Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) mengakibatkan gugurnya enam jenderal, salah satunya Jenderal Ahmad Yani, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad).
Pada 2 Oktober 1965, Presiden Sukarno mengangkat Mayjen TNI Pranoto Reksosamodra, Asisten III Men/Pangad bidang personalia, sebagai care-taker Menpangad untuk urusan sehari-hari. Pimpinan AD langsung dipegang Presiden/Panglima Tertinggi Sukarno.
Sukarno tidak memilih tiga nama lainnya karena Mayjen Soeharto dianggap terlalu keras kepala, Mayjen TNI Moersjid suka berkelahi, dan Mayjen TNI Basuki Rachmat tidak begitu sehat.
Sukarno memilih Pranoto karena dia mantan Panglima Divisi Diponegoro Jawa Tengah yang diharapkan dapat mengendalikan anggota divisi yang terlibat G30S.
Menurut Ben Anderson dan Ruth McVey dalam A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia, biasa disebut Cornell Paper, “Pranoto adalah mantan komandan Divisi Diponegoro yang pendiam, tidak ambisius, dengan penampilan sebagai prajurit biasa, tanpa musuh berat pada masa itu.”
Baca juga: Pranoto Menamai Anak Pertama dari Nama Anak Buah
Dalam surat kepada istrinya, Dewi Sukarno, 3 Oktober 1965, Sukarno beralasan, “Anggota MBAD Pranoto agak lemah, tetapi dia satu-satunya orang yang dapat bergaul dengan golongan kiri dan kanan.”
Sukarno memang menaruh kepercayaan kepada Pranoto seperti tertulis dalam memonya: “Kol. Pranoto, Kerdjalah baik2 untuk negara. Bapak pertjaja penuh kepadamu.”
Pada 16 Oktober 1965, Soeharto diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dengan membentuk susunan stafnya sendiri. Dia memegang kendali penuh kekuasaan.
Pada 16 Februari 1966, Soeharto memerintahkan menangkap Pranoto dengan tuduhan terlibat G30S. Pranoto ditahan di Rumah Tahanan Militer Blok P Kebayoran Baru Jakarta Selatan, kemudian dipindahkan ke Inrehab Nirbaya, dan terakhir di Rumah Tahanan Boedi Oetomo.
Baca juga: Pranoto Cerita Pawang Ular Jenderal Soedirman
Pranoto diduga ditahan bukan karena terlibat G30S, tetapi karena dia membeberkan kasus korupsi Soeharto ketika menjadi Panglima Divisi Diponegoro kepada tim penelitian dan inspeksi di bidang Finec (Financial & Economy) bentukan KSAD Jenderal AH Nasution.
“Peristiwa korupsi atau manipulasi keuangan dalam masa pimpinan Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jawa Tengah di sekitar tahun 1958, terjadi saat Peperda Jawa Tengah masih dalam kepemimpinan Kolonel Soeharto,” kata Pranoto dalam Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra suntingan Imelda Bachtiar. Buku ini merupakan catatan Pranoto selama ditahan di Nirbaya (1969-1979).
Baca juga: Liem Sioe Liong Sang Taipan Mi Instan
Pranoto menyebutkan penyelewengan keuangan itu berupa barter liar, monopoli cengkeh dari asosiasi gabungan Pabrik-pabrik Rokok Kretek Jawa Tengah, penjualan besi tua yang disponsori Liem Sioe Liong, Oei Tek Young, dan Bob Hassan.
“Penyelewengan ini menjadi titik-titik kelemahan Kolonel Soeharto dalam kepemimpinan Peperda Jawa Tengah,” kata Pranoto.
Terbongkarnya kasus tersebut membuat Soeharto dicopot dari jabatannya sebagai Panglima Divisi Diponegoro dan digantikan Pranoto pada 1959. Soeharto juga diperintahkan sekolah ke Seskoad Bandung. Setelah keluar pada 1961, Soeharto menjadi Panglima Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad), kemudian jadi Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Baca juga: Pranoto dan Empat Jenderal yang "Dimatikan" Soeharto
Letjen TNI Gatot Subroto pernah mendorong Pranoto dan Soeharto berdamai. “Kami berdua terpaksa bersalaman,” ujar Pranoto, “betapapun di hati masing-masing telah terasa hambar.”
Namun, Soeharto lebih dari sekadar hambar. Dia masih tetap merasa dipermalukan. Sampai tiba saatnya, dia dapat mengobati rasa malunya itu dengan memenjarakan Pranoto selama 15 tahun. Pranoto bebas pada 16 Februari 1981. Dia meninggal pada 9 Juni 1992 dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.