Masuk Daftar
My Getplus

Pangeran yang Terbuang

Terlibat pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda, Pangeran Hidayatullah diasingkan ke Cianjur.

Oleh: Hendi Johari | 16 Jul 2018
Makam Pangeran Hidayatullah di Cianjur. Foto: Hendi Jo/Historia.

BAGI mayoritas warga Cianjur, Pangeran Hidayatullah bukanlah nama asing. Selain digunakan sebagai nama seruas jalan di kawasan kota, dia meninggalkan banyak jejak. Salah satunya Kampung Banjar yang saat ini diubah namanya menjadi Jalan Yos Soedarso.

“Ya memang di kawasan itulah kakek buyut saya tinggal setelah dibuang Belanda dari Banjarmasin pada 1862,” ujar Johan Rangga (45), yang akrab dipanggil Bonang.

Menurut Bonang, kendati nama Hidayatullah dikenal khalayak di Cianjur, dia sangsi mereka tahu sejarah hidup kakek buyutnya. Terlebih selama 42 tahun tinggal di tanah pembuangan, sepak terjang Sang Pangeran sangat dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda.

Advertising
Advertising

“Ruang lingkup hidupnya seolah rumah-masjid agung-rumah-masjid agung saja,” ujarnya kepada Historia.

Kisah Hidayatullah yang pernah melawan Belanda juga sangat dirahasiakan di tanah pembuangan. Selain pejabat dan petugas pemerintah Hindia Belanda, hanya bupati Cianjur dan keluarganya yang tahu. Praktis, masyarakat kala itu hanya mengenalnya sebagai ulama kharismatik yang selalu memakai jubah kuning bila pergi beribadah ke Masjid Agung Cianjur.

Kepala Pemberontak

Hidayatullah bukanlah sembarang pangeran. W.A. van Rees, veteran Perang Banjar (menurut versi Belanda berlangsung dari 1859 hingga 1863), menyebutnya sebagai hoofdopstandeling alias kepala pemberontak. “Di antara orang-orang Banjar yang memberontak dialah yang paling berbahaya,” tulis van Rees dalam De Banjermasinche Krijg 1859-1863.

Menurut Gusti Mayur, keterlibatan Hidayatullah dalam Perang Banjar bermula dari campur-tangan pemerintah Hindia Belanda dalam masalah internal Kesultanan Banjar. Secara sepihak, pada 3 November 1857, pemerintah menobatkan Pangeran Tamjidillah sebagai sultan menyusul mangkatnya Sultan Adam Alwasikubillah.

 “Padahal jika mengikuti adat-istiadat, Pangeran Hidayatullah-lah yang berhak atas posisi tersebut,” tulis Mayur dalam Perang Banjar.

Penolakan kalangan istana terhadap Tamjidillah tak dihiraukan Hindia Belanda. Wajar saja karena, dari sekian pangeran Banjar, hanya Tamjidillah-lah yang berani memberikan konsesi pertambangan batu bara kepada orang-orang Belanda. Sebagai catatan, pemerintah Hindia Belanda saat itu bernafsu menguasai batu bara yang terdapat dalam perut bumi Kalimantan Selatan. Selain untuk keperluan industri, mereka membutuhkannya sebagai bahan bakar kapal-kapal perang uap mereka.

Maka, perang besar tak terhindarkan. Demi menghadapi orang-orang Banjar yang dipimpin Hidayatullah, pemerintah tak mau ambil risiko. Menurut van Rees, pada tahap awal saja, mereka mengirimkan 3.000 serdadu, ratusan senjata berat, dan 22 kapal perang ke palagan Banjar. Namun keunggulan teknis persenjataan itu tak membuat Hindia Belanda menang dengan mudah. Mereka justru kewalahan menghadapi kecerdikan taktik perang gerilya dan strategi bumihangus dari orang-orang Banjar.

Ditipu lalu Dibuang

Sadar perang tak tentu ujungnya, Hindia Belanda menawarkan penyelesaian damai. Mereka kemudian menjebak Hidayatullah dalam suatu penangkapan berkedok perundingan. Laiknya nasib Pangeran Diponegoro di tanah Jawa, di tengah perundingan Hidayatullah diringkus secara tiba-tiba.

 “Demikianlah pada 3 Maret 1862 jam 9 malam, kapal Bali membawa Pangeran Hidayatullah dan pengikutnya dari Banjarmasin ke tanah pengasingan di Pulau Jawa,” ujar Mayur.

Sesampainya di Batavia, Hidayat diberangkatkan ke Cianjur, tempat penjara besar bagi dirinya. Di kota yang terletak di kaki Gunung Gemuruh ini, Sang Pangeran sempat memperistri seorang perempuan bangsawan setempat bernama Nyai Etjeuh yang menurunkan silsilah orang Banjar di Cianjur. Pada 24 November 1904, Hidayatullah mangkat dalam usia 82 tahun. Jasadnya dikebumikan di sebuah dataran tinggi yang masuk wilayah Sawahgede.

TAG

cianjur hidayatullah banjar pahlawan

ARTIKEL TERKAIT

Insiden Perobekan Bendera di Bandung yang Terlupakan Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Perjuangan Pasangan Sutomo dan Sulistina dalam Masa Revolusi Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Bangsawan Banjar Kibuli Belanda Pakai Telegram Palsu Delapan Tokoh Kristen dalam Sejarah Perjuangan Kapten Harun Kabir Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Ratu Kalinyamat Menjadi Pahlawan Nasional