USIANYA baru akan 20 tahun ketika tiba di Indonesia pada 1947. Dia datang bukan untuk pelesir atau mencari sanak familinya, tapi untuk mengembalikan status quo di bekas Hindia Belanda yang saat itu sudah menjadi Republik Indonesia.
Hovenkamp, nama pemuda itu, datang sebagai sukarelawan yang tergabung dalam kesatuan zeni di Divisi 7 Desember Koninklijk Landmatch (KL) alias Angkatan Darat Belanda. Divisi itu dikirim ke Jawa, Sumatra, dan tempat-tempat lain untuk memulihkan Hindia Belanda seperti sebelum perang.
Katanya, waktu Belanda diduduki Jerman, dia masih seorang pencuri di Anloo, Drenthe, kampung halamanya. Dia dicap tidak berguna oleh orang sekampungnya. Oleh karenanya, menjadi sukarelawan yang mempertaruhkan nyawa di tanah orang mungkin bisa jadi “penebus” dosanya.
Het Niuewblad voor Sumatra (5 April 1949) dan De Indisch Courant voor Nederland (2 April 1949) memberitakan, setelah tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Hovenkamp ditempatkan di sekitar Tanjung Priok. Namun alih-alih “menebus dosanya”, di Priok dia melakukan pencurian lagi.
Hovenkamp pun ditahan lagi. Tentu, dia dianggap tak berguna di kalangan orang Belanda sehingga tak bisa lagi bersama kompi zeni yang diikutinya.
Buat Hovenkamp, tak ada gunanya di seberang hanya meringkuk dalam sel. Dia lalu mencoba kabur pada tahun itu juga. Namun usahanya gagal, dia tertangkap oleh penegak hukum militer Belanda. Sang desertir muda ini pun kembali ditahan.
Setelah dibebaskan pada Mei 1948, Hovenkamp mencari kontak dengan tentara Republik Indonesia. Gayung bersambut, perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Tangerang senang padanya. Maka Hovenkamp merencanakan sebuah tindakan rahasia.
Sebulan kemudian, Juni 1948, Hovenkamp desersi lagi. Kali ini desersinya tak dengan tangan kosong. Hovenkamp kabur dengan membawa bahan peledak dari kesatuannya. Hovenkamp kabur ke Tangerang, tempatnya menjalin kontak dengan perwira TNI.
Meski pengetahuan militernya tak banyak, dengan bahan peledak yang dibawanya kabur membuatnya diterima dengan tangan terbuka oleh TNI yang merupakan musuh tentara Belanda. Hovenkamp yang dicap orang Belanda tukang bual dan tak tahu apa-apa itu diberi pangkat kapten oleh perwira TNI di sana. Hovenkamp lalu memakai nama Indonesia, yakni Harun.
Hovenkamp alias Harun lalu dimanfaatkan untuk mengurusi senjata di sekitar Pandeglang. Dia kemudian juga ikut aksi di pinggiran kota. Setelah Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948, Harun dan beberapa anggota TNI dari sekitar Tangerang berupaya masuk kota Jakarta, yang masih dikuasai tentara Belanda.
Mereka membawa granat ketika masuk kota. Namun granat itu hilang ketika mereka menginap di rumah warga setempat. Pemilik rumah ternyata melaporkan keberadaan granat kepada polisi. Koran Sin Po tanggal 22 Maret 1949 memberitakan, polisi menangkap Harun di Gang Budi IV nomor 34, Jakarta Barat pada 21 Maret 1949 malam. Selain mendapatkan Harun alias Hovenkamp, polisi menyita 6 granat tangan dan sepucuk sten gun. Polisi lalu menyerahkannya kepada Militaire Politie (MP) alias Polisi Militer Belanda. Harun alias Hovenkamp dituduh hendak dijadikan sebagai pemimpin gerakan subversif oleh TNI.
“Saya ingin melemparkan gas ke Noordwijk,” kata Harun. Noordwijk yang dimaksudnya adalah nama daerah tempat Istana Negara (kini jalan Veteran).
“Lalu mengapa Anda tidak melakukannya?” tanya pemeriksa.
“Terlalu banyak polisi,” jawabnya.
Hovenkamp ketika ditangkap dicurigai membawa bahan untuk membuat gas beracun. Sampel dari bahan yang katanya gas beracun itu lalu dibawa ke Eijkman Institute. Namun para pemeriksa di Eijkman Institute meragukan apa yang dibawa Hovenkamp itu mengandung zat beracun.
Pihak Belanda pun kemudian menganggap dirinya sebagai orang yang ceroboh dan narsis. Pihak Belanda menyebut motif tindakan Hovenkamp adalah karena tak mendapat promosi kenaikan pangkat militer ketika akan desersi. Hal itu jelas aneh, lantaran Hovenkamp baru saja berdinas dan usianya terlalu muda.
Hovenkamp alias Harun sendiri mengaku kenal beberapa tokoh komunis Belanda dan Indonesia. Kepada MP, Harun juga mengaku, “saya seorang komunis.”
Alhasil Hovenkamp alias Harun sama sialnya dengan desertir KL lain, Piet van Straveren. Mantan propagandis RI itu juga tertangkap aparat Belanda. Keduanya tak seberuntung JC Princen yang lolos gemilang hingga jadi warga negara RI. Harun dan Piet harus merasakan penjara karena mendukung kemerdekaan RI.*