar Cina (Zhongguo Gaikuang). Ketentuan demikian diatur dalam pasal 16 ayat 2 “Metode Administrasi Penerimaan dan Pembinaan Mahasiswa Internasional di Sekolah” (Xuexiao Zhaoshou he Peiyang Guoji Xuesheng Guanli Banfa) yang dikeluarkan serempak oleh Kementerian Pendidikan Cina, Kementerian Luar Negeri Cina, dan Kementerian Keamanan Publik Cina pada 20 Maret 2017. Sebelumnya juga sudah diatur dalam pasal 24 “Ketentuan Administrasi Penerimaan Pelajar Luar Negeri di Sekolah Tinggi” (Gaodeng Xuexiao Jieshou Wai Guo Liuxuesheng Guanli Guiding) yang dikeluarkan oleh tiga kementerian yang sama pada 31 Januari 2000.
Lantas, apa yang dipelajari dalam pelajaran Pengetahuan Dasar Seputar Cina? Cuma sekelumit soal sejarah, geografi, pendidikan, filsafat, sastra, musik, kaligrafi, agama, suku, politik, ekonomi, hubungan luar negeri, dan seterusnya. Dengan luasnya cakupan bidang yang dipelajari itu, pengetahuan yang didapat selama satu semester sudah pasti bakal berhenti pada soal “siapa presiden Cina?”, “berapa jumlah penduduk Cina?”, “suku apa yang mayoritas menganut Islam di Cina?”, dan pengetahuan remeh-temeh lainnya.
Oleh sebab itu, tak perlu waswas “hantu komunis” merasuki mahasiswa Indonesia di Cina yang kini lebih dari 13.000 jumlahnya. Yang perlu dikhawatirkan, mestinya, adalah mereka yang berkoar-koar kebangkitan komunis sambil membakar bendera merah bergambar palu-arit yang entah didapat dari mana padahal komunisme beserta artributnya dilarang di Indonesia. Tiba-tiba, saya ingin mengutip novel juga. Tapi bukan Ghost Fleet yang tenar mendadak itu. Yang ini judulnya Jinghuayuan (Bunga di Cermin), karya Li Ruzhen, sastrawan zaman Dinasti Qing. Begini bunyinya, “you bu an ben fen de qiangdao, you wu shi sheng fei de qiangdao.” Artinya, “ada bandit yang tak tenang dengan pekerjaannya, ada juga bandit yang pekerjaannya mengada-ngada.”
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.