PADA 3 Desember 2018, Babeh Haikal Hassan mencuit: “Aksi 2018 ini mrpkn ultah seratus tahun dari aksi thn 1918, saat boedi oetomo sang penghina Nabi Muhammad (dinobatkan sbg pahlawan?) didemo besar2an oleh semua elemen. Ingat, boedi oetomo bilang Nabi Muhammad pemabuk & pezina dlm buletin Djawi Hisworo, 11 Jan 1918.”
Banyak yang setuju dengan cuitan keliru itu. Padahal, penghina Nabi Muhammad bukan Boedi Oetomo (organisasi bukan orang) tapi Djojodikoro yang menulis “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” di Djawi Hiswara, 9 dan 11 Januari 1918. Tulisan itu dimuat oleh redakturnya, Martodharsono. Tulisan itu menyulut kemarahan dan demonstrasi karena memuat kalimat “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. Gin, minoem opium dan kadang soeka mengisep opium.”
Baca juga: Penistaan agama Islam pada masa lalu
Setelah viral dan banyak yang mengoreksi, Babe Haikal Hassan kembali mencuit: “1. Lagi baca-baca ulang ttg boedi oetomo...Confirm, 100% merupakan ‘kompetitor’ gerakan Islam dan menghina Nabi Muhammad....” dengan menyebut sumber: “(Api Sejarah - Ahmad mansur suryanegara), (Sang Pemula - Pramoedya ananta toer), (Rangkaian Mutu Manikam - Amir Hamzah Wirjosukarto).”
Boedi Oetomo dan Islam
Boedi Oetomo didirikan oleh para pelajar Stovia (Sekolah Kedokteran untuk Bumiputera) pada 20 Mei 1908. Namun kemudian kepemimpinannya diambil alih kalangan priayi. Dalam kongres pertamanya diputuskan bahwa Boedi Oetomo akan tampil sebagai sebuah organisasi sosial-budaya, tetapi apabila perlu akan menempuh cara-cara politik untuk mencapai cita-citanya. Namun, sebagian besar peserta menafsirkan bahwa Boedi Oetomo bukanlah organisasi politik. Kendati demikian, tanggal pendirian Boedi Oetomo kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Baca juga: Boedi Oetomo di bulan puasa
Boedi Oetomo juga tidak akan mencampuri urusan adat. Kendati netral terhadap agama, usulan untuk merebut simpati dari kalangan umat Islam pernah disampaikan Mohammad Tahir pada kongres kedua, Oktober 1909. Dia mengusulkan agar masjid-masjid di Batavia diberi bantuan keuangan.
Menurut Akira Nagazumi, sejarawan asal Jepang, usul yang tidak pernah dilaksanakan oleh pimpinan organisasi itu delapan tahun kemudian dalam kongres (5-6 Juli 1917), bukan hanya didengungkan kembali melainkan diperluas. Sebab para pimpinan menyimpulkan salah satu alasan kegagalan Boedi Oetomo memperoleh dukungan massa adalah sikapnya yang netral terhadap agama. Untuk pertama kalinya para pemimpin Boedi Oetomo dengan terbuka mempersoalkan sikap netral terhadap agama karena dihadapkan dengan keberhasilan luar biasa Sarekat Islam yang dengan terang-terangan mendukung agama Islam.
Baca juga: Gagasan awal pendirian Boedi Oetomo
Kepada sidang kongres, Badan Pengurus mengajukan: “Boedi Oetomo bertujuan menyokong Islam tanpa mengganggu kebebasan beragama, membuat peraturan tentang anggaran masjid untuk membayar penghulu (pejabat pimpinan masjid) dan personel masjid lainnya, mengurus lebih baik pesantren (pusat-pusat pendidikan agama untuk mempelajari Islam tingkat lanjutan), dan mendirikan lembaga-lembaga yang memberikan pendidikan tingkat menengah dalam tradisi Islam dan mata pelajaran lain sehubungan dengannya.”
