Setelah dibebaskan dari penjara di Magelang pada 16 September 1948, Tan Malaka berupaya menghimpun lagi para pendukungnya. Bersama beberapa rekannya, pada 7 November 1948 dia membentuk Partai Murba dengan asas “antifascis, antiimperialis dan antikapitalis.”
Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Harry A. Poeze dalam diskusi bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4, di Jakarta, 23 Januari 2013. Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949.
Usai kongres pendirian Partai Murba, Tan mesti menentukan pilihan tentang hari depan pergerakannya. Meski Yogyakarta strategis (saat itu sebagai ibukota Republik Indonesia), dia merasa tidak aman di kota itu. “Dikhawatirkan akan terjadi pendudukan Belanda, dan bahaya penangkapan oleh pemerintah,” tulis Poeze. “Dia juga ingin menjajaki alam pikiran rakyat.”
Baca juga: Harry Poeze 40 Tahun Mencari Tan Malaka
Ada dua rencana perjalanan yang hendak ditempuh: Jawa Barat dan Jawa Timur. Kemungkinan ke barat (Banten) pupus mengingat Darul Islam sangat aktif di sana dan membenci kaum komunis, terlebih Banten terisolasi dari pusat Republik.
Pilihan Tan jatuh ke Jawa Timur. Selain menjadi medan subur bagi pengikut gerakan kiri, sebagaimana yang dia asumsikan dalam Naar de Republiek Indonesia, “di sanalah pukulan yang menentukan akan diselesaikan.”
Pada 12 November 1948, Tan berangkat ke Kediri, mengingat tawaran bantuan dari komandan batalion Sabarudin, dan jaminan keamanan serta perasaan simpati dari komandan divisi Soengkono dan stafnya.
Dimulailah jalan gerilya di Jawa Timur. Tan berkesempatan bertemu dengan para prajurit TNI dan pimpinan politik. Jika senggang, tulis Poeze, “dia berjalan-jalan untuk melihat-lihat dan mencaritahu tentang keadaan penduduk kampung yang miskin dan keinginan-keinginan mereka.”
Baca juga: Tan Malaka dan Logika Mistika Kaum Sebangsa
Dalam setiap pertemuan maupun pamflet yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka menuangkan gagasannya akan cita-cita negara sosialis. Dia menjelaskan ide-idenya dalam Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi) ke tengah-tengah kalangan militer dan mendapat sambutan hangat. Dia pun rutin mengecam politik diplomasi yang dijalankan oleh Sukarno-Hatta yang dia sebut “telah menyia-nyiakan hak-hak mereka sebagai pemimpin.” Dalam ‘Program Mendesak’, dia bahkan menyebut dirinya sebagai pemimpin Revolusi Indonesia.
Sebagai contoh kesuksesan propaganda Tan Malaka, sebanyak 17-19 batalion bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP) untuk menghadapi serangan Belanda bilamana sewaktu-waktu datang. GPP mesti bertindak sesuai petunjuk Gerpolek.
Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.
Baca juga: Aksi Massa karya Tan Malaka Disita Polisi
Sukoco sempat mempertimbangkan menindak Tan sebagai seorang komunis yang mesti dijatuhi hukuman militer. Tapi kenyataannya berkata lain. “Sukoco orang kanan sekali dan dia beropini lebih baik Tan Malaka ditembak mati,” tutur Poeze.
Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas Sukoco. Kematiannya tanpa dibikin laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Sukoco. “Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ucap Poeze.
Setelah pencarian panjang, pada 2009 silam diadakan penggalian makam yang diduga berisi jenazah Tan Malaka di Selopanggung. Sampai kini, penelitian para ahli forensik belum beroleh hasil pasti apakah jenazah yang digali benar-benar milik Tan Malaka atau bukan.
Baca juga: Hari Ini Adalah Hari Kematian Tan Malaka
“Memang Tan Malaka ini jago menghilang selama hidupnya. Sampai matipun masih ada jagonya itu,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam. Menurut Asvi, publik perlu segera mendapat kepastian. “Namun apapun hasilnya mestinya sudah bisa ditetapkan bahwa makam Tan Malaka memang di tempat itu,” tegasnya.
Asvi berpendapat sudah waktunya jenazah Tan Malaka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Pemindahan ini menjadi penting sebab menjadi semacam pengakuan bersalah pemerintah Indonesia yang selama puluhan tahun Orde Baru melenyapkan nama Tan Malaka.
Nada sedikit berbeda disampaikan pemimpin redaksi majalah Historia.id, Bonnie Triyana. Dia menganggap gagasan-gagasan Tan Malaka beroleh perhatian dan wajib disikapi lebih dahulu. “Menghidupkan kembali gagasan-gagasan Tan Malaka jauh lebih penting sekarang ini,” tuturnya. “Porsi besar pelajaran sejarah lewat kurikulum 2013 baru-baru ini, misalnya, memberi kesempatan supaya buku-buku Pak Harry ini mestinya sama-sama kita sebarluaskan.”