Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Tan Malaka Ingin Pulang

Perjuangan butuh badan sehat dan uang cukup. Tan Malaka pun pernah meminta izin pulang kepada gubernur jenderal Hindia Belanda karena sakit dan kekurangan uang.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 30 Agt 2023
Tan Malaka tahun 1922. (KITLV).

DARI Belanda, Tan Malaka pergi ke Moskow. Ia tampil sebagai wakil Indonesia dalam kongres keempat Komintern (Komunis Internasional) pada November 1922. Dalam waktu bersamaan diadakan kongres kedua Profintern, himpunan serikat-serikat buruh komunis yang didirikan pada 1921. Kongres Profintern mengusulkan untuk pertama kali agar sebuah konferensi buruh angkutan di negara-negara Pasifik diadakan di Timur Jauh. Konferensi itu akan diselenggarakan di Kanton (kini Guangzhou), Tiongkok.

Pada 1923, Tan Malaka telah berada di Kanton sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Ia diberi kewenangan luas terkait urusan partai dan berhubungan dengan kelompok-kelompok dan tokoh-tokoh di kawasan itu. Ia juga terlibat dalam mengorganisasi Konferensi Buruh Transportasi Pasifik pada Juni 1924.

“Konferensi Buruh Transportasi Pasifik di bawah naungan Profintern adalah pertemuan internasional pertama kaum revolusioner Asia di Asia,” tulis Charles B. McLane dalam Soviet Strategies in Southeast Asia: An Exploration of Eastern Policy Under Lenin and Stalin.

Advertising
Advertising

McLane mencatat, dalam konferensi itu hanya tiga negara yang diwakili (Tiongkok, Jawa-Indonesia, dan Filipina) serta tidak ada lembaga permanen yang dibentuk untuk memastikan hubungan yang dibangun dalam konferensi akan terus berlanjut. Namun, itu adalah sebuah permulaan. Sebuah manifesto diadopsi oleh konferensi yang menyerukan massa buruh di Timur Jauh untuk membentuk serikat-serikat buruh dan berafiliasi dengan “buruh revolusioner dunia”.

Baca juga: Di Balik Gelar Pahlawan Nasional untuk Tan Malaka dan Alimin

Wakil dari PKI dalam konferensi itu adalah Alimin dan Budisutjitro. Tan Malaka memimpin rapat pada hari kedua. Ia juga diminta memimpin organisasi buruh lalu lintas biro Kanton yang baru didirikan. Tugas pertamanya menerbitkan majalah The Dawn sebagai media organisasi.

Di samping itu, Tan Malaka menerbitkan risalahnya, Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1924. “Karena risalah inilah di kemudian hari ia mendapat gelar kehormatan sebagai Bapak Republik Indonesia,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I.

Namun, Tan Malaka menghadapi kendala dalam menjalankan tugasnya. “Karena ia sakit dan kekurangan uang mengakibatkan pekerjaannya tidak berjalan sebagaimana mestinya atau amat susah,” tulis Poeze. “Ia lalu minta persetujuan gubernur jenderal agar diizinkan pulang kembali ke Hindia.”

 

Tan Malaka mengirim surat permohonan kepada gubernur jenderal Hindia Belanda tanggal 29 Agustus 1924. Dalam suratnya, sebagaimana dimuat Harry A. Poeze dalam Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, Tan Malaka memberitahukan bahwa dirinya, yang karena alasan politik dibuang dari Indonesia pada Maret 1922, sekarang berada di Tiongkok dan bekerja sebagai wartawan pada harian-harian Tiongkok dan Filipina sebagai mata pencaharian. Selama tinggal satu tahun di tiga negara Asia yang berlainan, ia tiga kali diserang penyakit parah.

Baca juga: Murba Dukung Demokrasi Terpimpin, Tan Malaka Jadi Pahlawan Nasional

Tan Malaka tidak memberitahukan nama harian yang kira-kira setahun memakai tenaganya, nama negara dan tempat ia sakit, serta nama dokter yang merawatnya. Ia khawatir apabila permohonannya ditolak, mereka akan mendapatkan rintangan dalam pekerjaannya atau bahkan kehilangan mata pencahariannya.

Sekalipun demikian, Tan Malaka memberikan alasan bahwa pernyataan tentang penyakitnya dapat dipercaya. Ia menyebutkan riwayat sakitnya bahwa pada 1915 dan 1916 di Negeri Belanda ia terserang pleuris (radang selaput dada) selama tiga sampai empat bulan, yang mengakibatkan ia terkena radang paru-paru parah di Semarang pada awal tahun 1921.

Selama setahun di Asia, Tan Malaka jatuh sakit untuk keempat kalinya. Dokter yang memeriksanya berpendapat bila Tan tinggal lebih lama di suatu negara asing akan merusak kesehatannya dan karena badannya lemah sulit baginya mendapatkan pekerjaan.

“Karenanya ia memohon kepada pemerintah Hindia Belanda supaya ia karena alasan-alasan kesehatan diizinkan tinggal di Sukabumi atau Salatiga atau di tempat mana saja, asalkan di Jawa,” tulis Poeze.

Baca juga: Hari Ini Adalah Hari Kematian Tan Malaka

Permohonan Tan Malaka ditolak Gubernur Jenderal Dirk Fock. “Karena syarat-syarat yang dibebankannya ternyata terlalu berat, maka karenanya ia mengurungkan niatnya,” tulis Poeze. Tak bisa kembali ke Hindia Belanda, Tan Malaka melanjutkan pergerakannya antara Filipina, Malaka, dan Thailand.

Sementara itu, pemberontakan PKI pada November 1926 dan Januari 1927 berhasil digagalkan pemerintah kolonial Belanda. PKI dilumpuhkan dan dilarang. Tak setuju dengan pemberontakan itu, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok sebagai penerus perjuangan PKI.

Tan Malaka kemudian berangkat untuk menetap di Manila, Filipina. Namun, ia dianggap imigran gelap dan ditangkap polisi. Ia diusir lalu berangkat ke Amoy, Tiongkok Selatan dan bersembunyi di pedesaan.

Baca juga: Ketika Tan Malaka Jadi Orang Tionghoa

Pada 1932, Tan Malaka dalam keadaan sakit dan tanpa uang melapor ke kantor Komintern di Shanghai. Di sini ia bertemu Alimin. “Ia kembali menyatakan kesediaannya untuk bertugas, namun tidak menceritakan kegiatannya dalam Pari. Keberadaan Pari dirahasiakan sehingga Moskow pun tidak tahu,” tulis Poeze.

Tan Malaka mendapat tugas ke Burma (kini Myanmar). Namun, dalam perjalanan menuju Burma, pada Oktober 1932 ia ditangkap agen rahasia Inggris di Hong Kong. Ia kemudian diusir dan kembali ke Amoy.

Setelah Tiongkok dalam pendudukan Jepang pada 1937, Tan Malaka melarikan diri dari Amoy. Ia tiba di Singapura dengan selamat. Selama di Negeri Singa, ia dikira orang Tionghoa dan mengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah Tionghoa. Ketika Jepang menduduki Singapura pada 1942, Tan Malaka akhirnya bisa kembali ke Hindia Belanda.*

TAG

tan malaka

ARTIKEL TERKAIT

Ekstradisi dari Hong Kong? Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi