Kisah Pierre Tendean Si Ajudan Tampan
Sang perwira belia itu gugur melindungi atasannya. Kisah kehidupannya sehari-hari berkelindan dengan jiwa kepahlawanannya.
Pierre Tendean dan Efendi Ritonga adalah taruna Akademi Teknik AD (Atekad) lulusan tahun 1961. Keduanya kawan dekat. Tingkat satu, mereka satu peleton dan tinggal bersama di barak. Sekamar saat menginjak tingkat dua. Sekali waktu, mereka keluar asrama turun ke arah Ciumbuleuit menghabiskan akhir pekan.
“Pierre cerita bahwa ada lima wanita siswi SMA Dago yang taruhan untuk mendapatkan dirinya yang ganteng itu,” tutur Efendi dalam peluncuran buku biografi resmi Pierre Tendean Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi di Perpustakaan Nasional Jakarta Pusat, 25 Februari 2019. Menurut Efendi, tak satupun dari gadis Bandung itu yang diterima oleh Pierre karena alasan sedang belajar untuk menyelesaikan pendidikan.
“Kelihatan dari jiwanya, dia bisa memisahkan mana yang harus dilakukan mana yang akan mengganggu,” tutur purnawirawan dengan pangkat terakhir brigjen itu.
Ketampanan Pierre bisa disebut sebagai takdir bawaan. Lahir di Batavia, 21 Februari 1939, Piere merupakan putra dari pasangan Aurelius Lammert Tendean dari suku Minahasa dan Maria Elizabet Cornet, perempuan berdarah Prancis Kaukasian. Namun Pierre sendiri tumbuh sebagai seorang Jawa medok karena pada 1950, keluarganya pindah ke Semarang. Di kota itu, Ayah Pierre yang dokter spesialis jiwa menjadi pimpinan Rumah Sakit Jiwa Pusat Semarang.
Pada 1958, Pierre memutuskan masuk militer. Padahal, keluarganya menginginkannya berkuliah di ITB. Atekad menjadi tempat bagi Pierre meniti ilmu sebagai prajurit TNI.
Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo menuturkan, di Atekad, Pierre termasuk siswa yang populer. Pengamatan Sayidiman ini cukup beralasan, karena saat itu dirinya menjabat sebagai komandan taruna Atekad. Pierre sering datang kepadanya untuk berbincang dan bertanya.
“Semua taruna-taruna di Atekad kenal Pierre karena disiplin sehingga jadi komandan korps taruna. Pierre populer sebagai olahragawan, pemain bola basket, tenis, dan sepak bola,” ujar Sayidiman.
Di kalangan taruna, Pierre kerap mendapat ledekan karena paras indonya. Pelecehan itu sering secara verbal berupa pertanyaan sindiran, “Indo ya?”. Sesekali, Pierre pernah menjawab dengan nada marah.
“Barangkali rasa nasionalismemu lebih rendah daripada nasionalisme saya,” kata Pierre sebagaimana dituturkan karibnya, Efendi Ritonga.
Setamat dari Atekad pada 1963, Pierre ditempatkan di Medan. Dia bertugas di satuan Batalion Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit Barisan. Di kota itulah Pierre bertemu tambatan hatinya, Rukimini Chamim, gadis Medan keturunan Jawa. Pierre tak lama dinas di Medan, namun kisah cinta dengan Mimin – panggilan Rukmini – tetap berlanjut.
Baca juga: Dendang Cinta kala Martandang
Pada pertengahan, 1963, Pierre sekolah lagi di Bogor. Bersama beberapa rekannya, Pierre mengikuti pelatihan intelijen di Pusat Pendidikan Intelijen (Pusdikintel). Pierre dipersiapkan untuk operasi khusus, salah satunya mengawal Menteri Oei Tjoe Tat ke Malaysia.
Oei Tjoe Tat ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk menjalin hubungan dan kerja sama dengan semua pihak yang anti dengan pembentukan federasi Malaysia. Misi ini dilakukan Oei dan Pierre dengan cara menyamar. Oei berlakon sebagai pedagang Tionghoa. Sementara Pierre, dengan wajah bulenya cukup apik berperan sebagai turis.
Setelah misi intelijen dalam Operasi Dwikora ganyang Malaysia, Pierre mendapat penugasan baru, sekaligus yang terakhir dalam hidupnya. Pada April 1965, Pierre dipercaya menjadi ajudan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution. Pangkatnya naik jadi letnan satu dan tergolong ajudan termuda. Dari garis ibunya, Pierre masih berkerabat dengan Johana Sunarti Gondokusumo, istri Nasution.
Dalam pekerjaan sehari-hari mengawal Nasution, Pierre kerap jadi pusat perhatian karena ketampanannya. Apabila Nasution diundang sebagai pembicara dalam seminar atau konferensi, sosok Pierre ikut jadi sorotan terutama dari kaum hawa. Dari sinilah kemudian terkenal istilah, “Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya.”
Baca juga: Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan
Malam 1 Oktober 1965 jadi hari pengabdian terakhir Pierre bagi keluarga Nasution. Pierre jadi korban saat pasukan Tjakrabirawa hendak meringkus Nasution. Saat itu, Pierre keluar dari paviliunnya untuk mengatasi kegaduhan dari pasukan-pasukan yang menyatroni kediaman Nasution. Pasukan yang hendak menangkap Nasution malah menyangka Pierre sebagai Nasution dan membawanya ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Nasib Pierre kemudian dapat diketahui. Dirinya menjadi salah satu korban pembunuhan Gerakan 30 September 1965 bersama enam perwira tinggi AD. Mereka yang gugur dalam peristiwa itu kelak disebut Pahlawan Revolusi.
“(Pierre) perwira muda yang masih haus latihan tapi harus sudah berkorban,” kata mantan Panglima TNI dan juga Wakil Presiden Jenderal (Purn.) Try Sutrisno yang masih kakak senior Pierre semasa di Atekad. “Waktu taruna, kita diajar untuk loyal, untuk setia. “Kalau dia bilang, dia bukan Nasution pasti dilepas. Pierre memiliki rasa kesetiaan yang luar biasa.”
Senada dengan Try Sutrisno, Sayidiman mengatakan, Pierre Tendean mengorbankan dirinya untuk keselamatan Jenderal Nasution, perbuatan yang juga menyelamatkan negara dan bangsa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar