Selama hampir seabad (1852-1942), Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (GTNI) menjadi jurnal medis terkemuka di Hindia Belanda. Hampir seluruh informasi yang dibutuhkan oleh mereka yang hendak mempelajari perkembangan ilmu medis di Hindia Belanda terhimpun di sini. Dengan sendirinya, menjadi kontributor GTNI adalah prestise tersendiri bagi seorang dokter atau peneliti kala itu.
Sebelum abad 20, GTNI hanya diisi oleh kontributor Eropa. Lalu, seiring dengan dibukanya sekolah medis di koloni, dokter-dokter kelahiran Hindia mulai ikut mengisi GTNI. Umumnya mereka adalah lulusan STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) dan pernah mengenyam pendidikan kedokteran lanjutan di negeri Belanda, baik dari kalangan pribumi maupun Tionghoa.
Menurut Hans Pols, sejarawan University of Sydney, lahirnya para penulis medis lokal ini tidak lepas dari peran Christiaan Eijkman. Eijkman, yang dikenal atas penelitiannya tentang penyakit beri-beri, datang ke Hindia Belanda membawa pembaruan dalam penelitian kesehatan modern. Ia membangun sebuah laboratorium medis di rumah sakit militer yang kini menjadi RSPAD Gatot Subroto.
“Saat itu dia juga menjadi direktur STOVIA, karena itu ia membolehkan murid-muridnya melakukan penelitian di laboratorium baru itu. Dokter Tjipto Mangunkusumo adalah salah satu yang pernah mengadakan penelitian di laboratorium ini,” tutur Hans Pols.
Pengalaman riset semacam itulah yang memungkinkan dokter-dokter pribumi dan juga Tionghoa bisa menulis untuk GTNI. The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942: A Platform for Medical Research yang disunting Leo van Bergen dkk mencatat sekira 4.500 artikel telah diterbitkan dalam 80 volume GTNI. Dari jumlah itu, sekira 560 artikel ditulis oleh penulis kelahiran Hindia Belanda. Artikel-artikel itu ditulis oleh 195 penulis lokal.
Penulis kelahiran Hindia Belanda yang pertama kali tercatat menjadi kontributor GTNI adalah dokter Lim Njat Fat. “Antara 1904 dan 1909 dia menulis empat artikel untuk GTNI. Bersama dengan koleganya, Nel Stokvis-Cohen Stuart, dia menyumbang kontribusi penting untuk pelatihan keperawatan,” tulisvan Bergen dkk.
Setelah itu tidak banyak dokter lokal yang menulis untuk GTNI. Hanya dua artikel dari penulis lokal yang terpindai untuk setiap volumenya. Artikel penulis lokal perlahan mulai meningkat jumlahnya sejak 1923. Bahkan, selama periode 1939-1941 rata-rata ada 55 artikel penulis lokal di setiap volume.
Hans Pols memindai lima orang dokter-penulis lokal yang produktif menerbitkan artikelnya di GTNI. “Sejak 1924 sampai 1940an jumlah artikel yang ditulis oleh penulis lokal di GTNI mengalami peningkatan. Dan beberapa nama yang sangat aktif menulis di GTNI di antaranya Mas Sardjito menulis 29 artikel, Achmad Mochtar menulis 25 artikel, Raden Soesilo menulis 23 artikel, Mahamad Amir menulis 22 artikel, Mas Soetopo menulis 11 artikel,” tuturnya.
Kelima dokter ini memang bukan orang sembarangan. Mereka termasuk tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi penting di bidang kesehatan semasa kolonial dan pascakemerdekaan. Sardjito, misalnya, adalah lulusan STOVIA 1915 dan kemudian melanjutkan studinya di Universitas Leiden. Pada 1930an ia menjadi kepala laboratorium kedokteran di Semarang. Selama itu ia banyak menulis tentang bakteriologi, malaria, leptospirosis, kusta, hingga soal-soal kesehatan masyarakat umum. Ketika Indonesia merdeka ia menjadi salah satu pendiri dan juga rektor pertama Universitas Gajah Mada.
Ada pula Achmad Mochtar yang merupakan peneliti medis lokal paling berbakat semasa kolonial. Lulus dari Universitas Amsterdam pada 1927 ia kembali ke Hindia Belanda dan meneliti secara intensif penyakit malaria dan kusta. Ia pun aktif menerbitkan laporan penelitiannya di GTNI. Tak hanya soal malaria yang menjadi fokus terbesarnya, tetapi juga soal leptospirosis, kusta, tuberkolusis, dan bakteriologi.
“Mochtar bisa saja menjadi pelopor riset medis kala Indonesia merdeka. Tapi, sayangnya ia dituduh terlibat dalam skandal kontaminasi vaksin tetanus dan kemudian dieksekusi oleh Jepang. Padahal dia punya reputasi internasional dan sangat berbakat,” ujar Hans Pols.
Dari sisi subjek kajian para dokter lokal tidak berbeda dengan dokter Eropa, mereka menulis hampir semua disiplin ilmu kesehatan. Beberapa isu kesehatan yang menarik minat mereka di antaranya soal praktik dukun, serba-serbi khitan di kalangan muslim, dan juga jamu serta obat herbal Tionghoa.
Tak ketinggalan, para dokter lokal ini juga menulis soal kebijakan pemerintah kolonial. Umumnya mereka membandingkan pengalaman mereka di Eropa dengan kondisi di Hindia Belanda. Seperti yang dilakukan oleh dokter Kwa Tjoan Sioe. Termotivasi oleh metode penanganan pasien rawat jalan di Belanda, ia menulis untuk GTNI soal bagaimana dia menginisiasi layanan keperawatan untuk perempuan, baik pribumi maupun Tionghoa, di Jakarta.
Tetapi, sebelum pergantian abad, seluruh artikel tentang kebijakan mencoba untuk mendukung kebijakan resmi dari Departemen Kesehatan. Belum terdengar adanya kritik. Kritik mulai terlihat begitu memasuki awal abad 20, ketika para dokter-penulis lokal ikut mengisi GTNI
“Publikasi para dokter lokal Hindia adalah indikasi positif profesionalisme mereka. Sama seperti rekan-rekan Eropanya, mereka menunjukkan pengetahuan medis mereka dengan semakin banyak menulis di GTNI, tidak hanya tentang kasus medis, namun juga masalah kebijakan. Empat dokter Indonesia bahkan berkontribusi dalam edisi ulang tahun GTNI pada 1936. Rupanya dokter Indonesia memiliki keunggulan profesional dan masukan mereka sangat dihargai.” tulis Liesbeth Hesselink dalam The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942: A Platform for Medical Research.