Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan batas umur bagi calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun. Namun, syarat usia tersebut tidak mutlak mengikat. Bagi warga negara yang telah berpengalaman menjabat kepala daerah hasil pilkada, boleh maju untuk pemilihan presiden dan wakil presiden meskipun belum genap berusia 40. Ini berarti peluang kaum muda semakin terbuka lebar mengikuti kontestasi pemilihan umum RI-1 dan RI-2.
Nama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, sempat masuk bursa calon wakil presiden (cawapres). Namun, pencalonan Gibran masih tarik-ulur karena usianya belum memenuhi syarat. Saat ini, Gibran berusia 36 tahun dan menjabat sebagai wali kota Solo. Gibran santer diberitakan menjadi cawapres kubu Prabowo Subianto. Jika Gibran maju dan menang, dia akan menjadi wakil presiden termuda sepanjang sejarah Indonesia.
“Merupakan hal yang baik bila ada sosok di bawah 40 tahun yang bisa menjadi pimpinan tertinggi negara seperti posisi presiden dan wakil presiden. Namun, perlu diingat bahwa pemilihan anak muda juga harus mempertimbangkan pengalaman, wawasan, dan pengetahuan yang luas, serta holistik soal dalam dan luar negeri,” kata Insan Praditya Anugrah, dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Terbuka kepada Historia.id.
Baca juga: Buka-Tutup Sistem Pemilu Indonesia
Sepanjang 78 tahun Republik Indonesia (RI) berdiri, tercatat sudah ada 13 wakil presiden. Setengah dari jumlah itu (6) mendampingi Presiden RI ke-2 Soeharto sebagai wakil presiden. Di masa Presiden Sukarno, hanya ada satu wakil presiden. Sementara, pada era reformasi hingga saat ini tercatat enam wakil presiden. Satu orang wakil presiden menjabat dua kali pada periode berbeda (Jusuf Kalla). Dari semuanya tidak ada yang berusia di bawah 40 tahun.
Wakil Presiden RI ke-1 Mohammad Hatta dilantik ketika berusia 43 tahun. Setelah menjabat selama 11 tahun, Bung Hatta mengundurkan diri pada 1956. Posisi wakil presiden kosong hingga Presiden Soeharto berkuasa menggantikan Sukarno. Meski Soeharto menjabat presiden sejak 1968, wakil presidennya baru menjabat pada 1973, setelah pemilihan umum.
Wakil presiden pertama yang mendampingi Soeharto adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X. Ketika dilantik, Sri Sultan berusia 61 tahun. Setelahnya posisi wakil presiden berturut-turut dijabat oleh Adam Malik (61 tahun ketika dilantik), Umar Wirahadikusumah (59 tahun), Sudharmono (61 tahun), Try Sutrisno (58 tahun), dan Bacharuddin Jusuf Habibie (62 tahun). Try Sutrisno menjadi wakil presiden termuda sedangkan yang tertua adalah Habibie. Namun, berbeda dari yang lain, Habibie tidak sampai satu periode menjadi wakil presiden. Dia hanya menjabat selama tiga bulan, kemudian menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri sebagai presiden.
Baca juga: Wacana Wapres RI Ada Dua
Megawati menjadi wakil presiden pertama di era reformasi. Usianya 52 tahun ketika dilantik sebagai wakil presiden mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid. Seperti Habibie, Mega tidak tuntas menjadi wakil presiden. Setelah dua tahun menjabat, Mega menggantikan Abdurrahman Wahid yang dimakzulkan MPR. Presiden Megawati kemudian didampingi oleh Hamzah Haz. Ketika dilantik, usia Hamzah Haz 61 tahun.
Pemilihan umum 2004 dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla. Usia Jusuf Kalla ketika menjabat wakil presiden 62 tahun. Pada periode kedua, SBY didampingi oleh Boediono. Usia Boediono 66 tahun saat dilantik menjadi wakil presiden pada 2009.
Untuk kali kedua, Jusuf Kalla menjadi wakil presiden ketika mendampingi Presiden Joko Widodo pada 2014. Usia Jusuf Kalla 72 tahun saat itu. Pada periode keduanya, Presiden Joko Widodo didampingi KH Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden. Usia Ma’ruf Amin 76 tahun ketika dilantik pada 2019. Angka usia itu sekaligus menempatkannya sebagai yang tertua dalam deretan wakil presiden Indonesia sampai saat ini.
