Masuk Daftar
My Getplus

Pesan dari Kamp Interniran

Orang-orang Yahudi digiring dari kamp Kramat menuju penjara di Tangerang. Kisah pilu keluarga sosiolog terkemuka W.F. Wertheim pada masa pendudukan Jepang.

Oleh: Anne-Ruth Wertheim | 31 Des 2020
Ilustrasi seorang ibu dan tiga anak dalam kamp berusaha mengirim surat kepada suaminya di kamp lain. (Betaria Sarulina/Historia.id).

Melalui kartu pos, ibu ingin berkabar kepada ayah bahwa kami telah diangkut ke kamp interniran khusus keturunan Yahudi. Kartu pos yang tetap kami simpan itu penuh berisi sandi untuk menghindari sensor ketat; sebagai pengirim, ibu jelas tidak pernah tahu apa alasan balatentara pendudukan Jepang kalau sampai tidak mengirim kartu pos ini. Kamp yang ibu, kakak, adik dan saya tinggalkan adalah kamp interniran kaum perempuan Kramat, di jantung Batavia lama, ibu kota Hindia Belanda yang pada 1942 diduduki Jepang. Kami sempat menghuni kamp Kramat selama setahun dan selama itu kami tidak pernah mendengar kabar tentang ayah yang jauh berada di kamp pria.

Tak lama setelah mendarat di pantai utara Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia, Jepang mulai menjebloskan orang-orang Belanda ke pelbagai kamp interniran –kaum pria terpisah dari kaum wanita dan anak-anak. Siang malam kami dijaga oleh pasukan yang menenteng senapan mesin dan setiap pagi serta petang dihitung jumlahnya. Bukan karena mereka takut kami melarikan diri, kulit putih kami pasti akan segera mencolok kalau berada di antara orang-orang Indonesia, Indo-Eropa, Tionghoa atau Jepang. Kami harus meninggalkan kamp Kramat, karena kami ini keturunan Yahudi, itulah penjelasan ibu.

Hari masih gelap tatkala pada 18 Desember 1944 kami tiba di pintu gerbang kamp khusus Yahudi, terlihat truk dengan mesin yang menggeram dikelilingi sekitar 20 orang di sekitarnya. Kami bertiga diantar oleh teman ibu, karena ibu berbaring di rumah sakit kamp dan harus diangkut dengan tandu. Sementara orang Jepang yang menjaga para tahanan terlihat gugup ketika mengisyaratkan semua harus naik truk, seketika pula kami tergesa-gesa berpamitan dan mengatur bagasi. Kami yang masih anak-anak ini harus diangkat untuk diserahkan kepada orang yang sudah berada di dalam truk. Syukurlah ibu boleh duduk di sebelah sopir.

Advertising
Advertising

Baca juga: Suara dari Masa Pancaroba

Saya diizinkan berdiri di pinggir, sehingga bisa melihat keluar. Mobil, becak dan sado tampak berlalu lalang, atau berjalan bersebelahan dengan truk yang kami tumpangi. Bunga-bunga mekar sepanjang jalan yang sudah tersapu bersih di depan iringan rumah-rumah mewah. Di mana-mana orang berlalu lalang dalam pakaian berwarna-warni, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Truk yang membawa kami berhenti di stasiun kereta api Manggarai. Di peron tampak banyak orang sedang menanti, mereka adalah orang-orang Yahudi dari kamp-kamp lain. Seorang gadis duduk di tanah, kakinya dibalut perban –namanya Naomi dan di kamp baru nanti kami berdua akan menjadi teman akrab. Kami berjejalan di dalam gerbong kereta yang gelap gulita, sebagian besar duduk di atas bagasi mereka yang diletakkan di gang antara dua deretan bangku kayu. Ibu duduk di bangku, kakinya yang sakit diletakkan di atas koper.

Kota kecil Tangerang terletak sekitar 50 kilometer di barat laut Batavia, tapi perjalanan kami ke sana berlangsung selama berjam-jam, karena kereta api terus-terusan berhenti untuk langsir lama. Selama itu jendela terus tutup. Hawa semakin panas dan pertikaian di antara penumpang tidak juga berakhir. Sampai akhirnya seseorang berupaya membuka jendela. Sebagai jawaban para penjaga melakukan pemukulan dengan popor senjata, sampai satu papan kayu penutup jendela rusak. Karena lubang itu kami bisa melihat keluar secara bergiliran. Adik saya Hugo juga bisa buang air kecil lewat lubang itu, karena ember penampung sudah penuh.

Pindah kamp ini sudah diumumkan beberapa bulan sebelumnya, pada 4 September 1944. Komando kamp Kramat menetapkan penghuni kamp yang berdarah Yahudi (walau setetes pun) harus mendaftar untuk dipindah ke kamp tersendiri. Waktu itu Jepang bersekutu dengan Jerman yang dikuasai Nazi dan sejak awal sudah ada kemungkinan bahwa pasukan pendudukan Jepang akan ikut-ikutan ideologi anti-Yahudi Nazi. Seseorang harus waspada, karena musibah bisa merembes setetes demi setetes. Sebelum kami dimasukkan ke dalam kamp, ibu sudah mengenali beberapa isyarat tentang ini. Dalam pidato radio tersiar penjelasan negatif tentang orang Yahudi, dan ketika Dr. Wohltat, seorang warga Jerman berkunjung ke Batavia, ibu tahu bahwa ia adalah seorang Nazi fanatik.

Baca juga: Dari Kamp Interniran Hingga Ragunan

Ketika perintah pendaftaran datang, ibu benar-benar kaget, bermalam-malam ia tak dapat memejamkan mata. Ia sendiri tidak berdarah Yahudi, ayahlah yang Yahudi. Karena itu di sepanjang pembuluh darah kami, anak-anak mereka, mengalirlah bertetes-tetes darah Yahudi. Walau begitu, ibu sangat ragu-ragu akan melaporkan kami. Mengabaikan perintah Jepang jelas berbahaya, seperti pernah kami alami sendiri –orang bisa dihajar untuk kemudian dijebloskan ke dalam ruang isolasi. Tetapi setiap pemindahan dan ketidaktahuan suasana kamp baru juga membawa risiko sendiri yang tidak kecil. Bisa-bisa muncul pula ancaman lain.

Kalau ibu menyatakan kami berdarah Yahudi maka akan ada kemungkinan bahwa sebagai bukan orang Yahudi ia akan harus tetap berada di kamp Kramat, sementara kami akan harus pindah ke kamp Yahudi, tanpa ibu. Orang-orang Jepang tidak ambil pusing kalau harus memisahkan ibu dari anak-anaknya, ini sudah beberapa kali kami lihat dengan mata kepala sendiri. Dari waktu ke waktu anak laki-laki yang mencapai usia 10 tahun dipindah ke kamp pria. Menurut orang Jepang, pada umur itu seorang anak laki-laki sudah mencapai usia dewasa, ia akan bisa menghamili wanita, dan itu harus dihindari, apapun dampaknya. Kami sendiri waktu itu berumur antara delapan dan 11 tahun.

Ayah berada jauh di kamp pria, dan kami tidak tahu apakah ia masih hidup, seperti kami juga tidak tahu apakah ayah sudah mendaftarkan diri sebagai orang Yahudi. Dua kali setahun para tahanan wanita dan pria, dari kamp masing-masing, diizinkan mengirim kartu pos dalam bahasa Indonesia, tetapi kartu pos itu jarang sampai ke alamat yang dituju, dan kalaupun sampai biasanya butuh waktu sampai berbulan-bulan. Dari ayah, saat itu kami belum pernah menerima satu pucuk kartu pos pun. Tetapi seandainya ayah mendaftarkan diri, maka masih harus terbukti seberapa teliti administrasi orang Jepang dan apakah komando kamp kami tahu di kamp mana ayah ditahan.

Setelah lama sekali berpikir dan berunding pada malam hari dengan teman-temannya, ibu memutuskan tidak akan mengambil risiko dan sebagai gantinya mengambil keputusan cerdik: ia juga mendaftarkan diri sebagai Yahudi. Dengan begitu kami akan bisa tetap bersama dan kalau harus pindah ke kamp Yahudi maka kami juga akan pindah bersama. Keputusan ini sekaligus menyingkirkan pula satu kemungkinan risiko lagi, pengkhianatan oleh sesama penghuni kamp.

