BEGITU Surat Perintah 11 Maret turun dari Presiden Sukarno pada 1966, Letnan Jenderal TNI Soeharto langsung bergerak cepat. Sebagai pengemban amanah, kali pertama yang dia lakukan adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Belakangan, aksi Soeharto ini memunculkan salah satu bencana kemanusiaan terbesar: sekitar 500.000 (ada yang menyebut 2 juta) orang yang dituduh anggota PKI terbantai di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali dan Nusa Tenggara Timur.
Namun, tak banyak orang tahu, jika 18 tahun sebelumnya, Soeharto nyaris dibunuh oleh para prajurit Divisi Siliwangi gegara dicurigai sebagai perwira yang pro-PKI. Hal ini sempat terekam dalam sebuah dokumen pribadi milik almarhum Kolonel (Purn.) Omon Abdurrachman berjudul Menoempas Pemberontakan PKI 1948, yang saat berpangkat mayor itu menjabat wakil komandan Brigade ke-13 Kesatuan Reserve Umum X Divisi Siliwangi.
Baca juga: Musso mengusung "Jalan Baru" untuk mendirikan Republik Soviet di Indonesia
Omon berkisah, suatu senja pada akhir September 1948, di tengah ketegangan antara Divisi Siliwangi yang pro pemerintahan Mohammad Hatta dengan Divisi Panembahan Senopati yang bersimpati kepada FDR (Front Demokrasi Rakyat yang sebagian besar diisi para aktivis PKI), salah seorang anak buahnya yakni Kapten Imam Sjafi’i (kelak menjadi menteri urusan keamanan di era Kabinet 100 Menteri) melapor bahwa pasukannya telah meringkus seorang “letnan kolonel PKI” di dalam kota Surakarta.
“Pak, saya menangkap overste PKI, apa saya bereskan saja?” ujar Sjafi'i.
Omon yang harus berhati-hati dalam melakukan tindakan, tidak serta merta setuju dengan usulan Sjafi’i. Dengan tegas, dia melarang tindakan gegabah itu dan memerintahkan sang kapten untuk membawa “perwira PKI” ke hadapannya.
Betapa terkejutnya Omon, begitu melihat yang dibawa Sjafi’i adalah Letnan Kolonel Soeharto, yang dalam dokumen itu dia sebut sebagai Komandan Resimen Yogyakarta. Selanjutnya secara sopan, Omon menginterogasi Soeharto dan menanyakan maksud kehadirannya di Surakarta.
Dalam keterangannya, Soeharto menyatakan bahwa dirinya baru menghadiri undangan rapat konferensi para pimpinan TNI yang diselenggarakan oleh Kolonel Djokosujono, salah satu tokoh FDR, di Balai Kota Madiun pada 24 September 1948.
“Apakah overste juga merupakan anggota FDR?” tanya Omon penuh selidik.
“Bukan, saya komandan resimen TNI di Yogya. Tapi saya datang karena memang diundang oleh mereka,” jawab Soeharto.
“Komandan kami (Letnan Kolonel Sadikin), juga diundang mereka. Tapi beliau tidak pergi karena sama sekali bukan simpatisan,” cecar Omon.
“Saya pergi atas perintah Panglima Besar, Pak Dirman,” kata Soeharto.
“Adakah surat perintahnya?”
“Ada.”
“Bolehkah saya melihatnya?”
“Boleh,” ujar Soeharto, seraya memberikan sepucuk surat kepada Omon.
Begitu melihat isi surat keterangan yang langsung ditandatangani oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, Omon baru yakin bahwa Soeharto bukan bagian dari FDR. Setelah minta maaf, dia lantas memerintahkan Sjafi’i untuk mengantar Soeharto ke perbatasan Surakarta-Yogyakarta hingga selamat.
Soal penangkapan itu disebut juga oleh Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Namun, peristiwa penangkapan itu, menurut sejarawan Harry A.Poeze, disebut Soeharto secara selintas saja. “Agak kurang dramatis,” ujar ahli sejarah Indonesia asal Belanda itu.
Dalam karyanya, Madiun 1948: PKI Bergerak, Poeze juga membenarkan kedatangan Soeharto ke Madiun atas perintah Soedirman. Tujuannya, selain menyelidiki situasi Madiun pasca insiden 18 September 1948, juga mengemban misi mencegah “perwira kesayangan Soedirman” Letnan Kolonel Soeadi Soeromihardjo bergabung dengan FDR. Bahkan lebih jauh diungkapkan oleh Poeze bahwa setiba di Madiun, Soeharto sempat berdiskusi dengan Musso dan bertemu dengan Soemarsono, tokoh pemuda FDR.
Baca juga: Soemarsono dalam Pertempuran Surabaya
Kepada Historia, Soemarsono pernah mengakui pertemuan itu. Bukan sekadar bertemu, dia malah mengajak Soeharto untuk berkeliling Madiun dan membuktikan sendiri kondisi kota di Jawa Timur itu aman-aman saja: tak ada banjir darah, penjara penuh sesak dan pemerintah ala Uni Soviet.
“Soeharto percaya bahwa di Madiun sama sekali tidak ada ‘kejadian-kejadian yang tak bisa ditenggang dan kejam’,” ujar Poeze.
Baca juga: Tak terima kasus korupsinya dibeberkan, Soeharto penjarakan Pranoto dengan dalih terlibat G30S