OBOR Asian Games 2018 telah dinyalakan. Sumber apinya diambil dari api abadi di Stadion Nasional Dhyan Chand, New Delhi, India dan disatukan dengan api Mrapen, Jawa Tengah. Selama 35 hari, obor ini akan diarak sepanjang 18.000 km di 54 kota di 18 provinsi di Indonesia. Pejabat pemerintah, media massa, para atlet serta masyarakat menyambutnya dengan antusias. Pawai obor ini mengingatkan pada pawai obor Asian Games tahun 1962 yang juga diadakan di Indonesia.
Kendati minim informasi, pawai obor Asian Games 1962 meninggalkan kesan mendalam di benak publik kala itu. Media massa di berbagai daerah memberitakannya, masyarakat memperbincangkannya.
Berbeda dari api Asian Games 2018, api obor Asian Games 1962 murni berasal dari Indonesia, tepatnya dari sumber api di Desa Majakerta, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tempat itu dipilih setelah Kolonel Latip selaku perwakilan Organizing Committee Asian Games menemukannya ketika mencari sumber api untuk obor Asian Games 1962.
Walau hanya bersifat simbolis, pawai obor Asian Games 1962 memiliki peran dan makna penting bagi Indonesia sebagai tuan rumah. Para peminat olahraga se-Asia akan membandingkan Asian Games dengan Olimpiade, sebuah ajang olahraga yang juga terkenal dengan tradisi pawai obornya.
Panitia Asian Games 1962 menganggap pawai obor merupakan kesempatan istimewa untuk mempersatukan pejabat pemerintah, atlet, dan masyarakat dalam satu semangat: semangat olahraga. Keberhasilan pawai obor akan menunjukkan optimalnya persiapan yang dilakukan tuan rumah, tak hanya untuk urusan teknis seperti fasilitas olahraga dan penginapan atlet tapi juga dalam hal yang sifatnya seremonial.
Oleh karena itu, panitia mempersiapkan pawai obor dengan detail. Prosedur pembawaan obor disusun secara cermat sehingga menarik secara visual dan efisien secara teknis.
Panitia menunjuk Kogor asal Jawa Barat sebagai pembuat obor. Obor dibuat dari bahan seng berisi lilin dan minyak tanah. Obor itu dibawa bergantian oleh para atlet dari berbagai cabang dan daerah yang ditunjuk. "Api abadi obor Asian Games yang dibawa secara beranting telah dilatih secara paripurna sejak tanggal 9 s/d 12 Agustus yang lalu dengan sukses oleh Biro Urusan Protokol Organizing Committee Asian Games IV," tulis Varia, Agustus 1962.
Pesepakbola Witarsa ditunjuk menjadi pelari pertama pembawa obor. Sementara, pebulutangkis Olich Solichin ditunjuk sebagai pelari terakhir.
Saat hari pengambilan api di Majakerta, 9 Agustus 1962, para tokoh masyarakat Indramayu, perwakilan Komando Gerakan Olahraga (Kogor) Jawa Barat, perwakilan OC Asian Games, para atlet berbagai cabang olahraga menghadirinya. Masyarakat antusias menunggu di pinggir jalan. "Wakil Residen Cirebon, Bupati Widagdo, yang mewakili Gubernur Jawa Barat menyulut obor Asian Games dari sumur api di Majakerta," sambung Varia.
Pukul 15.40 WIB, obor itu dibawa Witarsa menuju Jatibarang sejauh 24 km. dengan didampingi pembawa bendera di kiri-kanannya dan 12 pelari di belakangnya. Total ada 48 pelari yang bergantian membawa obor itu antara Majakerta-Jatibarang. Rombongan pembawa obor yang berlari dengan teratur dan dilengkapi dengan berbagai atribut bernuansa Indonesia itu menjadi pemandangan yang menyentuh sentimen nasionalisme awak media dan masyarakat yang menonton.
Obor tiba di Bandung tanggal 13 Agustus 1962 pukul 22.15 WIB. Penyerahterimaan obor dilakukan dengan sebuah upacara resmi di Gubernuran Jawa Barat. Sebagai pelari terakhir dari Kabupaten Bandung, Bupati Dt. II Bandung Memed Ardiwilaga menyerahkan obor itu kepada Walikota Bandung R. Priatnakusumah. Masyarakat menontonnya dengan berkumpul di tepi jalan mulai dari perbatasan hingga ke dalam kota. Malamnya, obor diinapkan di Balai Kotapraja Bandung.
Semalam berada di Bandung, obor kembali melanjutkan perjalanan, ke Sukabumi. Jam 07.00 WIB tanggal 14 Agustus 1962 diadakan upacara pelepasan obor di halaman Kotapraja Bandung. Para olahragawati berbaris sembari memegang bendera. Obor dibawa secara estafet dengan walikota Bandung di posisi terdepan. Di momen itu, para peserta upacara bersama-sama memekikkan “Hidup Asian Games” berkali-kali, yang secara psikologis mengokohkan semangat untuk menyukseskan Asian Games.
Di Jakarta, pawai obor mendapat sambutan luar biasa. Acara dilangsungkan di Balaikota. Para anggota pramuka, sesuai instruksi Gubernur Sumarno, dilibatkan dalam acara itu. “Beliau menekankan kewajiban Pramuka dalam pembangunan Negara dan bangsa serta turut serta mengisi Trikora, lebih-lebih menghadapi Asian Games ke-IV yang akan datang,” tulis Madjalah Pemimpin Pramuka, Vol. 1. 1962.
Obor Asian Games 1962 menempuh jarak total 470 km. Rute yang dilewatinya mencakup Majakerta-Jatibarang-Bandung-Sukabumi-Bogor-Gandaria (desa perbatasan Bogor dan Jakarta)-Jakarta.
Dengan pawai obor keliling daerah itu, panitia Asian Games berhasil memperkenalkan para atlet Indonesia ke audiens dalam negeri maupun ke dunia internasional. Rute pawai yang melibatkan para atlet dari berbagai cabang olahraga itu tak hanya melewati kota besar tapi juga ke desa-desa sehingga membuat warga desa mengenal para atlet yang mewakili negeri mereka. Ini mendorong mereka ikut meramaikan perhelatan Asian Games dengan cara mereka sendiri walaupun mereka tidak menonton langsung di Jakarta.
Pawai obor mendorong masyarakat daerah setia berkumpul di tepi jalan guna menyambut para pembawa pembawa obor dan kemudian mendengarkan siaran RRI, menonton siaran TVRI (yang dibuat untuk menyiarkan Asian Games), dan membaca berita perkembangan Asian Games di berbagai koran. Pawai obor menyampaikan pesan bahwa Asian Games bukan hanya pesta warga Jakarta tapi juga perayaan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Penulis adalah dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, Ph.D. di Universiteit van Amsterdam.
Baca tulisan terkait: Majakerta yang Dilupa