Masuk Daftar
My Getplus

Enampuluh Tahun KAA Membahas Palestina

Pembahasan mengenai kemerdekaan Palestina sudah menjadi agenda utama KAA 1955. Menimbulkan perselisihan pendapat di kalangan delegasinya. 

Oleh: Muhammad Husnil | 23 Apr 2015
Mohammad Fadhel Jamali, ketua delegasi dan menteri luar negeri Irak, di KAA 1955. Foto: David Chaner/frankbuchman.info.

PRESIDEN Joko Widodo kembali menyatakan dukungan kepada kemerdekaan Palestina. Kali ini, dalam pidato pembukaan pertemuan Puncak Bisnis Asia Afrika di Jakarta Convention Center, 23 April 2015, yang menjadi bagian dari rangkaian peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA).

Jokowi menandaskan, “Kita dan dunia masih berutang kepada rakyat Palestina. Dunia tidak berdaya menyaksikan penderitaan rakyat Palestina. Kita tidak boleh berpaling dari penderitan rakyat Palestina. Kita harus mendukung sebuah negara Palestina yang merdeka.”

Sehari sebelumnya, Jokowi bertemu Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah, yang menyebut Jokowi sebagai sahabat bangsa Palestina. Rami tersanjung dengan dukungan bangsa Indonesia dan komitmen Presiden Jokowi, yang sejak kampanyenya telah menyatakan mendukung kemerdekaan Palestina.

Advertising
Advertising

Soal kemerdekaan Palestina sudah jadi agenda pembahasan dalam KAA 1955. Delegasi Mesir yang dipimpin Gamal Abdul Nasser mendukung upaya kemerdekaan Palestina. Nasser, yang terlibat dalam Perang Arab melawan Israel pada 1948, menuding negara-negara besar yang sering mengingkari keputusan PBB tentang hak asasi manusia, seperti yang terjadi di Palestina, Afrika Utara, dan Afrika Selatan.

Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal KAA, mengisahkan lebih lanjut ihwal Palestina ini dalam The Bandung Connection, Konferensi Asia Afrika di Bandung Tahun 1955. Menurut pengamatannya, pembahasan Palestina ini menyerempet ke akar persoalan: zionisme. Pembahasan itu tak pelak menimbulkan perselisihan pendapat pada beberapa delegasi KAA.

Mohammad Fadhel Jamali, ketua delegasi Irak, menyamakan bahaya zionisme dengan kolonialisme dan komunisme. “Zionisme adalah bab terakhir dari buku kolonialisme kuno. Itu adalah salah satu bab paling gelap dan hitam dalam sejarah manusia... Zionisme dengan adanya negara Israel telah menambah segala keburukan itu. Zionisme Israel...mengakibatkan lebih dari satu juta rakyat Arab Palestina, baik yang Islam maupun Kristen, menjadi papa sengsara dan tak bertempat tinggal,” katanya, sebagaimana dikutip Cak Roes, panggilan akrab Roeslan Abdulgani.  

Meski semua delegasi menyetujui kemerdekaan Palestina, pernyataan Fadhel itu sempat memanaskan suasana rapat tertutup bidang politik. Bermula dari Fadhel inilah delegasi Arab, Pakistan, Afghanistan, dan Iran mengutuk zionisme internasional. Sebagaimana Nasser, mereka juga mengeluarkan segala unek-unek dan kedongkolan mereka terhadap pembangkangan Israel atas PBB. Karena itu mereka menghendaki adanya sikap politik lebih kongkret dari KAA terhadap Israel.

Namun Burma dan India mengeluarkan suara berbeda. Kedua negara ini memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Dalam menanggapi Fadhel, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru keberatan menyamakan zionisme dengan kolonialisme dan imperalisme.

“Sebaiknya kita jangan memberikan kualifikasi imperialisme kepadanya. Tetapi diakui zionisme memang adalah suatu gerakan agresif,” kata Nehru menanggapi Fadhel. 

Nehru kemudian mengungkit penderitaan kaum Yahudi di bawah kekuasaan Hitler di Jerman. Tidak kurang dari lima juta orang Yahudi dibantai di Jerman, Austria, dan Polandia. Itulah, kata Nehru, antara lain yang mendorong kaum Yahudi mendirikan negara Israel.

Terang saja pernyataan Nehru ini menyulut banyak komentar. Salah satunya dari delegasi Lebanon yang menyatakan angka lima juta itu berlebihan dan beraroma propaganda zionisme untuk mengelabui mata dunia serta menarik simpati pendirian negara Israel.

“Israel sendiri melakukan teror dan kekejaman yang tiada taranya kepada rakyat Palestina. Perbuatan Israel serta zionisme itu perlu dikutuk,” tegas delegasi dari Libanon.

Di tengah hangatnya perdebatan itu Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai mencoba mendinginkan suasana dengan tampil sebagai juru damai. Setelah menegaskan dukungan Tiongkok kepada pihak dunia Arab, dia menyetujui resolusi KAA supaya semua resolusi PBB tentang Palestina dilaksanakan dengan syarat kekuatan luar, seperti Amerika Serikat, tak boleh mencampuri persoalan ini.

Dia ingin penyelesaian Palestina sebagaimana halnya Tiongkok menghadapi Taiwan. Tiongkok membebaskan Taiwan secara damai setelah menyaratkan kekuatan militer Amerika Serikat mundur. Upaya Zhou Enlai berhasil. Selain menegaskan sokongannya terhadap pembebasan Palestina, KAA 1955 juga menyerukan penyelesaian konflik Palestina-Israel secara damai.

Kini, 60 tahun kemudian, Palestina masih belum merdeka dan masih juga menjadi agenda pembahasan pada peringatan 60 tahun KAA. 

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi”