SOEHARTO tak pernah mengenal istilah “matahari kembar”. Bagi pemuka utama Orde Baru itu, pantang ada figur yang bisa menyaingi ketokohannya. Mereka yang berpotensi membahayakan posisinya akan disingkirkan.
Sebagai presiden jebolan tentara, Soeharto mafhum ABRI –khususnya AD– selalu menghadirkan para perwira loyalis sekaligus oposan. Salah satu perwira tinggi yang pernah kena depak karena mengusik Soeharto adalah Jenderal TNI Widodo, Kepala Staf TNI AD (Kasad) periode 1978-1980. Widodo yang disebut-sebut sebagai tokoh pembaru TNI dicurigai Soeharto memiliki agenda tersamar.
“Ia hanya sempat menjadi Kasad dua tahun, bukannya empat atau lima tahun, sebagaimana biasanya,” ujar Salim Said dalam "Soeharto dan Militer" termuat dalam kumpulan tulisan, Krisis Masa Kini dan Orde Baru suntingan Muhammad Hisyam. Perkara apa yang menyebabkan Widodo disingkirkan oleh Soeharto?
Kawan Lama
Soeharto dan Raden Widodo sejatinya adalah kawan seperjuangan sejak masa revolusi. Widodo yang lahir di Yogyakarta, 25 April 1924 adalah putra pensiunan pegawai rendahan keraton Yogyakarta. Di masa pendudukan Jepang, dia mendapat pelatihan militer sebagai komandan peleton pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Widodo merupakan salah seorang komandan lima pasukan yang ambil bagian dalam serangan penting terhadap markas tentara Jepang di Kotabaru di bawah pimpinan Mayor Soeharto pada 1945.
Kontras dengan nasib kawan-kawan seangkatannya, karir militer Widodo berjalan lambat. Selama sebelas tahun (1945-1956), dia hanya menyandang pangkat kapten. Widodo baru menapaki jenjang perwira tinggi ketika diangkat sebagai instruktur Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) pada 1957. Diantara salah satu murid Widodo di SSKAD tersebutlah nama Soeharto, bekas komandan batalionnya saat zaman perang melawan Belanda di Yogyakarta.
Soeharto dan Widodo bersua lagi di medan laga saat kampanye pembebasan Irian Barat. Soeharto yang memimpin Komando Mandala pada 1962, menunjuk Widodo sebagai kepala staf satuan pasukan terjun payung. Keduanya berpencar ketika Soeharto menjadi Panglima Kostrad. Sementara Widodo bertugas di Kodam Diponegoro sebagai anggota staf.
Widodo melakukan langkah cepat dan penuh inisiatif selama prahara 1965 di Jawa Tengah. Dia bertindak tegas terhadap PKI dalam situasi tak menentu saat Panglima Diponegoro melemah. “Sesudah itu karier Widodo menanjak pasti, jika tidak bisa disebut mengejutkan,” tulis David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983.
Baca juga: Jenderal Widodo menyalurkan anak buahnya jadi TKI di Arab Saudi
[pages]
Dipuji Sekaligus Dicaci
Semasa menjabat Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) II, Widodo dipandang sebagai tokoh masa depan ABRI. Widodo terkenal dengan pemikiran dan terobosannya yang inovatif. Bahkan bagi beberapa kalangan, Widodo dianggap sebagai calon presiden berikutnya.
Pers sering kali mengutip imbauan Widodo kepada para anggota TNI-AD yang hendak pensiun agar jangan sampai dihinggapi gejala post-power syndrome; kondisi psiko-sosial orang yang kehilangan keseimbangan karena tiba-tiba jabatan yang dipegangnya hilang. “Istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Jenderal Widodo itu masih populer dipergunakan sampai sekarang,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf: Panglima para Prajurit.
Semakin terang citra Widodo semakin bertentangan pula haluannya dengan Soeharto. Ketika menjabat Kasad, Januari 1978, Widodo hendak menampilkan wajah baru ABRI yang lebih demokratis. Menyadari kedudukan pemerintah lewat ABRI begitu kuat, Widodo justru ingin mengurangi keterlibatan ABRI dalam program kekaryaan maupun dwifungsi. Dalam makalahnya, Widodo mengusulkan agar ABRI harus berdiri di atas semua golongan. Sebaliknya, Presiden Soeharto menginginkan ABRI hanya bernanung dalam Golongan Karya.
David Jenkins mencatat, Widodo adalah sosok dengan banyak wajah. Otoriter, ambisius, dan memiliki pretensi intelektual. Motif-motif yang dilakukannya jauh lebih kompleks daripada yang nampak di permukaan. Pendekatan yang lebih puritan sebagai perwira bersih dalam mengabdi rakyat, tak hanya dianggap sebagai upaya untuk mengejar ambisinya. Lebih dari itu, ketertarikannya dipandang sebagai kritik tak langsung kepada Presiden Soeharto dan keluarganya.
Baca juga: David Jenkins mengungkap karier militer Soeharto pada masa pendudukan Jepang
“Sangat mungkin jika ia memandang dirinya sebagai seorang yang punya kesempatan menjadi presiden yang akan datang. Untuk itu, ia perlu mencari dukungan politik serta memberikan citra baru sebagai sosok terbuka dalam mengejar tujuan tersebut,” tulis Jenkins. “Hal tersebut serupa dengan yang dilakukan Jenderal Soemitro untuk memoles citra dirinya pada 1973.”
Dari serangkaian prakarsanya, yang berujung pada murka Soeharto adalah ketika Widodo memfasilitasi para jenderal pensiunan untuk bersuara dalam Forum Studi dan Komunikasi (Fosko TNI-AD). Widodo memainkan peran penting dalam melakukan koordinasi dan pengembangan pandangan dari kedua belah pihak yaitu para perwira aktif di Seskoad serta para pensiunan di Fosko. Forum ini kemudian menjadi ajang bagi lawan politik Soeharto menyampaikan kritik bertubi-tubi. Soeharto yang lama-lama jengah mendengar kritikan lantas membubarkan Fosko dan mempersulit kehidupan para jenderal didalamnya.
Baca juga: Sejumlah perwira pensiunan membentuk perkumpulan untuk mengkritisi rezim Orde baru
Widodo harus membayar mahal semua inisiatif yang dilakukannya. Menurut Atmadji, begitu mengetahui Soeharto tak lagi nyaman dengan langkah-langkah Widodo, Panglima ABRI, Jenderal M. Jusuf segera mengajukan usulan pergantian Kasad yang langsung disetujui. Pada April 1980, Widodo digantikan oleh wakilnya Letnan Jenderal TNI Poniman yang dianggap lebih low profile dan bukan tipikal outspoken dibanding Widodo.
Beberapa hari setelah pergantian Kasad, Jenderal Widodo menampik persoalan dirinya ketika ditanya oleh wartawan. Dia membantah bahwa ada sesuatu dalam kaitan pergantian Kasad. “Tidak ada apa-apa, lagipula saya sudah memasuki usia pensiun,” demikian kata Widodo dikutip Atmadji. Kendati demikian, banyak yang merasa keterlibatannya di Fosko kurang lebih menjadi sebab pencopotan dirinya.
Pasca pensiun, Widodo menjauhkan diri dari hingar bingar politik maupun militer. Dia wafat pada 19 Februari 1993.
Baca juga: Akibat konflik dengan Soeharto, hidup lima jenderal ini menjadi sulit