Masuk Daftar
My Getplus

Peris Pardede, Pedagang Arloji Jadi Petinggi PKI

Dekat dengan D.N. Aidit, dia ikut membangun kembali PKI. Memimpin komisi kontrol untuk mendisiplinkan anggota partai. Ditangkap dan dihukum mati.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 04 Sep 2021
Ilustrasi Peris Pardede (Betaria Sarulina/Historia)

Setelah pemerintah menganjurkan pendirian partai-partai politik, Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali bangkit. Mr. Mohammad Jusuf menggunakan kesempatan itu untuk menghidupkan PKI secara legal. Sebelumnya, PKI ilegal atau bergerak di bawah tanah setelah dilarang pemerintah kolonial karena memberontak pada 1926.

Pada 21 Oktober 1945, PKI secara resmi berdiri dengan pengurus: Mr. Mohammad Jusuf sebagai ketua, Mr. Soeprapto sebagai sekretaris, Likasi Ali Kasim sebagai bendahara, dan Mohammad Sain sebagai salah satu anggota komisaris.

Mohammad Sain berasal dari Sumatra Barat. Dia bekerja sebagai pegawai kantor pos pada masa Hindia Belanda, kemudian berdagang pada masa pendudukan Jepang. Dia mempunyai toko di Pecenongan No. 48c Jakarta. Bagian muka dalam tokonya disediakan untuk menerima reparasi arloji. Di tempat itu juga dijual jam tangan bekas pakai.

Advertising
Advertising

“Tukang jam di situ bernama Peris Pardede,” kata Rosihan Anwar, wartawan zaman penjajahan, dalam Napak Tilas ke Belanda

Masuk PKI

Peris Pardede lahir di Lumbanrau, Parsoburan, Balige, Tapanuli Utara, pada 20 Januari 1918. Setelah tamat dari sekolah dasar Christelijke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Narumonda Tapanuli Utara pada 1934, dia masuk MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Muhammadiyah di Jakarta. Namun, dia tidak menyelesaikan pendidikannya, hanya sampai kelas dua, dan keluar pada 1936. Kelak, pada 1963 sampai 1965, dia masuk Akademi Ilmu Sosial Ali Archam di Jakarta, sebuah lembaga pendidikan bentukan PKI.

Dua tahun setelah keluar dari MULO, Peris Pardede bekerja sebagai beambte (petugas) pandhuisdienst (pegadaian) di Cirebon kemudian di Jakarta sampai tahun 1942. Selama pendudukan Jepang, dia membuka toko arloji di Jalan Pecenongan No. 48c Jakarta di toko milik Mohammad Sain.

Baca juga: Sejarah PKI yang Tak Sempat Tua

Setelah Proklamasi kemerdekaan, Peris Pardede menjadi pengurus Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Mangga Dua Jakarta sampai Januari 1946. Dia masuk PKI Jusuf kemungkinan diajak oleh Mohammad Sain.

“Peris Pardede, laki-laki asal Tapanuli menjadi bendahara Seksi PKI Jakarta yang didirikan tanggal 6 November 1945,” tulis Rosihan.

Rosihan menyebutkan bahwa toko Md Sain menjadi tempat alamat redaksi dan administrasi majalah PKI, Bintang Merah yang terbit tanggal 17 November 1945. Rosihan bergaul dengan Md Sain dan Peris Pardede, yang biasa datang dari Gang Kingkit untuk ngobrol bertukar berita. Peris Pardede suka meminjam buku dan lain-lain dari Rosihan.

“Dalam zaman perjuangan menghadapi musuh bersama Belanda, kita harus bersatu dan punya hubungan baik satu sama lain,” kata Rosihan.

Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan menyebut PKI Jusuf mendapat sambutan dari daerah-daerah. Sampai akhir 1945, cabang-cabangnya berdiri di Sukabumi, Cirebon, Solo, Pekalongan, Madiun, Malang, dan Surabaya. Mereka menerbitkan Bintang Merah dengan oplah 3.000 eksemplar.

Pada 11 Desember 1945, PKI Jusuf mendirikan Laskar Merah. Namun, setelah kongres PKI pada Februari 1946 di Cirebon, Laskar Merah bentrok dengan tentara.

Baca juga: Gerakan Djojobojo M. Jusuf Menentang Jepang

Menurut Hasan Raid dalam otobiografinya, Pergulatan Muslim Komunis, ketika insiden itu terjadi, tidak semua anggota HB (Hoofdbestuur atau Pengurus Besar) berada di Cirebon. Sebagian telah meninggalkan Cirebon. Mereka tak tahu akan terjadi insiden. Hal itu menunjukkan bersifat spontan.

Hasan menduga, mungkin karena pemerintah mengetahui insiden itu bukan rekayasa dari PKI, meskipun ketua dan wakil ketuanya berada di Cirebon, maka tak semua anggota HB ditangkap. Misalnya LA Kasim tetap bekerja seperti biasa di Solo. Insiden Cirebon dilokalisasi. Tak ada penangkapan anggota PKI di luar Cirebon. Meskipun sejumlah pemuka PKI (Jusuf, Soeprapto, dan 36 orang) ditangkap di Cirebon, namun PKI di Solo berjalan seperti biasa meskipun dalam suasana terpukul.

Bersama Aidit

Tak lama sesudah Insiden Cirebon, D.N. Aidit tiba di Solo pada Mei 1946. Dia baru dibebaskan Belanda dari Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Dia ditangkap tentara Inggris pada 5 November 1945 lalu diserahkan kepada tentara Belanda yang mengasingkannya ke Pulau Onrust.

“Sesudah itu tiba pula Peris Pardede. Dia adalah sekretaris redaksi majalah Bintang Merah,” kata Hasan. Peris Pardede berada di Markas Besar PKI di Solo pada Februari 1946.

“Dengan kedatangan Aidit dan Peris Pardede, aku mempunyai teman diskusi. Pengalaman mereka dalam perjuangan jauh di depanku, terutama Aidit,” lanjut Hasan.

Sementara itu, tokoh-tokoh PKI yang datang dari Belanda dan Australia mengecam Insiden Cirebon. Mereka membentuk Komite Pemberesan PKI. Dalam pertemuan pada Maret 1946 di Jakarta, Komite menyatakan PKI Jusuf bukan penerus sah dari PKI setelah pemberontakan 1926 dan tidak ada hubungannya dengan PKI yang dibangun kembali secara ilegal oleh Musso tahun 1935. Komite juga memutuskan akan melakukan pembersihan di kalangan PKI dan menggelar konferensi nasional.

Baca juga: Jalan Baru Musso dalam Peristiwa Madiun

Konferensi Nasional yang dianggap sebagai Kongres ke-4 diadakan di Solo pada 11–13 Januari 1947. Konferensi menyusun Pengurus Besar PKI yang baru yang diketuai oleh Sardjono.

“Aidit, Peris Pardede dan aku tetap dipekerjakan pada staf HB PKI yang baru ini. Majalah Bintang Merah, yang telah terhenti terbitnya beberapa bulan dihidupkan kembali. Yang memimpin Aidit. Peris Pardede dan aku membantunya,” kata Hasan.

Pada 1947, Peris Pardede ikut Markas Besar PKI pindah ke Yogyakarta. Dia kemudian ditempatkan sebagai Sekretaris Front Demokrasi Rakyat (FDR) Pusat di Yogyakarta sampai meletus Peristiwa Madiun. FDR adalah aliansi partai dan organisasi sayap kiri: PKI, Partai Sosialis, Pesindo, SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), dan BTI (Barisan Tani Indonesia). FDR dituduh berada di balik Peristiwa Madiun.

“Dengan timbulnya Peristiwa Madiun sampai clash ke II saya menyelamatkan diri ke daerah Kedu Selatan (Purworejo) dengan nama Abdullah,” kata Peris Pardede dalam G-30-S “Gerakan 30 September” Dihadapan MAHMILLUB di Djakarta Perkara Dr. Subandrio.

Dengan menyamar sebagai Abdullah, Peris Pardede lolos dari penangkapan tentara. Malahan selama agresi militer Belanda II, dia berhasil bergabung dengan Komando Onder Distrik Militer (KODM) Wadaslintang Wonosobo sebagai kepala bagian kemasyarakatan.

Baca juga: Ketika PKI Lawan Agresi Belanda

Kendati pemerintah menganggap Peristiwa Madiun sebagai pemberontakan, tapi PKI tidak dilikuidasi. Bahkan, pada 4 Februari 1950, pemerintah menegaskan bahwa PKI tidak dilarang dengan catatan mematuhi hukum dan tata tertib negara. Kedudukan anggota PKI dalam parlemen dikembalikan.

“Pada 1950 saya diangkat menjadi anggota Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat) mewakili Republik Indonesia Yogyakarta dan tetap anggota Parlemen dengan bermacam-macam perubahan ketatanegaraan RI sampai saya tertangkap,” kata Peris Pardede.

Setelah PKI tampil kembali terjadi friksi. Kelompok komunis muda yang dimotori Aidit berhasil menyingkirkan kelompok komunis tua di bawah Tan Ling Djie dari kepemimpinan PKI.

“Grup yang kemudian menjadi padat dan bersatu menguasai PKI yaitu Aidit, Njoto, MH Lukman, Sudisman serta Peris Pardede dan Hasan Raid sebagai pusat pembaruan seksi PKI daerah Jakarta,” tulis Sobron Aidit dalam Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan.

Baca juga: Yang Muda Yang Berkuasa

Menurut Sobron, mereka menerbitkan kembali majalah Bintang Merah pada 15 Agustus 1950 sebagai inti operasional pengambilalihan partai oleh para pemuda. Di tempat tinggal Peris Pardede di Jalan Kernolong No. 4 Jakarta, Bintang Merah berdomisili untuk sementara waktu pada 1950–1951.

Bintang Merah menjadi media untuk menegaskan garis perjuangan partai dan menghimpun pendukung. Majalah teori partai ini berhenti terbit dan PKI mengambil alih koran dwimingguan Suara Rakjat yang berubah nama menjadi Harian Rakjat.

Di rumah kontrakan Peris Pardede itu pula CC PKI berkantor sementara. Dari sini, Aidit membangun kembali PKI yang hancur setelah Peristiwa Madiun.

Komisi Kontrol

Setelah membangun kembali PKI di Jakarta pada 1950, Peris Pardede kemudian menjadi anggota Pengurus Comite Seksi (CS) PKI Jakarta Raya. Dua tahun kemudian, dia menjadi Komisaris Central Comite (CC) PKI untuk Jawa Barat. Dia kembali memimpin CS PKI Jakarta Raya pada 1954. Lima tahun kemudian, dia naik ke pusat sebagai anggota Sekretariat CC PKI.

Pada 1961, Peris Pardede menjabat posisi penting sebagai ketua Komisi Kontrol CC PKI. Komisi ini bertugas memeriksa dan mengurus pelanggaran anggota terhadap konstitusi partai, disiplin partai, dan moral komunis.

Komisi Kontrol bekerja di bawah dan bertanggung jawab kepada CC PKI. Berdasarkan keputusan Kongres tahun 1959, Komisi Kontrol tidak hanya ada di pusat tapi juga struktur di bawahnya, dari CDB (Comite Daerah Besar) hingga Seksi. Prinsip kerjanya, setiap pelanggaran harus diselesaikan secepatnya agar tak mengganggu pekerjaan partai. Kendati bidang kerjanya luas, Komisi Kontrol lebih kerap menangani pelanggaran rumah tangga anggota, seperti perselingkuhan dan perceraian.

