Pahlawan Revolusi Siswondo Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918. Ia anak keenam dari sebelas bersaudara. Ayahnya merupakan pedagang bernama Kromodihardjo.
Parman menjalani pendidikan dasar di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Wonosobo. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebried Lager Onderwijs (MULO/ setara SMP) Yogyakarta.
Pada 1937, Kromodihardjo meninggal dunia. Parman pun batal melanjutkan pendidikan ke Algemeene Middelbare School (AMS/ setara SMA). Parman lalu membantu ibunya berdagang di Pasar Wonosobo.
Setelah dua tahun membantu ibunya, Parman melanjutkan pendidikan di AMS dan setelahnya masuk Sekolah Tinggi Kedokteran (STOVIA) di Jakarta. Pendidikan kedokteran Parman terhenti karena invasi Jepang pada 1942.
Pada suatu hari pada masa pendudukan Jepang, Parman bertemu polisi militer Jepang di Wonosobo. Dari polisi militer itu Parman mendapatkan informasi bahwa pemerintah pendudukan Jepang membutuhkan penerjemah bahasa Inggris.
Kesempatan itu langsung diambil Parman yang punya keterampilan berbahasa Inggris. Meski bekerja di Kenpeitai, Parman memiliki cita-cita Indonesia merdeka. Ia pun membantu teman-temannya yang berjuang melawan Jepang secara sembunyi-sembunyi.
Aktivitas itu membuat Jepang mencurigai Parman dan menangkapnya. Namun, tidak lama kemudian, Parman dibebaskan. Parman bahkan dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan Kenpei Kasya Butai. Sekembalinya dari Jepang, Parman kembali bekerja di Kenpeitai.
Setelah Indonesia merdeka, Parman memilih masuk militer dengan bergabung ke Tentara Keamanan Rakyat. Pada Desember 1945, Parman diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara Yogyakarta.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: Ahmad Yani, Jenderal Brilian Pilihan Sukarno yang Berakhir Tragis
Awal 1949, Parman turut bergerilya menghadapi Agresi Militer II Belanda. Setelahnya, Parman ditugaskan menjadi Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Saat itulah Parman berhasil mengungkap dan mengaggalkan rencana Angkatan Perang Ratu Adil pimpinan Raymond Westerling masuk ke Jakarta.
Diangkat menjadi Kepala Staf G pada Maret 1950, Parman dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Polisi Militer pada 1951. Sekembalinya dari AS, Parman bertugas di Kementerian Pertahanan.
Pada masa inilah Parman terlibat dalam sekelompok perwira yang mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan parlemen, 17 Oktober 1952. Peristiwa tersebut membuat posisi politik AD merosot di mata sipil dan di internal, hampir membuat perpecahan.
Di Tentara Teritorium (TT) V/Brawijawa, Jawa Timur, Panglima Kolonel Bambang Sugeng menjadi korban perpecahan itu. Keputusannya menunjuk Letkol Suwondo sebagai penggantinya untuk melaksanakan tugas harian karena kesehatan Bambang memburuk, justru berbuntut ricuh. Bambang tak mengetahui Suwondo terlibat Peristiwa 17 Oktober. Maka ketika dia mengetahuinya dan langsung mengambil alih kembali pimpinan serta memanggil Suwondo untuk meminta penjelasan, dia justru dilawan. Bahkan, dalam siaran radio Suwondo yang dikutip Edi Hartoto dalam Panglima Bambang Sugeng, Bambang termasuk yang kalau perlu ditangkap.
Upaya kup di Brawijaya itu akhirnya dapat digagalkan KSAD. “Nasution segera mengutus dua orang pengikutnya, Letkol S. Parman dan Letkol Suprapto ke Jawa Timur dengan perintah untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu buat menyelesaikan krisis itu, tetapi mereka mendapati Divisi Brawijaya sudah begitu bersatu di bawah pengaruh B. Supeno sehingga mereka terpaksa kembali ke Jakarta tanpa dapat mempengaruhi situasi di Jawa Timur. Pada waktu yang bersamaan, markas divisi mengumumkan bahwa Suwondho telah dipecat oleh Markas Besar Angkatan Darat, dan bahwa komandan resimen yang paling senior, Letkol R. Sudirman, menggantikan Suwondho sebagai penjabat Panglima Divisi Brawijaya,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI.
