NAMA dan kiprah Soepardjo tak banyak diketahui kecuali dari keterlibatannya dalam kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S). Dia satu-satunya perwira tinggi Angkatan Darat yang terlibat langsung dalam G30S. Pada September 1965, dia belum lama menjadi Brigadir Jenderal.
Tak banyak catatan tentang masa lalu pria bernama lengkap Moestofa Sjarief Soepardjo itu. Beberapa catatan terkait G30S menyebut pria kelahiran Gombong, Kebumen, Jawa Tengah pada 23 Maret 1923 itu berasal dari Divisi Siliwangi meskipun dia orang Jawa Tengah.
Julius Pour dalam Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul menyebut di zaman pendudukan Jepang, Soepardjo termasuk pemuda Indonesia yang mendapat pendidikan calon bintara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun) dan Sekolah Pelayaran di Cilacap. Di sana ia bareng dengan Sudomo –kelak menjadi salah satu menteri dalam beberapa kabinet Presiden Soeharto dan orang kepercayaannya– dan Ignatius Slamet Rijadi.
Baca juga: Dari Angkatan Laut ke Pulau Buru
“Selesai pendidikan di Cilacap, Soepardjo dan Slamet Rijadi tidak jadi diberangkatkan ke Tokyo, untuk melanjutkan penugasan, karena Perang Dunia II sudah lebih dulu berakhir,” catat Aju dalam Soedjiman Tokoh Di Balik Penangkapan Brigjen Soepardjo. Dalam buku ini Soepardjo digambarkan sebagai perwira yang gemar berpolitik di kalangan tentara.
Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memerdekakan diri, Soepardjo bergabung dengan badan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Dalam Memenuhi Panggilan Tugas, Vol. 5, Abdul Haris Nasution menceritakan Soepardjo pernah bergabung dengan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI).
Soepardjo kemudian masuk ke Divisi Siliwangi. Dia ikut serta ketika divisi itu hijrah ke Jawa Tengah. Soepardjo ikut pula dalam penumpasan PKI usai Peristiwa Madiun 1948 pecah. Di masa revolusi itu, Soepardjo bahkan pernah melakukan aksi heroik sewaktu perang melawan Belanda.
Baca juga: Lelucon Long March Siliwangi
“Ia mencegat kereta api, diam-diam menaikkan tiga ratus prajurit ke gerbong-gerbongnya, dan selanjutnya mengejutkan pasukan Belanda yang jauh lebih besar ketika kereta api itu lewat dekat kubu pertahanan mereka,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal.
Setelah 1950, Soepardjo terus bertugas di Jawa Barat, yang merupakan daerah teritorial Divisi Siliwangi. Soepardjo ikut melawan DI/TII sewaktu Siliwangi berupaya menumpas pemberontakan itu di daerahnya.
Nama Soepardjo tercatat dalam buku sejarah Divisi dan KODAM Siliwangi. Buku Siliwangi Dari Masa ke Masa mencatat bahwa pada 1954 Mayor MS Soepardjo menjabat sebagai komandan Batalyon Infanteri 315. Batalyon itu bagian dari Resimen Infanteri 8 yang dipimpin Mayor Ahmad Wiranatakusumah, ketika Kolonel Alex Evert Kawilarang masih menjadi panglima Siliwangi yang masih bernama Tentara dan Teritorium III. Batalyon tersebut kemudian ditempatkan di Bogor.
Baca juga: Alex Kawilarang, Kisah Patriot yang Dicopot
Karier Soepardjo tergolong lancar. Ketika sudah berpangkat kolonel, pada 1963 Soepardjo mendapat tugas belajar ke Staff College ke Quetta, Pakistan. Setahun kemudian, dia ikut kursus reguler di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad).
Perwira tinggi diraih Soepardjo pada 1965 ketika dia mendapat kenaikan pangkat menjadi brigadir jenderal. Pada masa itu pula dia dipercaya memimpin pasukan tempur di perbatasan Indonesia-Malaysia dalam Konfrontasi.
“Ia berhasil mendapat tempat sebagai Panglima Komando Pertempuran di bawah Jenderal Suharto dan Laksamana Omar Dhani dalam Kolaga anti Malaysia,” kata Nasution.
Baca juga: Galang Dana Dwikora ala Sukarno
Ketika di Kolaga itu, Soepardjo mencium hal tak beres. Lantaran tak tahan memendamnya, ia lalu menemui salah seorang menteri kabinet yang bisa dia percayai untuk menrceritakannya.
“Ia datang pukul 07.00 sore. Ia berpakaian preman dan memperkenalkan namanya. Kemudian ia menyampaikan adanya golongan yang serius tentang Konfrontasi dan ada golongan yang cuma pura-pura saja demi duit,” kenang Oei Tjoe Tat, menteri yang ditemui Soepardjo, dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Sukarno.
Baca juga: Percikan Awal Sebuah Konfrontasi
Oei Tjoe Tat merupakan orang yang loyal kepada Sukarno. Soepardjo mengambil risiko untuk bercerita kepada Oei dengan harapan Presiden Sukarno jadi tahu hal itu.
Namun, Konfrontasi dengan Malaysia, kepresidenan Sukarno, kementerian Oei, maupun kepemimpinan Soepardjo dalam pasukan, semua “game over” usai G30S pecah. Dalam gerakan yang diklaim pelakunya sebagai upaya menyelamatkan presiden dari kudeta Dewan Jenderal itu, Soepardjo duduk sebagai salah satu wakil pemimpin meskipun bukan perwira asal Jawa Tengah seperti pucuk pimpinan G30S lainnya.
“Ia merupakan salah satu dari sekian banyak keganjilan dalam G-30-S: mungkin untuk pertama kali dalam sejarah pemberontakan dan kup seorang jenderal menjadi bawahan seorang kolonel,” tulis John Roosa.
Akibat gerakan ganjil yang memakan korban jiwa beberapa jenderal di pucuk pimpinan AD itu, simpati publik jadi tertuju pada AD. Soepardjo pun menjadi pesakitan setelah sekian lama berhasil buron.
Baca juga: Meringkus Soepardjo, Sang Jenderal Buronan
Ketika Soepardjo ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, sebenarnya Oei juga ditahan ditempat yang sama. Namun Soepardjo tak bisa leluasa bicara dengan Oei lagi karena Soepardjo ditempatkan di sel khusus.
“Selama hari-hari terakhirnya di RTM diakui sangat mengesankan: jantan, benar-benar bermutu jenderal, namun tetap sopan, ramah terhadap siapapun,” kata Oei tentang hari-hari terakhir Soepardjo di tahanan.
Di dalam tahanan itu pula Soepardjo membuat tulisan analisa tentang kegagalan G30S. Tulisan itu, menurut John Roosa, merupakan tulisan terpenting untuk penggambaran G30S sebagai sebuah organisasi, dan paling dapat dipercaya otentisitasnya.
Suatu hari, diadakan sebuah jamuan terakhir antara Soepardjo dengan keluarganya dan petugas. Soepardjo menyempatkan menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan berpidato. Setelahnya, Soepardjo tak hanya mandi tapi juga membersihkan kamar mandi dan WC. Kisah Soepardjo berakhir tahun 1970, tahun di mana dirinya menghadapi regu tembak.
Baca juga: Drama Penangkapan Brigjen Soepardjo