Masuk Daftar
My Getplus

Profil Pahlawan Revolusi: Pierre Tendean, Ajudan Tampan yang Setia Sampai Akhir

Pada misi penyusupan ke Malaysia yang ketiga, Pierre Tendean hampir kehilangan nyawa

Oleh: Tjatur Wiharyo | 01 Okt 2020
Ilustrasi Pierre Tendean. (Betaria Sarulina. /Historia.id)

Pada sore 30 September 1965, Lettu Piere Tendean menemani Ade Irma Suryani, putri bungsu Menko Hankam/KSAB Jenderal AH Nasution, main sepeda di halaman belakang rumah. Hampir tiap sore Ade bersepeda di sana dan Tendeanlah yang selalu menemani.

“Piere cenderung melunak dan memanjakan putri bungsu Nasution ini,” tulis Martin Sitompul dalam “Pierre Tendean Si Galak yang Memikat”, dimuat di historia.id.

Sejak bertugas sebagai ajudan Nasution pada April 1965, Tendean tinggal di pavilyun ajudan di rumah Nasution. Bila sedang tidak bertugas luar mendampingi Nasution, Tendean biasa mengerjakan bermacam tugas keprotokoleran di rumah tersebut. Urusan di luar tugas resmi pun tak ditolaknya, salah satunya adalah momong putri bungsu Nasution. Rutinitas sebagai ajudan itu dijalani Tendean hingga ajal menjemputnya di waktu yang terlalu dini. 

Advertising
Advertising

Pierre Andries Tendean lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Aurelius Lammert Tendean dan Maria Elizabet Cornet.

Aurelius merupakan dokter asal Minahasa, sementara Maria merupakan perempuan berdarah Prancis Kaukasian. Dalam biografi Tendean suntingan Abie Besman, Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi, nama Pierre diambil dari nama kakek dari ibu yang berasal dari Prancis, Pierre Albert. Dalam bahasa Prancis, Pierre berarti kuat bagai batu. Pada masa pendudukan Jepang, Aurelius memboyong keluarganya ke Magelang karena dijadikan kepala rumah sakit di sana.

Menjalani pendidikan sekolah dasar di Magelang, Tendean kecil sering melihat pemuda pejuang kemerdekaan datang ke rumah untuk meminta obat-obatan kepada ayahnya. Pengalaman itu begitu membekas di dalam ingatan Tendean.

Pada 1950, Tendean ikut pindah ke Semarang karena ayahnya mendapat penugasan di sana. Usai menamatkan SMP dan SMA di Semarang, Tendean masuk Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad).

Di Atekad, Tendean begitu populer. “Semua taruna-taruna di Atekad kenal Pierre karena disiplin sehingga jadi komandan korps taruna. Piere populer sebagai olahragawan, pemain bola basket, tenis, dan sepak bola,” ujar Sayidiman Suryohadiprodjo, komandan Taruna Atekad saat Tendean menjadi taruna, dalam pidatonya di peluncuran buku Pierre Tendean Sang Patriot di Perpustakaan Nasional, 25 Februari 2019.

Saat di Atekad itulah Tendean mendapat gemblengan dengan mengikuti pertempuran sungguhan, yakni menumpas PRRI. Keikutsertaan Tendean tak lepas dari kebijakan yang digulirkan Direktur Atekad Kolonel Djatikusumo. Sebagaimana dituliskan Solichin Salam dalam GPH Djatikusumo, Prajurit-Pejuang dari Kraton Surakarta, Djati sengaja membawa beberapa taruna ke Sumatera agar mendapatkan pengalaman langsung sebuah pertempuran. Pengikutsertaan taruna ke dalam palagan sungguhan telah dilakukan Djati sejak Perang Kemerdekaan.

Begitu lulus dari Atekad (1963), Tendean ditugaskan di Medan. Di sanalah dia mengenal dan kemudian menjalin kasih dengan Rukmini Chamim. Usai mendapat pendidikan di Pusat Pendidikan Intelijen (Bogor), Tendean ditugaskan mengawal Menteri Negara Oei Tjoe Tat ke Malaysia untuk menggalang kerjasama dengan pihak-pihak penentang pembentukan Malaysia. Tendean melaksanakan tugasnya dengan baik dengan menyamar sebagai turis. Dia menyempatkan berbelanja raket, arloji, rokok, pakaian dan aksesoris untuk oleh-oleh keluarga dan kekasihnya.

Tiga kali Tendean menyusup ke Malaysia. Di misi terakhirnya, nyawa Tendean hampir melayang karena speedboat-nya kepergok kapal destroyer Inggris dan dikejar. Berhari-hari terkatung-katung di lautan, Tendean akhirnya selamat.