Namun, kedekatan Parman dengan Nasution membuatnya tidak disukai Presiden Sukarno. Setelah Nasution meletakkan jabatannya dan digantikan Kolonel Bambang Sugeng, nasib Parman mengikuti Nasution.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: MT Haryono, Calon Dokter yang Memilih Jadi Tentara
Setelah PRRI, Parman yang dekat dengan Nasution kembali berhubungan baik dengan presiden. Parman akhirnya diangkat menjadi Atase Militer RI di London pada 1959. Tugas ini dijalaninya selama tiga tahun. Pada periode tersebut, sebagaimana dicatat Nasution dalam memoar berjudul Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Masa Orde Lama, Parman menjadi salah satu Atmil yang ikut menjalankan kampanye Irian Barat di Eropa Barat. Parman tergabung bersama Kolonel Pandjaitan di Bonn dan Kolonel Rachmat Kartakusumah di Paris dalam Operasi C, diplomasi senyap untuk mempengaruhi sikap tokoh-tokoh penting di Belanda.
Pada 1962, Parman dipanggil pulang ke Indonesia seiring beralihnya pimpinan AD dari Nasution ke Ahmad Yani. Parman ditunjuk sebagai Asisten I Menpangad yang mengurusi bidang intelijen. Pada 1964, Parman mendapat kenaikan pangkat sebagai mayor jenderal.
Sebagaimana Yani, Parman menjadi perwira kepercayaan Sukarno. “Pak Parman sering ke Istana, sarapan dengan Bung Karno,” ujar Kolonel (purn.) Maulwi Saelan, wakil komandan Tjakrabirawa, kepada Historia.
Kedekatan itu membuat Parman menjadi andalan presiden selain Yani dalam hal informasi di tubuh AD. Temasuk dalam kaitannya dengan persaingan Sukarno-Nasution, presiden juga pernah memanggil Parman dan menginterogasinya berjam-jam. Sebagaimana presiden, Yani juga mengandalkan Parman untuk urusan tersebut.
“Panglima AD (Pangad) Yani menugaskan Jenderal S. Parman dan Panjaitan untuk mengikhtiarkan agar pulih hubungan saya dengan Bung Karno karena diperlukan oleh AD,” kata Nasution.
Kemesraan hubungan dengan presiden diperlukan AD untuk menghadapi PKI dalam segitiga perpolitikan nasional saat itu yang bertumpu pada presiden di tengah. Parman merupakan salah satu perwira yang menolak tegas wacana Angkatan Kelima gagasan PKI yang akan mempersenjatai buruh dan tani dipersenjatai untuk mengimbangi tentara.
Di Seminar AD yang dihelat Menpangad Yani di Bandung (3-9 April 1965) untuk mereorientasi posisi politik AD, Parman menjadi peserta yang vokal. “Mayjen Soeprapto dan Mayjen Parman, serta Brigjen Suwarto beberapa kali berusaha untuk mengajukan soal posisi Angkatan Darat berhadapan dengan PKI dan pemerintah, tetapi Brigjen U. Rukman, dengan disokong Kolonel A. Sjukur, berhasil mencegah pembahasan mengenai soal itu,” tulis Sundhaussen.
Baca juga: Profil Pahlawan Revolusi: Pierre Tendean, Ajudan Tampan yang Setia Sampai Akhir
Parman, adik petinggi Politbiro CC PKI Ir. Sakirman, terus menjadi andalan Yani untuk mendapatkan informasi tak hanya soal kekuatan PKI namun juga soal isu Dewan Jenderal yang berhembus sejak awal 1965. Parman ikut Yani menghadap presiden untuk menjelaskan soal tersebut. Sehubungan dengan itu, Parman juga ditugaskan untuk menjalin kontak intensif dengan berbagai kedutaan.
“Jabatan S. Parman sebagai pejabat intelijen menyebabkan ia banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Karena itulah ia menjadi salah seorang pejabat teras Angkatan Darat yang termasuk daftar yang akan dilenyapkan PKI,” tulis tim peneliti Departemen Sosial RI dalam Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Seri IV.
Jabatan Asisten I Menteri Panglima Angkatan Darat itu menjadi posisi terakhir Parman karena pada dini hari 1 Oktober 1965 dia menjadi korban penculikan kelompok Gerakan 30 September 1965. Parman diculik pasukan Pasopati di rumahnya dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur, masih dalam keadaan hidup.
Pada 4 Oktober 1965, Parman ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di Lubang Buaya. Keesokan harinya, 5 Oktober, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata bersama dengan korban G30S lain, termasuk Menpangad Yani.
Lihat juga: