Masuk Daftar
My Getplus

Kompi 100 Kolonel Latief Duduki Malioboro

Dia adalah komandan tempur andalan Soeharto sewaktu ibukota diduduki Belanda. Kala memimpin Kompi 100, pasukannya menduduki Malioboro.

Oleh: Petrik Matanasi | 14 Sep 2023
Kolonel Latief dan keluarganya. Sewaktu berpangkat kapten, pasukannya berhasil menduduki Malioboro (Repro "Pleidoi Kolonel Latief")

Pada awal revolusi, Abdul Latief adalah komandan pasukan pemuda yang berhasil mengumpulkan senjata untuk pasukan setara satu kompi di Bojonegoro. Di masa itu, perbandingan kepemilikan senjata bisa satu senjata banding empat personel.

Sebagai komandan tempur, Latief berkali-kali kehilangan anak buahnya. Pasukan Latief merupakan pasukan yang sering berada di garis depan –yang resiko terbunuhnya lebih besar– baik di front Surabaya maupun sesudahnya front Jawa Tengah.

“Dengan adanya perintah rasionalisasi dan rekonstruksi organisasi Angkatan Perang oleh pemerintah saya dipanggil kembali ke Ibukota RI ke pasukan induk dengan keputuan pangkat mayor diturunkan satu tingkat menjadi kapten dan mendapat tugas untuk menyusun Kompi Istimewa/Stoot Kompi dengan persenjataan lengkap. Bersamaan dengan itu terjadi peristiwa Madiun dan pasukan saya dilimpahkan menjadi pasukan Komando Militer Kota (KMK) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Latief Hendraningrat,” catat Abdul Latief dalam riwayat hidup tak diterbitkan yang dibuatnya pada 1993 di Penjara Cipinang.

Advertising
Advertising

Letnan Kolonel (Letkol) Latief Hendraningrat sudah dikenalnya waktu pelatihan pemuda di Jakarta. Letkol inilah yang mengibarkan bendera merah-putih di Jakarta. Sebagai komandan KMK, Latief Hendraningrat tidak punya pasukan dalam jumlah besar. Maka ketika kota Yogyakarta diserbu tentara Belanda pada 19 Desember 1948, TNI tak bisa mempertahankannya.

Baca juga: Kenapa Yogyakarta Mudah Direbut Belanda?

Setelah kota Yogyakarta diduduki, Letkol Latief Hendraningrat, Kapten Abdul Latief, dan lain-lain bergerilya ke luar kota. Kapten Latief terpisah dari komandan KMK. Hari-hari pertama didudukinya Yogyakarta oleh Belanda, Kapten Latief dan pasuannya bertahan dan bergerilya di sekitar Dongkelan, selatan Yogyakarta. Terkadang mereka berada di Padokan, dekat pabrik gula Madukismo.

Semasa gerilya itu, Kapten Latief bertemu dengan Letkol Soeharto, komandan Brigade X, di sekitar Segoroyoso. Setelah itu pasukan Kapten Latief berada di bawah komando Letkol Soeharto. Pasukan Latief lalu diberi nama baru: Kompi 100 Brig X. Pasukan itu langsung berada di bawah komando Soeharto.

Ketika Soeharto melancarkan operasi Serangan Umum 1 Maret 1949, Kompi 100 dilibatkan. Sebelum menyerang, seperti diakui Latief kemudian hari, dalam perjalanan ketika berpindah dari selatan Yogyakarta (Padokan dan Dongkelan) ke sisi barat Yogyakarta (Demak Ijo), Kompi 100 terjebak pertempuran dengan tentara Belanda. Banyak anggota Kompi 100 luka parah dan terbunuh. Jelang Hari H Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan Latief berhasil mencapai Demak Ijo. Mereka akan bergerak ke timur melalui Kali Winongo ke pusat kota Yogyakarta.

Baca juga: Peringatan Serangan Umum 1 Maret Menuju Hari Besar Nasional

“Saya mendapat perintah dari komandan Wehrkreise Letnan Kolonel Soeharto untuk menyerang dan menduduki sepanjang Jalan Malioboro, mulai dari Stasiun Tugu sampai Pasar Besar (Bringharjo) di dekat Istana Yogyakarta,” kenang Latief.

Pada Hari-H, Kompi 100 melaksanakan perintah itu. Pasukan Kompi 100 berhasil memasuki daerah Malioboro namun dengan korban jiwa. Salah satu anak buah Latief terbunuh. Di sekitar Malioboro, pasukan musuh menyambutnya dari Hotel Merdeka. Anak buah Latief kena tembak.

 “Setelah dapat menduduki seperti yang diperintahkan, gedung-gedung besar dan tokoh-toko sedianya akan saya bakar sesuai dengan politik bumi hangus. Akan tetapi mengingat keadaan sekeliling adalah rumah-rumah rakyat yang terdiri dari bambu yang mudah terbakar, maka niat itu saya batalkan,” aku Latief.

Baca juga: Setelah Serangan Umum 1 Maret

Setelah beberapa jam menduduki kota Yogyakarta, tentara Belanda mendatangkan bala bantuan ke kota tersebut. Saat itulah pasukan Kompi 100 dipukul mundur sampai ke daerah Kuncen. Ketika Latief datang, sudah banyak anak buahnya yang tumbang dalam pertempuran.

“Kira-kira pada jam 12.00 siang hari bertemulah saya dengan komandan Wehrkreise Letkol Soeharto di markas, rumah yang saya tempati sebagai markas gerilya, waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya,” aku Latief dalam pembelaannya di Pengadilan Militer Tinggi II Jawa Barat, 27 Juni 1978. Kisah ini tak ditulis Soeharto dalam autobiografinya, Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya.

TAG

kolonel latief suharto agresi-militer

ARTIKEL TERKAIT

Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Kisah Pasukan Gabungan AURI-ALRI Menahan Gempuran Belanda Gold dan Kisah Penipuan Tambang Emas di Kalimantan Oligarki Zaman Kuda Gigit Besi hingga Era Jokowi “Raja Hutan” Bob Hasan Pulang ke Haribaan Tuhan Habibie Kecil dan Soeharto Muda Meluruskan Fakta Pertemuan Soeharto dan Sultan Monumen yang Ternoda Gempur-menggempur di Malang Timur