Setiap orang Belanda pasti tahu bahwa nama keluarga kami: Wertheim adalah nama keturunan Yahudi terkenal. Mungkin orang Jepang tidak tahu soal ini. Tetapi tidak dapat dipastikan bahwa seorang warga kamp tidak akan keceplosan, walaupun di dalam kamp ini kami merasa senasib sepenanggungan dan juga saling menolong. Tapi hidup begitu dekat satu sama lain, kelaparan, hukuman keji, dan rasa putus asa menyebabkan ketegangan dan syak wasangka yang terpendam bisa mendadak muncul, termasuk antisemitisme.

Baca juga: Petualangan Interniran Jerman di Pulau Nias

Begitu tiba di stasiun Tangerang, ternyata kami masih harus berjalan ke penjara yang beberapa kilometer jaraknya. Waktu itu hawa tengah panas-panasnya, maka kami berjalan kaki, barisan panjang narapidana berpakaian compang-camping berjalan dengan kaki telanjang –sepatu sudah lama tidak kami miliki lagi– didampingi prajurit bersenjata. Kami lihat bagaimana warga setempat mengamati kami –sebagian besar dengan pandangan khawatir, walaupun beberapa orang tidak bisa menekan senyum puas mereka.

Dibutuhkan waktu lama sekali sebelum akhirnya kami sadar seberapa besar pemindahan kalangan interniran ini meningkatkan harapan warga setempat bahwa mereka akan dibebaskan dari kalangan yang sudah berabad-abad menguasai negara mereka. Mereka pasti tahu bahwa orang Belanda sudah bertahun-tahun berada di balik terali besi, tapi apa yang terjadi di dalam kamp interniran itu tidak tampak dari luar, semua itu hanya terjadi di balik dinding bambu yang dianyam rapat kemudian masih dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Berkali-kali terjadi perpindahan tahanan dari kamp satu ke yang lain yang mencapai ratusan dan tersebar di seantero Nusantara, untuk itu tidak hanya orang Yahudi yang kena.

Bagi anak-anak seperti kami, perjalanan itu lebih berat lagi karena selain bagasi sendiri, kami juga harus mengangkut bagasi ibu, yang sementara itu diangkut dalam truk bersama orang-orang lain yang sakit. Seorang penjaga Jepang berbaik hati mengangkat biola kakak. Ia tampak terkejut, takut biolanya dirampas. Tapi segera dilihat betapa hati-hati ia memperlakukan biola kakak, sementara ia dengan bangga memamerkan biola itu kepada sesama penjaga lain, sampai akhirnya atasan orang ini memerintahkannya supaya mengembalikan biola itu kepada kakak.

Baca juga: Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Pertama Nazi

Kamp Tangerang yang merupakan bekas penjara kaum muda berbeda sekali dengan kamp Kramat. Bangunannya muram berwarna abu-abu dengan bangsal-bangsal tinggi dan galeri beratap, tapi di mana-mana bau. Sebagai WC digunakan barisan panjang lubang-lubang di tanah, dengan batu untuk diinjak supaya kaki terganjal, sedangkan kotoran manusia tetap terlihat karena tidak ada air untuk menyiram. Setiap bangsal bisa digunakan tidur untuk 80 orang, dengan tempat tidur susun dua. Kami memperoleh tempat tidur di bawah, dan di depan kami tinggal nyonya Abram dengan dua anaknya: Ronnie dan Ido. Mereka sudah kami kenal sejak sebelum perang.

Apel harian tidak berlangsung di lapangan terbuka yang berada di tengah bangunan, melainkan di galeri-galeri depan bangsal. Begitu terdengar gong kayu, kami semua harus berbaris dalam lima kelompok dan membungkuk begitu orang-orang Jepang datang. Beberapa hari setelah kami datang, mendadak terdengar gong pada siang hari. Tatkala kami berbaris, datang tandu yang membawa tubuh kecil yang sekujurnya tertutup seprai. Ternyata ia adalah anak perempuan dari bangsal sebelah yang dalam perjalanan ke kamp ini tidak sadarkan diri. Malam sebelumnya kami masih mendengar jeritan ketakutan ibunya bahwa ia tidak bisa membangunkan anaknya untuk apel.

Setelah setengah tahun berlalu sejak ibu diizinkan mengirim kartu pos terakhir kepada ayah, kembali dia ingin memberi tahu bahwa kami sekarang berada di kamp Yahudi. Bagi siapa saja kartu pos itu harus ditulis dengan sangat hati-hati. Itu harus ditulis dalam bahasa Melajoe, yang kemudian dikenal sebagai bahasa Indonesia, dan karena jumlah kata dibatasi, butuh kecerdikan tersendiri untuk memasukkan sebanyak mungkin informasi serta bisa lolos sensor. Kalau sampai digunakan satu saja kata Belanda, maka bisa-bisa kartu pos itu tidak sampai ke tujuan. Sementara itu bahasa Melajoe kaum wanita Belanda hanya cukup untuk menyuruh-nyuruh pembantu mereka berbelanja ke pasar. Untungnya ibu amat fasih berbicara dan menulis dalam bahasa Melajoe, sehingga ia selalu dimintai bantuan oleh sesama penghuni kamp lain.

Kartu pos dari Hetty Wertheim di kamp Tangerang kepada suaminya, Wim Wertheim. (Jewish Historical Museum Amsterdam).

Kode Rahasia

Dalam menulis kartu pos berikut ibu menghadapi masalah rumit lain. Ia tak tahu apakah ayah mendaftarkan diri sebagai orang Yahudi di kamp, dan kalau tidak demikian, maka ibu juga tidak akan mengkhianatinya, keceplosan menyebut Yahudi dalam kartu posnya. Berkat mukjizat, kartu pos itu tidak hanya sampai di tangan ayah, yang memang butuh waktu berbulan-bulan, tetapi juga tetap kami simpan. Setelah kedua orang tua kami meninggal, kartu pos itu berada di museum sejarah Yahudi di Amsterdam. Yang menarik adalah saat pertama kali menulis kata “anak”, ibu tidak membubuhkan angka 2 yang berarti lebih dari satu anak, melainkan angka 3. Dengan begitu ayah tahu bahwa kami bertiga (Marijke, Anne-Ruth, dan Hugo) sehat-sehat saja. Pada kalimat berikut ibu bisa berhemat satu kata dengan menggabungkan nama saya dengan nama kakak, Marijke dan Anne-Ruth bersama menjadi Annemarijke.

Dengan menulis “Hugo main dengan Ronnie” ibu ingin memberitahu ayah bahwa kami berada di kamp Yahudi. Ayah akan awas bahwa ibu menyebut teman main Hugo dan bukan teman perempuan yang bermain bersama saya atau kakak, padahal sebelumnya ibu menyebut nama kami bertiga. Sehari-hari ibu juga selalu dengan teliti membagi perhatian kepada ketiga anaknya. Pasti ayah akan bertanya-tanya mengapa ibu menyebut nama Ronnie Abram sebagai teman main Hugo. Di Batavia sebelum perang tinggal banyak keluarga Yahudi, tetapi di antara mereka keluarga Abram terkenal paling taat menghormati tradisi Yahudi.

Baca juga: DNA Yahudi pada Orang Indonesia

Tatkala sesudah perang berlalu ibu memberi tahu kami mengenai hal ini, untuk memastikan kedua anak laki-laki itu bermain bersama, masih menambahkan “di dalam boks” (tempat bermain balita). Setelah ibu meninggal dunia kami temukan lagi kartu pos itu dan membaca apa yang tertera di situ, jelas terbaca bahwa ibu agak keliru. Ibu berharap dengan menulis boks ayah akan maklum bahwa telah terjadi sesuatu. Tetapi Hugo dan Ronnie waktu itu sudah berusia delapan tahun, mereka sudah bermain di luar, tidak lagi di dalam boks. Sebenarnya dengan menulis boks itu ibu bermaksud menyebut penjara.

Sebelum kalimat tentang Hugo dan Ronnie itu ibu juga sudah menggunakan kata sandi. Tulisnja: Disini djoega senang dan banjak sobat. Membaca “disini djoega” ayah bisa berkesimpulan bahwa kami sudah pindah ke kamp lain, dengan begitu bukan tanpa alasan kalau setelah itu ibu menyebut nama Ronnie. Akhirnya dengan menulis demikian, ibu berharap ayah paham bahwa ia bermaksud menulis tentang kamp perempuan Yahudi, karena ayah tahu banyak teman ibu adalah wanita Yahudi. Ternyata harapan itu berlebihan. 