“Di dalam perkawinan, kaum komunis tidak menyukai perceraian. Sebagaimana setiap komunis harus mencintai dan menjunjung tinggi partainya, dia harus juga mencintai istri atau suaminya dan sama-sama menjunjung tinggi nama baik keluarga komunis baik sebagai istri maupun sebagai bapak ataupun ibu,” kata Peris Pardede dalam “Kembangkan Moral Komunis!”, laporan di Kongres PKI tahun 1962.

Baca juga: Gerwani dan Hak Anak

Tak hanya di internal partai, Peris Pardede juga menaruh perhatian kepada soal perkawinan di Indonesia.

Menurut sejarawan Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, para anggota Gerwani di DPR dengan dukungan sejumlah anggota PKI termasuk Peris Pardede menuntut reformasi Undang-Undang Perkawinan. Di DPR, Oemi Sardjono, ketua DPP Gerwani, menegaskan bahwa perjuangan bagi Undang-Undang Perkawinan harus dipandang sebagai perjuangan melengkapi revolusi nasional.

“Di dalam organisasi Gerwani sendiri para anggota melakukan perlawanan terhadap ‘sisa-sisa feodal’ di kalangan para lelaki anggota PKI serta organisasi massa lainnya yang menginginkan istri kedua,” tulis Saskia.

Pendapat Peris Pardede soal perkawinan dapat dibaca dalam tulisannya berjudul “Monogami Sebagai Dasar Perkawinan Jang Demokratis” yang termuat dalam brosur Undang-Undang Perkawinan (Yayasan Pembaruan, 1960). Buku ini mengenai pendirian PKI tentang Undang-Undang Perkawinan. Selain pendapat anggota Fraksi PKI, buku ini juga memuat pendapat Mr. Soeprapto dan Oemi Sardjono dari Fraksi Pembangunan.

Baca juga: Umi Sardjono Pembuka Jalan Gerakan Perempuan

Pada Mei 1965, Peris Pardede dipilih menjadi calon anggota Politbiro sebagai pelaksana tugas-tugas partai. Anggota Politbiro dipilih oleh CC sebagai badan pimpinan tertinggi yang menggariskan tugas-tugas partai. Rupanya ini menjadi akhir kariernya di PKI. Sebab tak lama kemudian terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Menurut sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Sudisman, anggota Politbiro, menyebut Peris Pardede –dan kader-kader tinggi lainnya– sebagai pengkhianat PKI karena memberikan informasi kepada tentara setelah tertangkap. Pengkhianatan itu bisa dilihat sebagai reaksi yang dapat dimengerti terhadap siksaan atau ancaman fisik terhadap orang-orang yang mereka cintai. Namun begitu, beberapa pimpinan partai lainnya, bahkan anggota-anggota biasa, tidak menyerah kepada siksaan.

“Bagi seorang loyalis partai yang keras kepala seperti Hasan [Hasan Raid?], yang juga mengalami siksaan, pengkhianatan para pimpinan memberi petunjuk bahwa partai sudah menjadi terlalu borjuis pada 1965. Partai dipimpin oleh orang-orang yang tidak mampu menghadapi penindasan militer dengan syaraf baja menunjukan kepada Hasan bahwa partai mengandung kekurangan-kekurangan yang fundamental. Para pimpinan mestinya mencapai kedudukan mereka yang tinggi justru karena mereka telah membuktikan keberanian dan pengabdian kepada partai,” tulis Roosa.

Tidak seperti Peristiwa Madiun, kali ini Peris Pardede alias Abdullah ditangkap dan ditahan sejak 29 November 1965. Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) menjatuhkan hukuman mati kepada mantan penjual arloji ini.

TAG

peris pardede dn aidit pki

ARTIKEL TERKAIT

Memburu Njoto Muljono Dukung PKI Secuplik Kisah Walikota Bandung yang Terlibat G30S Gembong PKI Ingin Jadi Tentara Indonesia antara Republik dan Kerajaan Alimin Si Jago Tua PKI Eks Pesindo Sukses Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Sudharmono Bukan PKI D.N. Aidit, Petinggi PKI yang Menutup Diri