PEPERANGAN yang terjadi di berbagai belahan dunia kerap mengundang pihak-pihak yang "bermain" dalam perdagangan senjata ilegal. Hal ini pernah terjadi dalam perang saudara di Nigeria (1967-1970) yang melibatkan seorang perwira Angkatan Darat Indonesia bernama Mayjen Hartono Wirjodiprodjo.
Sebelumnya, Hartono punya karir yang cukup cemerlang lantaran menjadi salah satu pendukung utama Soeharto menjadi presiden. Pada era rezim Sukarno, Hartono merupakan Direktur Peralatan Angkatan Darat dan sebagai Ketua Musyawarah Nasional Teknik (Munastek). Ia disebut-sebut juga sebagai orang yang menjemput langsung Bung Karno dari Istana Merdeka ke Istora Senayan untuk malam pembukaan Munastek, 30 September 1965.
Sebagai Deputi Kepala Staf Angkatan Darat di awal Orde Baru, Hartono memiliki tanggung jawab atas administrasi dan keuangan Angkatan Darat. Sebagai pemangku jabatan tersebut, dia disebutkan ikut berperan dalam perdagangan senjata ilegal ke Biafra yang tengah terlibat perang saudara dengan pemerintah Nigeria, bahkan juga ke Israel. Pada 1967, aksinya tercium dan secara resmi dia diajukan ke meja hijau (Baca: Diam-diam Indonesia Beli Pesawat Tempur Israel dan Intel Indonesia Dilatih Intel Israel).
“Dia dituduh menggunakan posisinya dan membawa nama pemerintah Indonesia menjadi buruk di mata internasional dengan memfasilitasi penyelundupan senjata ke Biafra dan dilaporkan juga ke Israel,” ungkap Harold Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia.
Dua tahun berselang, Hartono divonis pengadilan militer dengan hukuman dua tahun tahanan rumah –yang dijalaninya di rumahnya sendiri. Namun menurut Crouch, sejatinya skandal penyelundupan tersebut hanya sebagian kecil dari aksi sindikat senjata yang ada di Indonesia pada masa Soeharto.
George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligari Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa, menyingkap bahwa lingkar penyelundupan senjata itu juga meliputi impor dan penyewaan senjata untuk kepentingan pribadi dan tidak jarang untuk tujuan kriminal.
“Modus operandi sindikat senjata sebagai berikut. Seorang tentara diperintah atasannya untuk melakukan tugas tertentu yang membutuhkan senjata ke luar Jakarta. Senjata tadi lantas dijual Rp11 ribu atau disewakan dengan harga tertentu. Setiap bulan perintah tadi diulang. Proses menjual senjata dan hasil bulanan haram ini kemudian dibagi-bagi,” ungkap George.
Korupsi semacam itu juga sebetulnya bukan tanpa penindakan. Pihak berwenang dalam razia pada Agustus 1967 pernah menggerebek dan mendapati 11 unit senjata dan 10 surat pemesanannya di Jati Petamburan, Jakarta.
“Kurang jelas apakah keluarga Soeharto mendapat keuntungan langsung dari perdagangan senjata ilegal ini atau tidak,” ujar George.