HAMPIR berbarengan dengan dimulainya penugasan Kapten Udara John Robert “Bob” Pardo di Skuadron Tempur Taktis ke-433 di Pangkalan Udara Ubon, Thailand pada Februari 1967, Washington melancarkan kampanye bombardir udara terhadap industri-industri utama Vietnam Utara. Pabrik-pabrik baja di Thuy Nguyen, Hai Pong menjadi pilihan pertama.
Kampanye tersebut dilakukan untuk mematahkan tulang punggung kekuatan Vietnam yang tak kunjung lemah. Kampanye juga menandai dimulainya kembali bombardir udara yang sebelumnya dihentikan Presiden Amerika Serikat (AS) Lyndon Johnson dan Menhan Robert McNamara. Keputusan penghentian itu diambil Johnson guna menggiring lawan agar mau ke meja perundingan.
Namun dengan dilancarkannya kembali operasi bombardir udara, jajaran AU AS di Asia Tenggara menganggap keputusan tersebut sebagai “langkah bunuh diri”. Pasalnya, selama penghentian bombardir udara, Vietnam Utara jelas punya waktu memperkuat kekuatannya.
“Dengan tiap penghentian bombardir baru, Tentara Vietnam Utara membangun lebih banyak tempat peluncuran SAM (Surface to Air Missile), lebih banyak pos radar, tempat-tempat senapan anti-pesawat, dan itu memberi mereka waktu untuk melatih lebih banyak teknisi. Penghentian bombardir ini adalah surga –untuk musuh, dan Paman Ho mungkin menertawakannya setiap kali diumumkan Washington,” tulis pensiunan pilot tempur AU AS Howard C. Johnson dan Ian O’Connor dalam Scrappy: Memoir of a US Fighter Pilot in Korea and Vietnam.
Para petinggi AU AS di Asia Tenggara juga menganggap keputusan untuk memfokuskan bombardir pada Thuy Nguyen juga tak tepat. “Jika para komandan di Angkatan Udara ke-7 memiliki otoritas, mereka akan dengan mudah memecah target penting lain, yang pertahanannya sekarang telah dikuras untuk pembangunan di Thuy Nguyen,” sambung Johnson dan O’Connor.
Namun, keputusan Washington sudah bulat. Para petinggi AU di Asia Tenggara hanya punya pilihan untuk melaksanakan perintah. Lain tidak. Pun para perwira di bawahnya dan para prajurit, termasuk Kapten Pardo.
Baca juga: Dendam Pilot Vietnam yang Bikin Hengkang Paman Sam
Pada 10 Maret 1967, jet tempur F-4 Phantom yang dipiloti Pardo dan Kopilot Letnan Stephen A. Wayne bergabung dalam misi bombardir Thuy Nguyen. Di belakang pesawat Pardo, ada F-4 yang dipiloti Kapten Earl Aman dan Kopilot Letnan Bob Houghton.
Belum lagi formasi pesawat itu mencapai sasaran, peluru-peluru dari senapan-senapan penangkis serangan udara pasukan Vietnam Utara sudah menyambut mereka. Pesawat Aman-Houghton langsung terkena tembakan kendati tetap bisa berada di formasi. Namun, pesawat itu kembali terkena tembakan ketika berada di atas target. “Rentetan tembakan anti-pesawat telah memangsa tangki bahan bakarnya, menguras 5.000 pon bahan bakar dalam waktu kurang dari satu menit,” tulis pensiunan Sersan Steve Smith dalam “Pardo’s Push: A Battle Damaged F-4 and Its Crew were in Danger of Bailing out Over North Vietnam”, dimuat www.af.mil.
Pesawat Pardo-Wayne tertembak tak lama kemudian. Tangki bahan bakar pesawat mereka bocor. “Pardo mungkin bisa mencapai ke pesawat tanker, tapi Aman akan kehabisan bahan bakar sebelum bisa sampai ke Laos (tempat pesawat tanker berada, red.),” tulis Air Force Magazine Vol. 89, No.1.
Tembakan pasukan Vietnam mereda begitu mereka menambah ketinggian pesawat. Namun, pesawat Aman dalam sekejap terus turun lantaran kehilangan tenaga. “Aman membuang semua yang memungkinkan dengan harapan pesawatnya bisa bertahan lebih lama,” tulis Johnson dan O’Connor.
Dalam keadaan genting itu, ditambah dari kejaran dari pesawat-pesawat MiG Vietnam, Pardo terus memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dan pesawat Aman. Pardo tak ingin meninggalkan Aman-Houghton sendirian dalam kesulitan. Pardo juga tak ingin Aman dan Houghton menyelamatkan diri dengan kursi lontar karena mereka berisiko jadi tawanan lantaran masih berada di wilayah Vietnam Utara.
Pardo akhirnya mendapat akal. Dia akan dorong pesawat Aman dengan pesawatnya. Dia meminta Aman membuang kompartemen dragchute (parasut pengereman)-nya agar ada lubang cukup besar dari ujung ekor pesawat Aman. Lubang itulah yang akan dijadikan tempat mendorong dengan hidung pesawatnya. Setelah mendekatkan pesawatnya ke ekor pesawat Aman, Pardo akhirnya insyaf upayanya tak mungkin dilakukan lantaran terlalu banyak benda beterbangan dari stabilizer dan sayap pesawat Aman.
Pardo akhirnya meminta Aman menurunkan pengait ekor pesawatnya (tailhook). Dengan menempelkan pangkal hidung pesawatnya ke pengait pesawat Aman, Pardo berhasil mendorong pesawat Aman sehingga tetap terbang. “Tingkat penurunan pesawat Aman berkurang menjadi 1.500 kaki per menit,” tulis John F. Frisbee dalam “Valor: Pardo’s Push”, dimuat airforce-magazine.com.
Kendati pengait itu terus tergelincir dari pesawatnya setiap 15-30 detik akibat turbulensi, Pardo tekun menempelkan kembali pesawatnya ke pengait sehingga pesawat Aman bisa terus terbang. “Aku tak ingat berapa kali tailhook terlepas dari kaca depan, dan aku harus berjuang untuk mendapatkan kembali,” kata Pardo, dikutip Steve Smith.
Baca juga: Seratus Menit yang Menegangkan
Masalah tetap menghinggapi mereka. Mesin kiri pesawat Pardo terbakar. Dia buru-buru mematikannya. Begitu mesin itu dihidupkan kembali, api kembali muncul. Pesawat Pardo akhirnya terbang hanya menggunakan satu mesin. Sementara, bahan bakarnya akan habis dalam 10 menit. Kondisi itu tak memungkinkan mereka mencapai tujuan yang diinginkan di Laos. Dalam detik-detik menentukan itu, Pardo sempat melakukan panggilan radio untuk minta bantuan dukungan pesawat tanker.
Namun, kondisi pesawat meyakinkan Pardo bahwa pesawat tanker tak mungkin mereka capai. Beruntung, kedua F-4 abnormal itu berhasil menyeberangi Sungai Hitam. Itu berarti mereka telah memasuki wilayah Laos. Di ketinggian 6000 kaki, Aman-Houghton dan Pardo-Wayne akhirnya melontarkan diri dan berhasil mendarat menggunakan parasut di hutan perbatasan Laos-Vietnam.
Kendati nyaris termakan maut akibat ditembaki lawan yang mengejar, mereka berhasil menghindarinya. Helikopter penyelamat yang –dikawal pesawat serang A-1 Skyriders– disiagakan sejak panggilan radio terakhir Pardo, akhirnya berhasil mengevakuasi mereka kembali ke Lanud Ubon.
Setelah lama dipersalahkan karena dianggap membuang percuma pesawat berharga mahal, Pardo dan Wayne akhirnya merasakan manisnya buah perjuangan setelah pengakuannya berhasil diperjuangkan Senator asal Texas John Tower. “Pada 30 Juni 1989, Jenderal Horner menyematkan Silver Star pada Letkol John R ‘Bob’ Pardo (pensiunan AU AS) dan Kolonel Stephen A. Wayne untuk tindakan berani mereka menyelamatkan jiwa di langit Vietnam Utara,” tulis Wayne Thompson dalam To Hanoi and Back: The United States Air Force and North Vietnam, 1966-1973.