Masuk Daftar
My Getplus

Dilema Nasution

Dua perintah berbeda terkait nasib Bandung dikeluarkan secara bersamaan oleh pusat. Sempat menimbulkan konflik internal di kalangan TRI Jawa Barat.

Oleh: Hendi Johari | 26 Mar 2019
Kolonel A.H. Nasution di tegah perwira-perwira Belanda. (Arsip Nasional Belanda).

MENJELANG senjakala, Omon Abdurachman kerap mengisahkan “perseteruannya” dengan A.H. Nasution pada awal revolusi berkecamuk di Bandung. Omon yang saat itu masih berpangkat letnan kolonel dan merupakan komandan Resimen ke-8 TRI (Tentara Republik Indonesia) membawahi Bandung dan sekitarnya, sempat melakukan aksi desersi karena merasa tidak setuju dengan keputusan Komandan Divisi III TRI Kolonel A.H. Nasution.

“Ya waktu itu saya yang masih muda tak habis pikir, mengapa komandan divisi mau menyerahkan begitu saja kota Bandung kepada Inggris,” kenang lelaki yang pernah memimpin kompi pasukan PETA (Pembela Tanah Air) di Pandeglang tersebut.

Baca juga: Kisah di Balik Bandung Lautan Api

Advertising
Advertising

Dikisahkan oleh Mohammad Rivai (sejawat Omon di Divisi Siliwangi), kedua maung ngora (artinya: harimau muda, sebutan untuk anggota Divisi Siliwangi era revolusi) sempat berdebat keras dan saling gebrak meja. Bahkan kata Rivai, Omon sempat mencopot tanda pangkatnya sendiri di depan Nasution.

“Baik Kolonel, kalau kami tidak boleh melaksanakan pembakaran dan perusakan, maka sekarang juga saya meletakan jabatan sebagai Komandan Resimen Kedelapan, “ demikian seperti dikisahkan Rivai dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dua Perintah

Bandung, 23 Maret 1946. Sebuah pesawat angkut milik RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) melayang-layang di atas Kota Bandung. Alih-alih melemparkan bom, justru dakota tersebut menurunkan ribuan surat ultimatum yang langsung ditandatangani oleh Panglima Tentara Inggris untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali Mayor Jenderal D.C. Hawtorn.

Isinya, ancaman agar orang-orang Indonesia bersenjata harus mengosongkan Bandung selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946, jam 24.00 dan wajib mundur sejauh 11 km dari tanda kilometer nol,” ungkap  John RW Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946.

Terkait dengan ultimatum tersebut, Perdana Menteri  Sutan Sjahrir memerintahkan agar TRI mengikutinya. Kepada Panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita dan Kolonel A.H. Nasution, Sjahrir menyatakan agar TRI bersikap taktis dan tidak menghambur-hamburkan kekuatan untuk melawan Inggris yang sebenarnya bukan musuh Republik Indonesia.

“Kerjakan saja. TRI kita adalah modal yang harus dipelihara, jangan sampai hancur dahulu. Harus kita bangun untuk kelak melawan NICA,” ujarnya seperti dikutip A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid III: Diplomasi Sambil Bertempur.

Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku

Hal sebaliknya justru diserukan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Lewat MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta, diserukan agar TRI Jawa Barat menolak ultimatum Inggris tersebut.

“Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan,” demikian bunyi kawat dari MBT itu.

Sebagai bawahan, Nasution menghadapi dilema. Sementara waktu terus berjalan, para komandan di lapangan secepatnya meminta dia untuk membuat keputusan.

Didi-MBT vs Nasution

Sekira jam 14.00 pada 24 Maret 1946, Nasution membuat suatu keputusan yang berisi empat perintah Panglima Divisi III TRI. Perintah itu adalah:

  1. Semua pegawai dan rakyat harus keluar kota sebelum jam 24.00.
  2. TRI harus menjalankan aksi bumihangus terhadap semua bangunan yang ada.
  3. Sesudah matahari terbenam, Bandung Utara harus diserang dari utara dan sedapat mungkin harus pula dijalankan aksi bumi hangus di sana. Begitu pula dari selatan harus ada penyusupan ke utara.
  4. Pos komando dipindahkan ke Kulalet (Dayeuhkolot)

Perintah Nasution sepertinya dibuat tanpa koordinasi dengan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita. Sementara Nasution memerintahkan pelaksanaan empat klausul itu, Didi secara tegas menolak perintah Hawtorn. Kepada Letnan Kolonel van der Post, ajudan Hawtorn) yang sempat mengancam dengan pamer kekuatan alat militer di sepanjang kota Bandung, Didi menyatakan bahwa mundur dari kota Bandung adalah sebuah kemustahilan bagi TRI.

“Tidak bisa! Saya tidak bisa menyuruh mereka mundur dari kota Bandung!” ungkap Didi seperti dikisahkan dalam biografinya Didi Kartasasmita, Pengabdian bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono.

Baca juga: Kekecewaan Didi kepada Nasution

Sejarah mencatat, justru perintah Nasutionlah yang dilaksanakan di lapangan. Soal itu sempat membuat berang Didi. Usai pembumihangusan Bandung, Didi memerintahkan Kolonel Hidajat Martaatmadja untuk “mengadili” Nasution.

“Panglima Komandemen dan MBT harus tahu… Saya tak mungkin mengorbankan 4 batalyon saya dengan persenjataan tak lebih dari 100 pucuk senapan untuk menangkis sebuah divisi Inggris berjumlah 12.000 prajurit itu ,” demikian tangkis Nasution kepada Hidajat.

Perseteruan Didi dan MBT dengan Nasution kemudian ditengahi oleh Kepala Staf TRI Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Dalam suatu kunjungan ke markas Komandemen Jawa Barat di Purwakarta pada Mei 1946, Oerip menyatakan bahwa keputusan yang telah diambil Nasution terkait Bandung adalah keputusan terbaik.

TAG

Militer

ARTIKEL TERKAIT

Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik Komandan Belanda Tewas di Korea Gerilyawan RI Disergap Sewaktu Mandi Sihir Api Petir dari Meriam Majapahit Taruna Cilik Zaman Belanda Sejarah Prajurit Ada Rolls-Royce di Medan Laga Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Para Pejuang Bugis-Makassar dalam Serangan Umum