Baca juga: Mengungsikan Bung Hatta Jelang Pemilu Perdana Orba
Dari semuanya, Bung Hatta merupakan wakil presiden termuda sekaligus yang menjabat paling lama. Tanpa diragukan dan tanpa mengucilkan peran yang lain, Hatta adalah wakil presiden dengan warisan terbanyak untuk bangsa dan negara. Di masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Hatta bahkan pernah menjabat perdana menteri yang otoritasnya lebih besar daripada presiden.
“Kalau membaca UUD 1945, di situ tercermin pemikiran Bung Hatta. Bung Hatta aktif memberikan sumbangan pikiran Beliau untuk UUD 1945, dari Preambule-nya sampai aturan peralihannya. Juga Beliau arsitek dari kalimat Pasal 28, 33, 34 yang asli. Isi dari Pasal 18 UUD 1945 yang mencerminkan otonomi daerah saat ini, itupun warisan pemikiran Bung Hatta,” kata Meutia Farida Hatta Swasono, putri sulung Bung Hatta, kepada Historia.id.
Untuk warisan program, lanjut Meutia, di Nusa Tenggara Timur (NTT) ada bendungan yang dibuat atas usul Bung Hatta waktu menjadi wakil presiden. Masyarakat NTT mengenang, berkat bendungan itu, musim kemarau tidak separah sebelum ada bendungan tersebut.
“Kita tahu, sebagian wilayah NTT kurang air. Sekarang sudah diganti dengan bendungan lain yang lebih baik kondisinya,” terang Meutia.
Baca juga: Jalan Try Sutrisno ke Kursi RI 2
Sementara itu, putri bungsu Bung Hatta Halida Nuriah Hatta mengatakan, Bung Hatta bersikap seperti seorang tanpa agenda kepentingan pribadi. Baik ketika sebagai pemimpin pergerakan maupun pejabat tinggi negara. Hatta membuktikan untuk menjadi pemimpin itu rela menderita, rela prihatin, demi tercapainya cita-cita besar.
Sebagai Dwitunggal, sambung Halida, Sukarno dan Hatta telah mempunyai pembagian tugas yang total. Hatta memegang kendali untuk masalah strategis. Sementara itu, Presiden Sukarno fokus pada penggalangan kepada rakyat, yang dalam kajian ilmiah disebut sebagai “solidarity maker”. Bukan hanya mengatasi keadaan pada masanya, sejumlah kebijakan strategis Hatta membentuk jalannya sejarah Indonesia di kemudian hari. Mulai dari Maklumat No. X 1945 tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai legislatif dan perwujudan demokrasi, merancang dan peresmian Palang Merah Indonesia, menandatangani berdirinya TNI pada 5 Oktober 1945, kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi Angkatan Perang pada 1948, persiapan pemerintahan darurat setelah Agresi Militer Belanda ke-2, pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif, dan juga sistem ekonomi koperasi.
“Sebagai pemimpin atau pendamping presiden, warisannya adalah melakukan pikiran visioner dengan langkah yang tepat guna. Caranya dengan memerdekakan diri sendiri dari kepentingan pribadi maupun ambisi pribadi untuk kepentingan pribadi,” tutur Halida.
Baca juga: Menteri Agama Menolak Rumah Negara
Menurut Insan, usia 40 sampai 45 tahun masih tergolong usia muda untuk pimpinan negara. Bung Hatta ketika menjabat di usia 43 tahun, sama seperti Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau atau Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra. Terlepas dari usia yang relatif muda, Hatta memiliki pengetahuan atas proses dekolonisasi yang tengah berlangsung di dunia. Dia mengetahui konstelasi global yang sedang berlangsung masa itu, seperti kemunculan Amerika Serikat sebagai adidaya baru dan meredupnya Inggris sebagai adidaya.
“Dengan pengetahuan global soal konstelasi geopolitik tersebut, maka Hatta pantas berada di posisi pemimpin negara, karena pengetahuannya yang mumpuni,” pungkasnya. *