Setelah perang ayah menyatakan paham bahwa kami memang dipindah ke kamp lain, tetapi ia tidak mengerti bahwa itu adalah kamp Yahudi. Ketika keluar perintah para keturunan Yahudi harus mendaftar, ayah bersama tiga orang teman prianya memutuskan tidak akan mendaftarkan diri sebagai Yahudi. Mereka berharap pihak Jepang tidak tahu bahwa sebenarnya mereka keturunan Yahudi dan ternyata itu berhasil. Bahwa mereka berani berbuat demikian itu karena kaum pria yang tidak disertai anak-anak mereka, memang lebih berani mengambil risiko.

Baca juga: Hubungan Gus Dur dan Yahudi

Selain itu juga jarang sekali kaum pria harus pindah ke kamp lain. Karena di kamp mereka ada tempat khusus untuk keturunan Yahudi, yang mereka juluki “Tel Aviv”. Tetapi berlainan dengan kalangan pria keturunan Yahudi yang tunduk pada perintah untuk melaporkan diri, ayah dan teman-temannya yang memutuskan tidak menuruti perintah itu berpendirian bahwa tidak perlu berterus terang kepada orang Jepang. Tidak perlu memberi informasi kepada orang Jepang untuk akhirnya diperlakukan beda dengan penghuni kamp interniran lain.

Di zaman sesudah perang kami sering berbicara tentang pilihan tidak manusiawi yang harus diputuskan oleh ibu: tentang pindah kamp di Tangerang yang kami lakukan dan tentang kartu pos yang dikirim kepada ayah. Biasanya ibu selalu buru-buru menambahkan bahwa ia juga berniat untuk solider dengan ayah sebagai seorang keturunan Yahudi, kemudian ayah tersenyum.

Ayah memastikan betapa ia akan putus asa kalau harus menimbang semua ancaman itu, terutama terhadap kemungkinan akan kehilangan anak, makanya ayah selalu memuji keputusan ibu sebagai kreatif dan sepenuhnya berdasarkan cinta. Tetapi, kalau ibu dan ayah harus bersama-sama mengambil keputusan tentang pilihan ini, ayah menyatakan ia tidak akan mendaftarkan diri. Kemungkinan bahwa ia akan ketahuan sebagai seorang keturunan Yahudi baginya tidak sebesar bahaya pindah kamp yang tidak dikenal itu. Ayah juga lebih yakin dari ibu dalam hal bersikap terhadap penguasa atau pasukan pendudukan seperti Jepang itu, harus sesedikit mungkin kita berikan. Tetapi tentang satu hal ibu dan ayah selalu sepakat: paling mudah memang bicara sesudah semuanya terjadi.

Sedikit penjelasan mengenai kartu pos yang sekarang disimpan di Museum Sejarah Yahudi, Amsterdam.

Halaman depan:

Nama ibu: A.H. Wertheim-Gijse Weenink

Nomer tahanan ibu: 5791

Kamp Java C.R. berarti distrik I, Batavia (ditulis oleh orang lain)

Kepada ayah: Profesor Mr. W.F. Wertheim

Nomer tahanan ayah: 40997

Djawa C.Q. berarti distrik II, Jawa Barat (ditulis oleh orang lain)

Sebelah kanan nama ayah: tulisan bahasa Jepang berarti kartu pos. Stempel merah berarti lolos sensor tahanan perang di kamp-kamp Jawa. Dua larik tulisan Jepang di atas stempel merah berarti pos tahanan perang kamp-kamp Jawa. Sesudah perang, ibu menambah Tangerang 1945 dengan tinta merah. Kami berterima kasih kepada Ethan Mark, pakar sejarah Jepang, dari Universitas Leiden atas penjelasan istilah-istilah bahasa Jepang.

Tulisan ini diterjemahkan oleh Joss Wibisono. Terbit perdana di Groene Amsterdamer, 15 Agustus 2019.

TAG

pendudukan jepang kamp interniran yahudi

ARTIKEL TERKAIT

Dulu Para Sersan Berserikat Sehimpun Riwayat Giyugun Masa Kecil Sesepuh Potlot Persahabatan Sersan KNIL Boenjamin dan dr. Soemarno Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia Arief Amin Dua Kali Turun Pangkat Cinta Ditolak, Mandor Bertindak Dikira Sudah Mati, Boediardjo Ternyata Selamat Sebelum Ferry Juara Dunia Bulutangkis Dardanella Jadi Saksi Konflik Yahudi-Arab di Palestina