SEPENINGGAL Sultan Agung, Amangkurat I (1646-1677) memimpin Kerajaan Mataram Islam. Berbeda dari ayahnya, dia menjalankan kekuasaan dengan sewenang-wenang sehingga banyak pihak yang dendam. Dia membantai ulama dan keluarganya, membunuh saudara termudanya (Pangeran Alit), dan membatasi yurisdiksi pengadilan agama yang sudah ada sejak zaman Sultan Agung.
“Cara pemerintahan yang aneh. Orang-orang tua dibunuh demi memberi tempat kepada yang masih muda,” tulis MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, mengutip HJ de Graaf dalam De Vijf Gezantschapsreizen van Rijklof van Goens.
Salah satu yang mendendam kepadanya adalah Kyai Kajoran yang berdiam di daerah Kajoran, sekira 26 kilometer sebelah timur laut keraton Pleret dalam kawasan suci bernama Tembayat. Dalam diri Kyai Kajoran, masih mengalir trah Mataram. Ibunya, Wangsacipta, adalah putri Panembahan Senapati, pendiri dinasti Mataram.
Semula hubungan Kyai Kajoran –kemudian dikenal sebagai Panembahan Rama– dengan Mataram tidak ada masalah. Bahkan, dia pernah mengobati anak Amangkurat I yang sakit keras. Namun, hubungan tersebut terkikis karena kebijakan Amangkurat I yang sewenang-wenang. Sakit hati Kyai Kajoran semakin memuncak ketika anaknya, Wiramenggala, dibunuh Amangkurat I.
Koalisi menumbangkan Amangkurat I pun disusun. Kyai Kajoran mengawinkan putrinya dengan Trunajaya, putra Cakraningrat I dari Madura yang juga mati di tangan Amangkurat I. Dendam Trunajaya bertemu kesumat Kyai Kajoran. Jalan kudeta semakin lempang karena Adipati Anom, anak Amangkurat I, juga tak puas dengan ayahnya. Aliansi Kyai Kajoran-Trunajaya-Adipati Anom pun terjalin –kendati dalam perkembangannya, Adipati Anom meninggalkan kongsi ini.
Kyai Kajoran mengerahkan pasukan yang terdiri dari para santri, dan didukung pasukan yang loyal kepada Adipati Anom. Bahkan Pangeran Purbaya, paman Amangkurat I, membelot dan mendukung Kyai Kajoran. Dalam sekejap, Keraton Pleret dikepung pasukan Kajoran.
“2 Juni 1677, Keraton Pleret sudah direbut oleh pasukan Kajoran yang dibantu oleh kedatangan pasukan Trunajaya. Sunan Amangkurat I melarikan diri ke Batavia dan meminta bantuan kepada Belanda,” tulis Adaby Darban dalam The Fight of Kyai Kajoran Against Susuhunan Amangkurat First. Dalam pelariannya itu, Amangkurat menemui ajal di desa Tegalwangi, sebuah daerah sekitar Tegal, pada 1677.
Setelah berhasil menjebol Keraton Pleret, Kyai Kajoran tidak berkeinginan menguasai Mataram. Dia kembali ke Tembayat. Namun pergolakan belum berhenti. Pasukan Belanda beserta Amangkurat II, pengganti Amangkurat I, mengendus jejak Kyai Kajoran yang menarik diri ke Tembayat.
Kyai Kajoran beserta pasukannya mundur ke Gunung Kidul. Namun, di sinilah akhir perlawanannya. Dalam sebuah pengepungan di desa Melambang pada 14 September 1679, tulis HJ de Graaf dalam Het Kadjoran Vraagstuk (Masalah Kajoran) yang dialihbahasakan Suwandi, Kyai Kajoran dihabisi pasukan yang dipimpin Jan Albert Sloot. Dia dimakamkan di daerah Wedi Kabupaten Klaten. Makamnya hingga kini ramai didatangi peziarah.
[pages]