“Dengan demikian, jelaslah usul untuk memasuki dunia pendidikan pesantren, dan pendidikan Islam tingkat lanjutan, menunjukkan tujuan pengurus yang hendak meningkatkan persaingannya terhadap Sarekat Islam,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Boedi Oetomo 1908-1918. Buku ini diangkat dari disertasinya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun 1967.
Sayangnya, usulan Badan Pengurus itu tak diterima peserta kongres. Mereka ingin tetap mempertahankan sikap netral terhadap agama. Kongres pun memutuskan “mengenai masalah agama, organisasi berniat menghormati dipertahankannya kebebasan beragama.”
Soetomo, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama
Kendati secara organisasi netral dan mendukung kebebasan beragama, Boedi Oetomo berperan dalam mendorong pendirian organisasi Islam Muhammadiyah.
“Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kiai Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Boedi Oetomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen,” tulis Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Buku ini berasal dari disertasinya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun 1963.
Sementara itu, pendiri Boedi Oetomo yang dekat dengan Muhammadiyah adalah dr. Soetomo. Setelah keluar dari Boedi Oetomo, dia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) di Surabaya pada 11 Januari 1924. Dua tokoh organisasi Islam terkemuka yang bergabung dengan ISC adalah KH Mas Mansyur (ketua Muhammadiyah 1937-1943) dan KH Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Nahdlatul Ulama).
Menurut Darul Aqsha dalam biografi Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran, Mas Mansyur bersahabat baik dengan Soetomo. Kedua tokoh ini kerap terlibat diskusi mengenai filsafat dan pergerakan. Selain ISC, Soetomo juga mendirikan Yayasan Kuliah Islam Surabaya. Ini menunjukkan perhatiannya terhadap pengembangan pemikiran Islam.
Baca juga: Cerita KH Mas Mansyur memelihara anjing
Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga, menyebut Soetomo dan pengurus Boedi Oetomo lain, seperti Dwidjosewojo dan Sosrosugondo, terlibat aktif dalam berbagai kegiatan Muhammadiyah.
“Dr. Soetomo-lah yang memelopori berdirinya Rumah Sakit Muhammadiyah yang pertama di Yogyakarta pada 1923 (kini dikenal sebagai RS PKU). Satu tahun kemudian, dr. Soetomo membuka lembaga yang sama di Surabaya,” tulis Abdul Munir Mulkhan dalam Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas.
Selain dengan Muhammadiyah, Soetomo juga dekat dengan kalangan Nahdlatul Ulama. Dia punya gagasan menarik tentang pesantren.
“Apresiasi positif dr. Soetomo terhadap pesantren karena relasi sosial dengan individu-individu yang kemudian dikenal sebagai pemrakarsa NU, yaitu Kiai Abdul Wahab Chasbullah, yang pernah terlibat aktif di ISC,” tulis Choirotun Chisaan dalam Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan. Buku ini diangkat dari tesisnya di program magister religi dan budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Baca juga: Sebut kafir, kiai NU diadili
Menurut Soetomo pesantren yang menggunakan sistem pondok membuahkan keuntungan ganda: memberi pengajaran yang murah sekaligus memelihara jiwa dan sukma anak didik. Dalam konteks inilah dia mendorong pengadaan sekolah-sekolah dengan menggunakan sistem pondok atau pesantren terutama di kota-kota besar.
“Nilai lebih pesantren, demikian dr. Soetomo menekankan, terletak pada fungsinya sebagai penyebar kecerdasan batin,” tulis Choirotun Chisaan. “Bagi dr. Soetomo, pesantren yang dicitrakan ‘Timur’ sudah seharusnya hadir di kota-kota besar. Hal itu dimaksudkan untuk menjadi alternatif dan imbangan atas keberadaan sekolah-sekolah yang didominasi oleh sistem pengajaran yang dicitrakan ‘Barat’.”