Sepulang dari misi itu, Tendean mendapat kenaikan pangkat menjadi letnan satu dan kemudian mendapat tugas baru sebagai ajudan Nasution. Tugas domestik maupun formil dijalani Tendean dengan baik sehingga mengesankan Nasution sekeluarga.

“Ia tinggal di rumah saya sebagai salah seorang anggota keluarga biasa. Ia selalu tampak prakarsa. Pernah saya pulang dari airport Kemayoran lalu lintas macet. Piere turun ke jalan dan langsung menjadi polisi lalu-lintas yang berhasil mengatur arus kendaraan sehingga lancar kembali,” kata Nasution mengenang dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru.

Prakarsa itu pula yang membuat Tendean berhasil mengatasi kebut-kebutan para anak pembesar yang dilakukan di Jalan Teuku Umar. Lantaran amat terganggu oleh ulah anak para pembesar itu sementara polisi enggan menindak, Tendean menangkapi pemuda-pemuda badung tersebut. Mereka lalu dijemur berbaris oleh Tendean di halaman rumah Nasution. Setelah meneleponi orangtua masing-masing pemuda itu, Tendean melepaskan begitu si pemuda dijemput orangtuanya yang menanggung malu.

Keberanian dan ketaatan pada aturan Tendean juga dibuktikannya ketika suatu kali mendapati net tenis di lapangan Senayan terpasang kurang kuat. Tendean yang biasa mengawal Nasution dan istri main tenis langsung menindak ball boy Saifuddin Sofyan dan kawan-kawannya dengan memberi hukuman push up.

Baca juga: 

Ketika Yani Akan Menangkap Nasution

D.I. Pandjaitan, Balada Jenderal Pendeta

Anak Pahlawan Revolusi Kecewa Film Pengkhianatan G30S/PKI

Namun, kesan yang ditimbulkan oleh Tendean bukan semata dari ketegasannya. Gadis-gadis mengingatnya karena ketampanannya. Ketampanan Tendean bahkan diingat betul oleh putri sulung Nasution,Yanti.

“Yanti mengakui bahwa wajah Pierre ganteng luar biasa, yang memesona lawan jenis. Namun, dengan kekakuannya, Pierre jarang tampak genit di depan kaum hawa,” tulis tim penulis biograsi resmi Pierre Tendean.

Setiap kali mendampingi Nasution mengisi acara di berbagai tempat, terutama di kampus-kampus, Tendean selalu jadi perhatian para gadis sehingga muncul istilah "Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya." Termasuk ketika mendampingi Nasution mengisi acara di Universitas Pajajaran pada Jumat, 24 September 1965.

“Yang mendampingi saya adalah ajudan yang paling muda, Letnan Satu Pierre Tendean. Ia terhitung pemuda yang ganteng, dan ia terus saja menjadi sasaran kerumunan para mahasiswi,” sambung Nasution.

Namun, acara di Unpad itu menjadi tugas pengawalan luar terakhir Tendean sebagai ajudan Nasution. Hingga sepekan kemudian, dia lebih banyak mengawal rumah. Termasuk ketika Nasution kedatangan taruna-taruna pada 28 September.

Lantaran ada tugas, Tendean membatalkan kepulangan ke Semarang yang biasa dia lakukan pada 30 September untuk merayakan ulang tahun ibunya. Maka, Kamis itu Tendean menghabiskan waktu di rumah Nasution. Sorenya, seperti biasa dia menemani Ade main sepeda.

Beberapa jam kemudian, dini hari 1 Oktober, Pierre Tendean dan Ade menjadi korban sekelompok pasukan Tjakrabirawa pimpinan Pelda Djahurup yang hendak menculik Nasution. Tendean diseret pasukan penculik yang kebingungan mengenai sosok Nasution dan Tendean, lalu dibawa ke Desa Lubang Buaya. Sementara, Ade luka parah akibat tertembak. Tendean dihabisi hari itu juga dan jenazahnya bersama jenazah enam jenderal AD baru diketemukan di sumur tua pada 4 Oktober. Presiden Sukarno menganugerahinya gelar Pahlawan Revolusi dan menaikkan pangkatnya menjadi kapten (anumerta).

TAG

pierre tendean pahlawan revolusi profil pahlawan g30s pki cakrabirawa tni abri profilpahlawanrevolusi

ARTIKEL TERKAIT

Memburu Njoto Ikut HUT ABRI Berujung Dieksekusi Evolusi Angkatan Perang Indonesia Muljono Dukung PKI Saat Baret Merah Dilatih Pasukan Katak Secuplik Kisah Walikota Bandung yang Terlibat G30S Kisah Perwira TNI Sekolah di Luar Negeri Pergeseran Kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto Melalui TAP MPRS 33/1967 Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian II – Habis) Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967